spot_img
Tuesday, July 22, 2025
spot_img

Krisis Kedalaman dalam Bahasa

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Dalam diskusi dengan tema “kesehatan mental generasi muda”,  seorang psikolog memaparkan beragam faktor yang memengaruhi meningkatnya tingkat kecemasan dan depresi yang dialami mahasiswa. Di antaranya  tekanan tugas-tugas akademik, paparan informasi dan gaya hidup orang lain di media sosial, kondisi keuangan yang tidak jelas serta kurangnya akses terhadap layanan kesehatan mental.

          Belum selesai psikolog itu menyelesaikan penjelasannya, seseorang dalam forum tersebut tiba-tiba menyela dengan berkata. “Intinya, anak sekarang itu kurang bersyukur saja. Kalau lebih banyak ibadah, mentalnya pasti lebih kuat.” Ucapan itu disambut anggukan setuju oleh sebagian audiens. Kalimatnya singkat, lugas, dan tampak bijak.

          Tapi ada yang hilang dari pernyataan tersebut, yakni pemahaman yang utuh atas kompleksitas suatu persoalan. Penjelasan yang harusnya multidimensional dari penyaji tadi seketika dikerdilkan menjadi satu kesimpulan normatif. Lebih menyedihkannya lagi, pola-polal semacam ini kerap sekali kita jumpai dalam banyak diskusi publik, baik di ruang tatap muka maupun ruang digital.

          Fenomena inilah yang umum disebut sebagai krisis kedalaman (crisis of depth) dalam bahasa. Ditambah derasnya arus informasi dan tuntutan kecepatan, masyarakat semakin terbiasa dengan narasi-narasi instan yang terasa meyakinkan tetapi sering kali menyesatkan. Kalimat yang panjang, uraian yang bertingkat, atau argumentasi yang membutuhkan waktu untuk dipahami justru dianggap tidak efisien atau bahkan membosankan. Kita seolah kehilangan kesabaran untuk membaca secara cermat, apalagi untuk berpikir secara mendalam.

          Sebenarnya, budaya komunikasi yang ringkas tidak sepenuhnya buruk. Dalam konteks tertentu, efisiensi bahasa justru menjadi suatu kelebihan. Namun ketika hal semacam ini menjadi norma tunggal dalam berkomunikasi, yang dikorbankan adalah nuansa, kompleksitas, dan tentunya pemahaman yang lebih luas. Kita menjadi amat terbiasaya menghindari kata hubung seperti “meskipun”, “namun”, “di satu sisi… di sisi lain”, yang sesungguhnya penting dalam membangun argumen yang seimbang.

          Adalah Nicholas Carr, dalam bukunya The Shallows, menyatakan bahwa internet telah mengubah cara otak kita bekerja. Kita semakin terbiasa berpikir dalam potongan-potongan kecil, bukan dalam struktur pemikiran yang utuh. Lera Boroditsky, seorang ilmuwan kognitif, juga menegaskan bahwa bahasa bukan hanya cerminan pikiran, tetapi juga membentuk bagaimana kita berpikir.

          Ketika bahasa kita miskin nuansa dan keterhubungan antar ide, maka cara kita memahami dunia pun menjadi datar dan berbeda. Malah kita cenderung berpikir secara dikotomis, hitam atau putih, benar atau salah, baik atau buruk. Padahal kenyataan sering kali berbeda dari itu semua.

          Dalam konteks sosial yang lebih luas, hilangnya kedalaman dalam bahasa berdampak serius terhadap kualitas wacana publik. Ruang diskusi publik, baik di media massa maupun media sosial, semakin diwarnai oleh pertukaran opini yang dangkal dan emosional. Alih-alih debat sehat yang dilandasi data dan argumen logis, yang muncul justru saling serang dalam bentuk kutipan pendek, tangkapan layar, atau video berdurasi singkat.

          Kita melihat bagaimana isu-isu penting seperti tambang dan lingkungan, ketimpangan sosial, atau pendidikan sering kali dibahas dalam format meme atau soundbite. Akibatnya, pemahaman kita atas isu tersebut terbentuk berdasarkan kesan semata, bukan hasil penalaran kritis. Kita terjebak dalam apa yang disebut attention economy, situasi di mana perhatian manusia menjadi sumber daya langka dan hanya memepedulikan kecepatan reaksi ketimbang ketelitian berpikir.

          Psikolog Daniel Kahneman, peraih Nobel bidang ekonomi, membagi cara berpikir manusia ke dalam dua sistem. Sistem pertama adalah sistem yang cepat, intuitif, dan emosional. Sistem kedua adalah sistem yang lambat, rasional, dan membutuhkan usaha. Dunia digital, yang serba cepat dan penuh stimulus, memperkuat dominasi Sistem Pertama. Kita semakin jarang mengaktifkan Sistem Kedua untuk memeriksa kebenaran, mempertimbangkan sudut pandang lain, atau menyusun argumen secara logis.

          Ketika kita menyederhanakan segala sesuatu menjadi “intinya saja”, kita memberi ruang pada ilusi kepastian. Kita merasa sudah memahami sesuatu hanya karena kita memiliki opini tentangnya. Padahal, memahami butuh waktu, keterbukaan, dan keinginan untuk mendengar seluruh cerita—bukan hanya bagian yang sesuai dengan keyakinan kita.

          Mengembalikan kedalaman dalam bahasa bukan berarti menolak ringkasan atau efisiensi. Yang perlu diupayakan adalah keseimbangan, yaitu dengan menyampaikan gagasan secara jelas, namun tetap memberi ruang bagi kompleksitas. Kita perlu mengembangkan kesabaran intelektual, yakni kemampuan untuk bertahan dalam proses berpikir yang tidak selalu instan.

          Media massa memiliki peran penting dalam mendorong hal ini. Di tengah dominasi klik dan keviralan, media tetap bisa memberi ruang bagi jurnalisme naratif yang mendalam, opini yang argumentatif, serta laporan yang kontekstual. Begitu pula di ruang pendidikan. Guru dan dosen perlu mendorong siswa untuk membangun argumen dengan struktur yang utuh, bukan sekadar menjawab dengan poin-poin singkat.

          Bagi masyarakat umum, membiasakan diri membaca tulisan panjang, mendengarkan podcast yang reflektif, atau menonton dokumenter yang rinci bisa menjadi langkah kecil untuk memulihkan cara berpikir analitis. Bahasa adalah rumah bagi pikiran. Ketika rumah itu dibangun secara terburu-buru, dengan dinding yang tipis dan pondasi yang dangkal, pikiran yang tumbuh di dalamnya pun menjadi rapuh.

          Jika kita ingin membangun masyarakat yang kritis, empatik, dan mampu memecahkan persoalan dengan bijak, maka kita perlu membangun kembali rumah bahasa kita dengan kedalaman, ketelitian, dan keberanian untuk berpikir secara utuh.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img