spot_img
Sunday, September 8, 2024
spot_img

Kota, Warga Baru dan Pilkada

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Yunan Syaifullah
Dosen Universitas Muhammadiyah Malang

          KONTESTASI dimulai. Orkestrasi dilantangkan. Potret dipajang. Berderet sepanjang ruas jalan. Menempel di pohon yang merindangi jalan. Bahkan asal tempel di berbagai tembok dan pagar di sejumlah jalan. Itulah potret pemilihan kepala daerah (Pilkada). Pilkada 2024, baru dilangsungkan November mendatang. Orkestrasinya sudah mulai semarak.

          Sejumlah potret para calon ataupun kandidat, berlomba “menjual dirinya” dengan caranya masing-masing. Kata-kata magis terselip dan menyertai potret dirinya. Aneka kata dan frasa yang dibuatnya. Cenderung, hipnoterapis dan agitative. Ada yang menggunakan frasa dan kosa kata, misalnya: peduli wong cilik, onok sing anyar, harapan baru, siap berkolaborasi, inilah calon aslinya anda, dan lainnya. Tidak jarang pula, ada yang sangat agitative, seperti: Pendidikan gratis.

          Potret itu hanya muncul saat orkestrasi Pilkada. Namun, berbeda dengan saat Pilkada usai dengan hasil akhirnya. Tetapi, dimanakah potret-potret tersebut dengan sejumlah frasa mimpi dan magisnya? Ia tak pernah kembali. Hilang begitu saja. Tanpa ada kontrol. Tanpa mampu ditagih kembali. Bahkan, publik pun seolah lupa akan kejadian tersebut.

          Orkestrasi Pilkada, seolah seperti sel-sel bui yang padat tapi kehilangan suara. Pilkada bagai keramaian penjara namun sepi. Berbagai daerah di Indonesia, khususnya Malang Raya: Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu. Sekian tahun bahkan puluhan tahun lalu belum seramai seperti saat ini.

          Dahulu, tidak banyak orang yang berpikir tentang makna ruang. Bahkan pentingnya ruang untuk sebuah tempat tinggal. Kini, masyarakat dipaksa memahami makna pentingnya ruang dan tempat hunian. Akankah, daerah tersebut mulai berpikir tentang ruang yang lebih besar bernama kota (polis) untuk masyarakat.

          Pilkada 2024, seluruh daerah di Indonesia (termasuk Kabupaten Malang, Kota Malang dan Kota Batu) akan memasuki gejala transformasi perkotaan. 70 persen dari populasi demografis akan berpikir pentingnya polis. Apa yang tengah kita saksikan: sebuah progresi kepadatan dan ketercekikan?

          Kecemasan atas kota-kota yang padat tak hanya terbatas di Dunia Ketiga. Di pertengahan abad ke-20, ada sebuah keluhan tentang Paris: “Di Paris tak ada rumah.” Itu tulis Gaston Bachelard, filosof Prancis itu, dalam La poétique de l’espace. “Penduduk kota-kota besar tinggal di dalam kotak-kotak yang dipasang-susun.” Akhirnya rumah hanya terbangun horisontal; ia kehilangan “kosmisitas”-nya. Tak ada lagi pertautannya dengan yang kosmis, sebagai-mana ia kehilangan angkasa, terlepas ari misteri keagungan.

          Keluhan Bachelard memang menyiratkan sebuah nostalgia, kerinduan kembali kepada suasana tempat tinggal yang dengan nyaman dihuni bertahun-tahun di pedusunan dan kota kecil di pedalaman – sesuatu yang tentu saja tak bisa berlaku dalam latar sejarah sosial-ekonomi Indonesia.

          Di Indonesia, terutama di Jawa, kepadatan penduduk sudah lama merampas pedusunan dari suasana sejuk-tenteram seperti yang dulu diidealkan lukisan Dazentje. Petani miskin tak mampu lagi punya rumah yang layak dirindukan. Tanah yang kian sempit diolah dan dimanfaatkan oleh penghuni yang kian lama kian banyak. Sebuah “involusi pertanian” (dalam istilah terkenal Clifford Geertz) terjadi: bukan kekayaan dan keluasan yang dibagi-bagi, melainkan kemelaratan dan kesempitan. Kamar yang dilukiskan Chairil Anwar bisa juga berlaku bagi ruang di rumah-rumah dusun.

          Keadaan memang sedikit berubah sekarang, setelah program pengendalian pertumbuhan penduduk dua dasawarsa yang lalu berhasil. Pertumbuhan kini tinggal 1,3 persen. Kepadatan tetap sebuah kenyataan yang menyebabkan hubungan antara manusia dan tempat tinggalnya demikian tak membekas. Kita mengalami, dan menyaksikan, sejenis neo-nomadisme: orang berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain; “rumah” bukanlah faktor penting dalam stabilitas.

          Neo-nomadisme juga lahir dari jarak. Di Malang Raya, rumah dan tempat kerja seringkali begitu jauh, lalu-lintas begitu padat, hingga lebih lama orang hidup di jalanan ketimbang di kamarnya sendiri. Ia akan berangkat pukul enam pagi, sampai di rumah kembali pukul tujuh malam, untuk kemudian duduk menonton televisi tentang dunia jauh, sebelum tidur, mungkin mimpi.

          Hari ini dan mungkin nanti, Malang Raya adalah arus di mana “wisma” tak lagi relevan. Yang ada adalah kemah dalam hidup yang tak bisa mandeg. Ada yang hilang dalam kepadatan itu. Tapi manusia berjalan terus, terengah-engah makin tua, mencoba bisa hidup walaupun dengan sel-sel sempit yang kehilangan suara, dalam “keramaian penjara sepi selalu.”

          Malang Raya, berjalan menjadi polis. Itu pasti. Modal dan Pasar menyulap manusia jadi bukan lagi subyek untuk selama-lamanya. Orkestrasi Pilkada tanpa sadar mengarahkan kondisi seperti itu. Publik tak sanggup melawan. Para intelektual yang berintegritas hanya mampu murung. Maka satu-satunya cara melawan mungkin dengan menulis, mencerca, atau me­nertawakan. Selebihnya ilusi.

          Karena itu, imbas Orkestrasi Pilkada yang telah menghilangkan mimpi-mimpi magisnya, di situlah seorang intelektual publik seharusnya terpanggil untuk memihak. Dengan itu ia memandang politik sebagai sebuah tugas, bukan untuk sebuah ambisi.

          Dalam bahasa Indonesia, ”kita” lebih inklusif ketimbang ”kami.” Bila pengertian ”kita” lebih menggugah ketimbang ”aku” atau ”kami”, itu karena subyek, sebagai trauma, merindukan liyan sebagai saudara yang sederajat dalam kemerdekaan. Dengan kata lain, merindukan agar ”kita” ada.

Dari sini solidaritas lahir dan politik—selamanya sebuah gerak bersama—bangkit. Pilkada adalah gerakan bersama untuk bangkit bersama

          Suka atau tidak suka, politik kini terjebak dalam sebuah arena apa yang disebut Milan Kundera sebagai ”imagologi.” Politik telah jadi sebuah tempat bertarung yang dibangun oleh media massa, di mana wajah, sosok, artikulasi, dan janji diperlakukan sebagai komoditas yang ditawarkan ke konsumen yang sebanyak-banyaknya.

          Makin banyak calon pembeli yang dibujuk, makin ditemukan titik pertemuan yang paling dangkal. Dan ketika televisi—dengan kebiasaannya untuk gemebyar, dengan ongkos mahal—jadi makin komersial, pendangkalan itu makin tak terelakkan.(*)

- Advertisement -spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img