MALANG POSCO MEDIA, KOTA BATU – Pola baru kelola sampah di Kota Wisata Batu terus bermunculan. Salah satunya adalah warga RT 03 RW 12 Desa Pesanggrahan, Kecamatan Batu, Kota Batu yang mengolah sampah organik seperti sisa makanan dan sayuran untuk dijadikan kompos.
Supardi Ketua RT 03 RW 12 mengatakan bahwa penutupan TPA Tlekung sebenarnya ada hikmahnya. Pasalnya dengan penutupan TPA masyarakat diajak untuk merubah perilaku untuk mengelola sampah yang mereka produksi sendiri dengan pilah dari rumah.
“Sebenarnya proses mengelola sampah dengan pilah dari rumah telah dilakukan warga RT 03 RW 12 sejak tiga tahun silam. Sehingga dengan keadaan saat ini kami tinggal menindaklanjuti sosialisasi kepada masyarakat terkait memilah sampah,” ujar Supardi.
Ia menjelaskan bahwa warganya mampu membuat kompos menggunakan komposter sederhana. Saat ini ada tiga komposter yang dimanfaatkan oleh 66 KK.
Sementara itu, Catur Wicaksono selaku pendamping sistem pengelolaan sampah Desa Pesanggrahan menambahkan bahwa sampah harus dikelola dengan baik. Dengan syarat utama adalah dipilah antara sampah organik dan anorganik.
Diceritakan Catur bahwa pemilahan dan pengelolaan sampah di wilayahnya tersebut bermula dengan inisiasi dirinya mendirikan Baling Nol Tiga di Jalan Lahor Desa Pesanggrahan RT 3 RW 12.
Catur sapaan akrabnya mampu mengajak dan memberi contoh kepada warganya untuk memanfaatkan ruang sempit yang ada di fasilitas umum untuk bercocok tanam, hingga mengelola sampah menjadi komposter. Sehingga dengan inovasi yang Ia terapkan secara tidak langsung berdampak pada kebersihan, keasrian, ketahanan pangan mandiri hingga perekonomian.
Catur, sapaan akrabnya menceritakan bahwa Baling Nol Tiga adalah gerakan bersama warga. Gerakan sosial itu dimulai sejak Oktober tahun 2019. Kepanjangan Baling adalah Bangun Lingkungan. Sedang untuk Nol Tiga adalah nol limbah, nol sampah, dan nol kimia
“Tujuan dari gerakan ketahan pangan adalah mengelola sampah baik. Serta mampu menghasilkan sesuatu yang sehat dan bernilai. Dalam hal ini perputaran ekonomi,” ujar Catur kepada Malang Posco Media.
Lebih lanjut, Ia menerangkan dalam gerakan sosial tersebut dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Terlebih di tengah pandemi Covid-19 yang melanda sejak tahun 2020-2021. Karena produk yang dihasilkan dapat terserap dan dirasakan hasilnya oleh masyarakat sekitar.
Melalui Baling Nol Tiga yang mampu bertahan saat ini telah banyak hasil yang didapat. Mulai dari panen sayuran organik, pembibitan, pupuk kompos, hingga pembesaran lele.
Alumnus S1 Jurusan Teknik Mesin ITS menuturkan untuk sayuran organik Ia telah memiliki bibit sekitar ratusan polibag. Pembibitan ia lakukan secara berkala. Sehingga Ia bisa panen dalam setiap pekannya.
Beberapa jenis sayuran yang dirawatnya ada kailan, sawi daging, sawi bungkuk, sawi manis, andewi, kangkung, tomat, terong, kubis, hingga pagoda. Sekali lagi tidak perlu lahan luas untuk menanamnya. Karena untuk ketahanan pangan tak perlu terlalu kuantitas, tapi cukup kualitas dan berkelanjutan.
Bahkan, lanjut dia, media tanam atau polibag yang telah dipakai, tak langsung dibuang atau sekali pakai. Tapi digunakan bergantian agar tidak menghasilkan sampah plastik polibag.
“Sayuran kami tanam juga 100 persen organik. Sesuai dengan prinsipnya, Nol Kimia, kami menggunakan pupuk dari kompos dan pupuk cair yang dibuatnya sendiri dari limbah sampah. Khusunya limbah sampah organik rumah tangga disekitar yang kami kumpulkan,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa apa yang ia kerjakan ini harus berkelanjutan dan berkesinambungan. Memang kelihatannya mudah, tapi karena banyak yang tidak sabar jadi putus ditengah jalan.
Misalnya saja untuk sayur organik butuh proses panjang. Berbeda dengan sayur dengan pupuk kimia yang bisa lebih cepat produksinya namun tak baik untuk kesehatan.
“Pada intinya untuk memulai ini semua cukup dari sampah. Jika sampah terkelola dengan baik, maka kompos dan pupuk cair akan melimpah. Artinya pertanian menuju organik sudah siap. Karena bahan baku sudah ada juga melimpah. Tinggal keinginan dari masing-masing individu saja,” terangnya.
Disisi lain, Catur mengungkapkan agar gerakan sosial mampu tetap bertahan sampai saat ini perlu ditanamkan prinsip berpikir ekonomis. Artinya produk yang ada harus bisa dijual dan menghasilkan.
Karena, lanjut dia, dengan adanya penghasilan bisa digunakan untuk membayar tenaga (SDM). Hal itulah yang membuat Baling Nol Tiga masih tetap eksis.
Apalagi dari panen dan penjualan sayur yang mereka tanam rata-rata per minggu mampu menghasilkan omset Rp 300-400 ribu dengan pasar yang menyasar warga sekitar. Bahkan keuangan pada kas mereka hingga Juni 2023 ini dilaporkannya telah mencapai Rp 9 juta.
“Oleh karena itu, ketika masyarakat sadar dan mau melakukan pilah sampah dari rumah dan kemudian mengalahnya. Maka dengan penutupan TPA Tlekung bukan sebenarnya bukan jadi masalah, tapi sebaliknya malah menjadi penghasilan sampingan bagi kita,” pungkasnya. (eri)