MALANG POSCO MEDIA, MALANG – Konflik internal dalam tubuh organisasi Pembina Lembaga Pendidikan Perguruan Tinggi Persatuan Guru Republik Indonesia (PPLP-PTPGRI) kembali memuncak. Di balik ketenangan institusi pendidikan, kisruh hukum mengemuka setelah muncul tiga akta perubahan anggaran dasar yang saling tumpang tindih, semuanya disahkan dalam satu bulan yang sama oleh Kementerian Hukum dan HAM melalui sistem AHU (Administrasi Hukum Umum).
Aroma kekacauan administratif ini mencuat setelah kantor hukum Edan Law mengungkap bahwa tiga akta berbeda—diterbitkan antara 4 hingga 29 Juli 2025 oleh dua notaris di Kota Malang—memuat susunan kepengurusan yang tak sama, namun semuanya mengklaim legalitas atas nama PPLP-PTPGRI.
Di satu sisi, ada akta yang menempatkan Agus Priyono sebagai Ketua merangkap anggota. Di sisi lain, muncul akta berbeda yang menyebut Christea Frisdiantara sebagai Ketua. Situasi ini membuat para pihak yang merasa dirugikan tak tinggal diam.
“Kami menyampaikan melaporkan ada dugaan pemalsuan informasi dan data. Karena ini ada kejanggalan, dalam penerbitan akta yang cukup kilat di hari yang sama. Sehingga, kami akan bersurat ke Presiden RI dan DPR RI sebagai bentuk pengawasan kinerja aparatur negara,” tegas Sumardhan, dari Kantor Hukum Edan Law, yang menjadi kuasa hukum Christea dan kawan-kawan.
Menurut Sumardhan, akta tertanggal 4 Juli 2025 awalnya mencantumkan Agus Priyono sebagai Ketua. Namun, setelah proses panjang selama dua tahun, pihaknya mengajukan struktur kepengurusan baru yang akhirnya diresmikan melalui akta tertanggal 16 Juli 2025 dengan Christea sebagai ketua. Anehnya, akta ketiga kembali muncul, dengan tanggal 29 Juli, masih mencantumkan nama Agus, namun dengan sedikit perubahan posisi.
“Tiba-tiba kembali muncul akta baru, dengan ketua sama dengan tanggal 4 Juli, hanya susunan nama pada akta AHU yang berbeda dan ini menjadi yang kali ketiga akta dengan objek hukum yang sama terbit di bulan yang sama. Itu tidak masuk akal secara hukum. Ini bukan hanya konflik internal, tapi potensi tindak pidana administrasi. Kami akan bersurat melapor ke Presiden, dan DPR agar ada kepastian hukum dan penghentian kekacauan organisasi,” lanjutnya.
Kritik senada datang dari Partoyo dari Semeru Law Office. Ia menyebut penerbitan AHU pada 29 Juli terlalu cepat dan mencurigakan. Proses yang biasanya memakan waktu verifikasi cukup panjang, tiba-tiba bisa terbit di hari yang sama dengan pengajuannya.
“Pengurusan akta tanggal 4 Juli dan 29 Juli ini langsung terbit di hari yang sama dengan pengajuan. Ini tidak masuk akal. Pengurusan AHU seharusnya membutuhkan waktu verifikasi panjang dan ketat. Klien kami bahkan menunggu sejak dua tahun lalu. Kemudian berkas yang mendapatkan rekomendasi kembali diajukan tanggal 16 Juli dan baru diterbitkan 26 Juli, tepat tiga hari sebelum akta baru terbit,” bebernya.
Sosok yang juga dikenal sebagai mantan tim kuasa hukum Budi Gunawan saat praperadilan di KPK ini menegaskan bahwa pihaknya akan menempuh jalur hukum menyeluruh. Mulai dari gugatan administratif, laporan pidana, hingga permohonan PTUN telah disiapkan.
“Jadi opsi kami ada tiga, yang pertama dan penting yakni bersurat laporan ke Presiden dan DPR RI, kemudian kedua kami akan membuat laporan ke polisi terkait indikasi adanya dugaan pidana, dan ketiga kami akan mengkaji secara komprehensif untuk membuat gugatan ke PTUN,” pungkasnya. (rex/aim)