.
Friday, November 8, 2024

KRISIS ADAB KOMUNIKASI AKIBAT MEDSOS

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Pada new era saat ini munculnya bentuk baru media berupa media sosial (medsos) menghadirkan banyak pengaruh positif maupun negatif. Media sosial biasa dijadikan sebagai sumber informasi maupun hiburan. Akan tetapi, sebagai media hiburan saat ini banyak ditemui influencer yang membuat konten yang menggunakan kata-kata kasar secara disengaja ataupun tidak.

Konten tersebut sayangnya banyak dikonsumsi oleh golongan anak-anak hingga remaja yang sebagian besar merupakan pelajar. Hal ini diperparah lagi dengan timbulnya kebiasaan dari para pelajar untuk menirunya. Nah, inilah yang jadi keresahan tidak hanya bagi orang tua, guru juga merasa resah sebab banyak ditemukan perilaku tersebut di lingkungan sekolah. Bahkan ada yang terjadi saat kegiatan belajar mengajar.

- Advertisement -

Fenomena penurunan adab atau etika dalam berkomunikasi sudah banyak diberitakan oleh media. Salah satu yang ramai dibicarakan pada tahun 2019 lalu di kota Bima. Seorang siswa mengumpat gurunya disebabkan tidak diizinkan masuk ke sekolah karena terlambat. Lantas siswa tersebut mengumpat gurunya dengan kata “setan” dan “anjing.” (Bimakini, 2019).

Kejadian tersebut akhirnya diselesaikan dengan mediasi bersama orang tua. Perilaku penurunan adab berkomunikasi ini pun tercermin dari komentar-komentar yang bersifat negatif pada platform media social. Seperti TikTok, Instagram maupun Twitter yang dilakukan oleh pelajar.

Paparan konten yang kurang edukatif seperti penggunaan kata-kata umpatan di dalamnya jika dibiarkan terus menerus dapat menyebabkan perubahan karakter dan penurunan moral pada generasi saat ini. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Pariutari, dkk, 2022) yang menyebutkan bahwa penyalahgunaan gawai oleh para pelajar yang semestiya digunakan sebagai media pembelajaran malah digunakan sebagai media hiburan. Terlebih untuk mengonsumsi konten tidak mendidik yang akhirnya menggeser bahkan menurunkan nilai moral dan adab mereka.

         Sebuah penelitian pada tahun 2018 oleh Maria dengan judul “Unsur Kekerasan dan Agresifitas pada Siswa yang Menggunakan Kata-Kata Kasar” menemukan bahwa orang yang memiliki kebiasaan mengumpat cenderung berpotensi memiliki tingkat agresifitas yang tinggi.

         Kebiasaan menggunakan kata umpatan jika dibiarkan secara terus menerus akan memunculkan perilaku kasar seperti menghancurkan sesuatu, bahkan sampai menyakiti dirinya sendiri. Maka dari itu kebiasaan mengumpat ini dapat menghilangkan fungsi kendali diri seseorang. Hal ini tentu saja dapat membahayakan diri sendiri bahkan juga dapat membahayakan orang lain.

         Penggunaan kata-kata kasar atau umpatan sering dianggap sebagai cara untuk mengekspresikan diri. Kata umpatan atau sumpah serapah memang merupakan bagian dari cara mengekspresikan diri ketika merasa kesal, marah atau rasa jengkel dan sejenisnya.

         Larangan dalam penggunaan kata umpatan memang tergolong dalam peraturan tidak tertulis. Maka dari itu dibutuhkan pemahaman dan pengertian yang baik dalam praktiknya. Namun pada saat ini adanya pergeseran atau perubahan makna dari kata-kata makian yang banyak digunakan oleh pelajar membuat mereka tidak merasa ada sesuatu yang salah dari penggunaan kata makian atau umpatan.

         Pada fenomena tertentu yang popular di kalangan pelajar kata-kata makian atau umpatan sering digunakan sebagai kata yang bisa mengekspresikan berbagai emosi yang tidak dimaknai sebagai makian (Muhammad, 2021). Mereka menggunakanya untuk mengekspresikan perasaan seperti rasa kagum, rasa heran, bercandaan bahkan dianggap sebagai simbol keakraban antara satu sama lain yang dapat mencairkan suasana dan mengeratkan hubungan.

         Mengumpat merupakan bagian dari refleks atau spontanitas berdasarkan sudut pandang psikologi. Kata umpatan biasanya muncul dari lisan seseorang sebagai pelampiasan ketika sedang terkejut, marah, atau sedih.

         Ilmu psikologi kognitif menjelaskan bahwa refleks itu memang sebuah proses dimana kita merespon sesuatu atau stimulus tanpa melalui proses berpikir sehingga reaksi yang keluar biasanya adalah memori yang tersimpan pada memori otak.    

         Perbedaan informasi dalam otak inilah yang membedakan bagaimana orang dalam memunculkan refleks apakah itu positif atau negatif. Orang yang refleksnya adalah mengumpat maka dengan kata lain modal informasi dalam otaknya adalah kata-kata kasar dan kotor sehingga refleksnya pun juga demikian. Modal informasi ini biasanya diperoleh seseorang dari apa yang sering dia lihat dan dia dengarkan.

         Mengumpat juga merupakan salah satu bagian cara untuk mengekspresikan diri, akan tetapi mengumpat dapat banyak mendatangkan potensi berbagai masalah.  Lantas apa yang sebaiknya kita lakukan?. Hal ini menjadi tanggung jawab dari berbagai pihak. Mulai dari orang tua, sekolah, guru maupun pelajar itu sendiri harus saling berintegrasi.

         Dalam hal ini orang tua menjadi perantara pertama yang dapat mengawasi dan memberikan pengertian kepada anaknya di rumah maupun di lingkungan masyarakat sekitarnya. Di sekolah, pihak sekolah bisa berperan dengan mensosialisasikan bahwa sekolah adalah kawasan yang menjunjung tinggi kesopanan antar sesama warga sekolah.        Guru dapat berperan dengan memberikan materi moral dan pendekatan spiritual agar terciptanya generasi unggul yang memiliki etika, tanggung jawab, dan dapat menanamkan nilai-nilai Pancasila atau terkhusus guru BK dalam hal memberikan penanganan pada fenomena tersebut.

         Lalu untuk para siswa sendiri walaupun sebagian dari mereka mengonstruksi kata makian atau umpatan menjadi kata yang digunakan sebagai bentuk keakraban, mencairkan suasana maupun mempererat persahabatan namun, penggunaan kata umpatan tetap lebih memiliki efek negatifnya dari pada positifnya.

         Maka jadilah orang yang bijak, orang yang tetap keren dan berekspresi dengan elegan tanpa harus mengatasnamakan kebebasan dan ngomong dengan sembarangan.

         Terkhusus untuk para pelajar, jadilah pelajar yang cerdas dan bijak dalam bermedia sosial dengan menyaring dan memilah conten creator, influencer maupun tayangan yang mengedukasi. Tidak meniru apalagi mempraktikan hal-hal yang tidak baik dari media sosial meskipun konteksnya adalah hiburan.

         Apa yang kita ucapkan akan mencerminkan siapa diri kita. Maka dari itu pentingnya menjaga lisan untuk berucap yang tidak baik atau lebih baik diam dari pada mengikuti hal yang negatif. Mari memelihara hal-hal baik dan meninggalkan semua hal yang merusak masa depan.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img