ANGKA 111, bukan sekadar angka biasa. Angka ini adalah keberuntungan. Dalam perspektif meta kebijakan, angka 111 adalah angka malaikat yang berhubungan dengan peluang, keberuntungan dan pencapaian.
Kota Malang yang terlahir pada 1 April 1914 silam, bukan lagi kota yang baru terlahir. Tak lagi, muda dan belia. Sudah lebih dari dewasa dan matang sebagai kota itu sendiri. Kendati kota Malang hingga kini belum cukup teruji sebagai kota sesungguhnya. Begitu banyak masalah perkotaan berulang dengan pola yang hampir sama dari waktu ke waktu.
Padahal, seorang H. I Bussemaker, Wali Kota Malang pertama kalinya setelah kota ini berdiri telah meletakkan dasar pentingnya perencanaan kota yang terukur dalam mengantisipasi ledakan masalah perkotaan di kemudian hari.
Pemikiran hal ini yang menjadi dasar pertimbangan penting kenapa Kota Malang di awal kelahiran sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh kepala daerah yang memiliki latar belakang seorang arsitek.
Cita-cita luhur dari cikal bakal Kota Malang dengan ditumbuhi mimpi besar tentang perencanaan kota yang terukur dalam perjalanan waktu makin terkikis dan bisa dilihat wajah Kota Malang yang sesungguhnya belakangan ini.
Kota Malang dan wilayah sekitarnya, seperti kabupaten Malang dan kota Batu kini harus diakui makin tumbuh sebagai wilayah yang makin kuatnya ideologi profitpolis. Sebuah ideologi yang mempertegas adanya perkembangan sebuah daerah (kota) yang digerakkan oleh kepentingan ekonomi.
Konsep profitpolis ini dalam perkembangan terakhir dapat diamati dengan jelas arah kebijakan ekonominya yang dipertontonkan ke publik di wilayah kota Malang dan sekitarnya. Di kota Malang, sepuluh tahun terakhir, telah tumbuh berbagai pusat-pusat perbelanjaan modern dan sektor pendukungnya. Di kota Batu, ada Batu Plaza, Batu Night Square. Di Kabupaten Malang, sentra Pujasera Kepanjen, Warung Agro Industri di Poncokusumo.
Pilihan untuk menjadi profitpolis tidak lepas dari pikiran adanya situasi geografis dan aset pemerintahannya yang tidak bisa banyak membantu pemerolehan pendapatan asli daerah (PAD) dan alternatif yang paling mungkin mendapatkan local revenue adalah dari pajak dan retribusi yang bisa diperoleh dari sektor perdagangan dan sektor jasa.
Kendati pilihan untuk menjadi profitpolis disertai dengan berbagai kemungkinan yang bisa bakal terjadi. Seperti adanya eksploitasi ekonomi yang berlebihan dapat melemahkan sektor kehidupan lain, memicu kejenuhan ekonomi, menumpuknya aktivitas ekonomi hanya pada satu titik lokasi dan menjebak pemerintah daerah dalam trade-off economics. Kondisi seperti ini dalam jangka panjang bisa mematikan masa depan ekonomi daerah itu sendiri.
Makin kuatnya daerah ke arah profitpolis mempengaruhi angkatan kerja daerah untuk masuk ke sektor yang tersedia, yaitu sektor jasa dan perdagangan. Meski kondisi ini tidak membuat nyaman bagi sebagian pihak karena mereka hanya menjadi ”buruh.”
Kondisi seperti ini yang bisa memungkinkan terjadi hilangnya kreativitas ekonomi lokal. Mereka belum terlatih menjadi pemilik usaha (produsen) meski tarafnya kecil. Mereka lebih terlatih menjadi konsumen tanpa nalar.
Tumbuh kembang-nya Sentra Shopping adalah realitas dari profitpolis yang kini ada di sekitar kita. Memobilisasi publik untuk memacu daya beli dan belanja ekonominya memang memberikan keuntungan bagi daerah sebagai pembentuk pertumbuhan ekonomi lokal.
Pusat perbelanjaan modern adalah satu di antara pesona yang dimiliki daerah (kota) dan mampu menyedot animo publik. Sentra Shopping adalah untuk memanjakan publik saat berbelanja di pusat perbelanjaan modern dengan memberikan banyak fasilitas dan kemudahan (discount) secara khusus dengan memberikan edukasi awal soal sejarah dan sejenisnya layak memperoleh apresiasi publik secara utuh.
Sentra Shopping bisa berupa hadirnya Kayutangan Heritage atau lokasi lainnya seperti di Sudimoro, daerah yang dikenal dengan daerah 1001 Cafe merupakan hal baru di mata konsumen Malang Raya. Meski bukan hal baru yang dikenal dalam konsep profitpolis.
Di Indonesia, praktik seperti Sentra Shopping kali pertama terjadi pada era 1980an di kota Jakarta dikenal dengan Jakarta Fair dan berjalan hingga kini. Tahun 1990an di Surabaya ada hajatan bertajuk Surabaya Big Sale. Tahun 2000an ada gelaran di berbagai daerah, misalnya, Batam Big Sale, Denpasar Big Sale, Makasar Big Sale.
Perilaku konsumsi masyarakat memang bisa dipicu dengan banyak cara dan modus. Sentra Shopping bisa memicu perilaku konsumsi masyarakat. Namun tenggang waktunya terlalu pendek yang tidak memungkinkan untuk merubah karakter ekonomi lokal.
Andai gagasan Sentra Shopping berumur panjang dan benar-benar tumbuh dari seluruh eksponen masyarakat, tidak hanya terbentuk di pusat perbelanjaan modern namun juga pasar-pasar tradisional di Malang Raya kelak wajah profitpolis di kota Malang dan sekitarnya memiliki karakter khas dan kuat muatan lokalnya dengan mengedepankan masyarakatnya yang memiliki kekuatan nalar dalam berekonomi. Efek spiralnya akan lahir generasi-generasi baru serta kreatifitas lokal yang cerdas dan membanggakan. Kita tunggu saja.(*)