Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M,Si
MALANG POSCO MEDIA – Keragaman budaya merupakan kondisi yang ada di sebagian besar masyarakat. Terdapat banyak kesalahan pemahaman secara konseptual dalam diskursus terkait keragaman budaya. Sebagaimana dijelaskan oleh Tariq Modood bahwa ‘multikulturalisme’ secara umum dipahami secara berbeda oleh negara yang berbeda sesuai dengan latar belakang sosial-politik dan budaya mereka.
Sementara sebagian besar negara-bangsa saat ini terdiri dari lebih dari satu komunitas budaya dan dengan demikian dapat dikatakan sebagai ‘masyarakat multikultural’, sangat sedikit masyarakat adalah ‘masyarakat multikulturalis’, dalam arti menghargai dan mendorong lebih dari satu pendekatan budaya, menggabungkan lebih banyak dari satu pendekatan budaya ke dalam sistem kepercayaan dan praktik mayoritas, dan menghormati tuntutan budaya dari semua atau lebih dari satu komunitas negara-bangsa.
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan tentang ragam kehidupan di dunia, atau kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan tentang adanya keragaman, kebhinekaan, pluralitas, sebagai realitas utama dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem sosial- budaya, dan politik yang mereka anut.
Di sisi lain, pluralisme berasal dari kata plural dan isme, ‘plural’ yang berarti banyak atau jamak, sedangkan ‘isme’ berarti paham. Sehingga, definisi dari pluralisme adalah suatu paham atau teori yang menganggap bahwa realitas itu terdiri dari banyak substansi. Dalam perspektif ilmu sosial, pluralisme yang mengindikasikan adanya diversitas dalam masyarakat memiliki dua wajah yakni: konsesus dan konflik.
Konsensus dalam hal ini mengandaikan bahwa masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda itu akan mampu bertahan hidup karena para anggotanya menyepakati hal-hal tertentu sebagai aturan bersama yang harus ditaati. Sedangkan teori konflik justru memandang sebaliknya bahwa masyarakat yang berbeda-beda itu akan bertahan hidup karena adanya konflik. Konsep pluralitas mengandaikan adanya hal-hal yag lebih dari satu, keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang lebih dari satu itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tidak dapat disamakan.
Berbeda dengan konsep mutikulturisme yang memiliki pandangan dunia–yang pada akhirnya diimplementasikan dalam kebijakan- tentang kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, gender, bahasa, ataupun agama. Dalam konteks agama, pluralisme dapat dipahami melalui dua sudut pandang.
Pertama, melalui sudut pandang sosial yang mana individu berhak untuk menganut agama apapun dan dalam hidup semua umat beragama sama-sama belajar untuk toleran, dan menghormati iman atau kepercayaan dari setiap penganut agama.
Kedua, etika atau moral yaitu‚ semua umat beragama memandang bahwa moral atau etika dari masing-masing agama bersifat relatif dan sah apabila umat beragama menganut pluralisme agama dalam nuansa etnis, maka didorong untuk tidak menghakimi penganut agama lain (Roald, 2009).
Konflik antar budaya dan menguatnya isu-isu SARA atau suku, agama, ras, dan antar golongan dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah kurang pahamnya masyarakat terhadap bagaimana cara untuk berbicara secara terbuka tentang ras, budaya, agama, dan sebagainya dengan anggota dari peradaban lainnya. Hal ini menjadi penting karena dengan berbicara secara terbuka, suatu masyarakat dapat saling mendengarkan dan berbicara dengan masyarakat lainnya.
Di sisi lain, kurangnya kesadaran masyarakat akan adanya interdependensi dengan masyarakat lain yang tidak dapat dihindari juga menjadi salah satu faktor penyebab rentannya terjadi konflik antar masyarakat. Faktor selanjutnya yaitu berupa pembicaraan terkait dengan masa lalu yang buruk tentang kesalahpahaman dan perbuatan jahat antara satu masyarakat terhadap masyarakat lainnya yang dapat memicu terjadinya pembalasan dendam.
Di sisi lain, antagonisme etnis juga menjadi pemicu terjadinya disintegrasi bangsa. Antagonisme etnis yang berujung pada pertumpahan darah sendiri biasanya diakibatkan oleh adanya campur tangan politikus yang memiliki keinginan untuk mempertahankan kekuasaannya di dalam kelompoknya.
Sikap ketidakpedulian terhadap masyarakat lain dapat menyebabkan suatu masyarakat menjadi mudah untuk tidak percaya dan membenci masyarakat lain sehingga dapat menimbulkan perpecahan.
Menurut Ramirez (2007) menunjukkan beberapa cara untuk mencegah adanya perbuatan balas dendam di masa mendatang melalui usaha pencapaian perdamaian, yaitu: (1) tidak berlarut-larut terperangkap dalam kesalahan di masa lalu, seperti halnya kita dilarang untuk mengusik luka terus menerus, tetapi membiarkannya saja hingga sembuh; (2) menghormati pendapat orang lain meskipun setuju maupun tidak; (3) toleransi dan saling memahami satu sama lain; (4) pengetahuan yang lebih baik terhadap budaya lain sehingga menghindari adanya serangan historis terhadap budaya lain; (5) sikap terhadap rekonsiliasi yang sebenarnya.
Kejadian xenophobia yang terjadi di masyarakat sebenarnya beberapa berasal dari hasutan orang lain, ketidaksiapan terhadap dinamika masyarakat yang multikuluturalismenya kental, dan tindakan provokasi yang berbahaya seperti terorisme. Hal itu menyebabkan manusia menjadi takut untuk bersosialisasi dengan pandangan terbuka karena promosi agama yang terkesan dikompetisikan.
Sesungguhnya tidak bisa kita mengatakan bahwa suatu agama itu yang paling benar. Lebih baik manusia memiliki pandangan untuk melihat bagaimana seharusnya ia menjadi pribadi yang lebih baik sesuai ajaran agamanya.
Filter terhadap isu-isu yang mengarah pada skeptisme terhadap multikulturalisme juga penting agar pikiran manusia tidak mudah keruh dan mudah terbawa emosi. Pikiran yang jernih akan membawa manusia pada kekuatan untuk merespon dirinya dengan siap terhadap multikulturalisme di masyarakat. Ketika proses ini terjadi pada setiap individu, tentunya persebaran perdamaian juga akan lebih meluas.
James A. Banks telah mendeskripsikan evolusi pendidikan multikultural dalam empat fase. Pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain, seperti perempuan, orang cacat, homo dan lesbian menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan. Keempat perkembangan teori, riset dan praktik, perhatian pada hubungan antar-ras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoritisi, jika bukan para praktisi, dari pendidikan multikultural.
Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid, apapun ras atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya akan menikmati kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan.
Sonia Nieto menyebutkan bahwa “pendidikan multikultural bertujuan untuk sebuah pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memperhatikan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangunan pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan keterampilan dalammembuat keputusan dan tindakan sosial.”
Di dalam konteks Indonesia, multikultural mendapatkan momentum setelah jatuhnya era Orde Baru. Menurut Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Parsudi Suparlan,
“Multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat.” Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Pendidikan Multikultural dianggap menjadi alternatif sebagai salah satu solusi konflik.
Dengan demikian pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara. Paparan di atas juga memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama dan keyakinan lain.
Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu anak mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai.(*)