Keberadaan sebuah koran yang terbit tak hanya menjadi tolok ukur sejauh mana tingkat budaya baca masyarakat. Lebih dari itu, koran mencerminkan bagaimana budaya dan peradaban manusia bisa dilihat. Bahkan bisa dikatakan maju tidaknya peradaban masyarakat juga ditentukan dengan korannya.
Dengan kata lain, koran yang tidak berkembang di sebuah daerah bisa menjadi cermin tingkat budaya baca yang rendah. Jika tingkat budaya rendah, maka tingkat peradaban masyarakat juga tidak bisa dikatakan maju.
Saat kita berbicara tentang peradaban maju kita selalu mengidentikkan dengan budaya baca. Mengapa bangsa Barat itu maju? Karena tingkat budaya masyarakat di sana memang baik. Ini artinya budaya membaca berkorelasi erat dengan tingkat peradaban masyarakat, bukan?
Orang boleh tidak sependapat dengan peryataan di atas. Tetapi, masyarakat dengan tingat budaya baca rendah sudah bisa dipastikan peradaban masyarakatnya tidak begitu tinggi. Peradaban berkaitan dengan tingkat kecerdasan manusia, sedangkan kecerdasan manusia bisa dibangun dengan budaya baca – salah satunya dengan keberadaan media cetak.
Mengapa harus media cetak? Bukankah zaman ini koran – sebagai salah satu produk media cetak — sudah tidak menarik dan dianggap ketinggalan zaman? Mengatakan bahwa koran sudah ketinggalan zaman adalah mendangkalkan masalah dan membutakan diri pada fakta. Mengatakan bahwa koran mengalami penurunan pembaca memang benar, tetapi mengatakan bahwa koran sudah hilang tidak seratus persen benar.
Budaya Tonton, Dengar, dan Baca
Bagaimana logikanya? Koran mengalami penurunan pembaca karena pergeseran teknologi. Teknologi memberikan peluang masyarakat untuk memanfaatkan informasi dari non cetakan (online). Namun apakah mereka yang membaca media online itu benar-benar membaca? Belum tentu. Mereka memanfaatkan media online lebih banyak pada pemanfaatan selain bacaan.
Teknologi itu pula yang terus menggerus budaya baca. Saat bangsa ini mengalami ledakan koran cetak saja budaya baca kita masih jauh dari harapan. Menurut data UNESCO Indonesia berada di ranking 60 dari 61 negara dalam budaya baca. Data lembaga dunia itu menunjukkan budaya baca masyarakat Indonesia sekitar 0,001 (dari 1.000 orang yang rajin membaca cuma 1).
Masyarakat Indonesia sejak dahulu berada dalam budaya tonton dan dengar, bukan budaya baca. Jadi, media yang berkaitan dengan tontotan (televisi) dan pendengaran (radio) banyak peminatnya daripada bacaan (koran). Itu sudah terjadi sejak dahulu kala. Apalagi saat ini perkembangan pesat teknologi memungkinkan semakin menggerus budaya baca yang sebelumnya memang sudah mengalami kondisi memprihatinkan.
Tingkat budaya baca yang tidak tinggi itu memcerminkan budaya literasi masyarakat yang masih rendah. Dalam hal ini bisa dikatakan semakin rendah masyarakat membaca koran semakin rendah pula budaya baca. Pernyataan ini bisa dipandang dari berbagai sudut pandang dan tak selamanya benar. Tetapi hal itu tidak bisa ditolak.
Awal kuliah, saya selalu menganjurkan mahasiswa membaca koran. Mengapa tidak menganjurkan membaca berita online? Jujur saja, saat seseorang ingin membaca berita online, persentasi waktu untuk membaca beritanya sangat sedikit tetapi waktu menonton video, game dan yang lainnya sudah dipastikan lebih banyak. Mengapa? Karena kita masih berada dalam budaya tonton, dan dengar, belum budaya baca.
Kalau bangsa ini mau cepat maju, tak ada cara lain dengan menggerakkan budaya baca. Tidak banyak cerita yang mengatakan bahwa peradaban maju bangsa karena budaya tonton dan dengar, tetapi sebaliknya.
Maka, menggelorakan semangat membaca dengan cara dan profesi apapun layak terus digaungkan. Bagaimana mungkin seorang guru, dosen dan pendidik lainnya mengharapkan bangsa ini maju jika tak memberikan contoh baik dalam budaya membaca? Sekali lagi membaca bisa dilakukan dengan media dan buku-buku online, media cetak tetap referensi utama. Seberapa kuat manusia membaca buku-buku online? Tak sedikit di antara mereka yang punya alasan membaca buku online, tetapi file-file buku online hanya tersimpan dalam laptop atau gadget lain tanpa pernah disentuh.
Semua Pihak
Lalu bagaimana dengan posisi media cetak seperti koran? Koran selalu mempunyai pasar pembacanya sendiri. Ini hampir seperti yang selalu saya katakan pada seorang yang mau menulis. Banyak di antara mereka takut untuk memulai menulis. Saya mengatakan bahwa setiap tulisan akan mempunyai pasar pembaca sendiri-sendiri.
Pertanyaannya apakah masih relevan mengampanyekan membaca koran era digital saat ini? Saya jadi ingat awal tahun 90an. Pada tahun itu televisi swasta di Indonesia mulai siaran. Mareka menyiarkan acara-acara bagus yang tak pernah ada di TVRI. Film-film pun diputar dengan gencar. Apa yang terjadi? Masyarakat banyak beralih menonton televisi daripada menonton di bioskop. Salah satu alasannya, menonton televisi gratis sementara menonton film di bioskop harus membayar.
Beberapa tahun kemudian orang tak banyak yang menonton film di bioskop. Beberapa orang bahkan mengatakan saat itu era film bioskop sudah selesai. Terbukti beberapa tahun kemudian banyak bioskop yang gulung tikar. Masyakarat dininabobokkan dengan tayangan televisi swasta yang banyak menyajikan hiburan. Lalu, dampak buruk dari televisi swasta yang menyiarkan hiburan itu pun digugat. Televisi dituduh sebagai penyebab munculnya tindak kejahatan, malas belajar, mendorong budaya instan dan lain-lain.
Sekian dekade kemudian apa yang terjadi? Saat ini, film bioskop mulai menemukan kembali “dunianya.” Film televisi mulai ditinggalkan, meskipun bisa ditonton gratis. Menonton film bioskop punya keasyikan sendiri. Tak hanya soal tontotan tetapi juga suasana. Film televisi dengan hiruk pikuknya tak menarik lagi. Itulah perputaran peradaban manusia. Jumlah biskop memang berkurang tetapi film bioskop tidak mati.
Lalu ada apa dengan koran? Koran memang mengalami penurunan oplah. Tetapi koran – setidaknya mengaca dari film bioskop – memang akan menurun pembacanya. Namun demikian tak bisa dikatakan bahwa era media cetak sudah tamat.
Masalahnya, media cetak harus menyesuaikan diri dengan “pangsa pasar” pembacanya. Tetap ada kenikmatan tersediri dalam membaca media cetak, sama persis adanya keasyikan tersendiri saat orang-orang menonton film bioskop, meski sudah ada youtube dan media audiovisual lainnya.
Media cetak adalah cermin peradaban suatu masyarakat. Jika suatu daerah mau maju maka pemerintah daerah dan mereka yang bergerak di bidang pendidikan wajib mendorongnya. Tamales ngalu nuhat Malang Posco Media (MPM) ke-2. Better Togetter.(*)