spot_img
Tuesday, April 22, 2025
spot_img

Kritisi Penjurusan di SMA Tepat, Butuh Perbaikan Sistem

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG POSCO MEDIA, MALANG- Pengamat Pendidikan dari Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (UB) Malang, Aulia Luqman Aziz SS., S.Pd., M.Pd., melihat kebijakan diterapkannya kembali penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA merupakan langkah yang tepat. Menurut Luqman, dalam proses pendidikan semakin lama akan semakin mengerucut keilmuan yang ditekuni seseorang. “Misalnya guru besar atau profesor, ilmunya sangat sempit tapi mendalam pada cabang ranting ilmu yang ditekuninya,” katanya, pekan lalu.

Luqman menilai bahwa titik awal dalam pengelompokan peminatan keilmuan siswa terjadi saat SMA. Ditambahkannya, meskipun pengelompokan dari grup keilmuan yang besar yakni life science, social science, dan arts and humanities. Tapi langkah ini sudah tepat untuk membentuk mindset pengelompokan pada siswa.

-Advertisement- HUT

“Di negara maju seperti Jerman juga dilakukan pengelompokan di tingkat SMA menjadi scientist atau vokasional. Dipilahnya sudah dari SMA. Kita di negara berkembang, mungkin, bisa melakukan hal yang sama,” jelasnya.

Menurut Luqman, diterapkannya kurikulum merdeka di tingkat SMA justru menimbulkan kebingungan bahkan kehilangan arah bagi siswa yang akan mendalami keilmuan di tingkat perguruan tinggi karena ada generalisasi. Meskipun tujuan kurikulum tersebut untuk membuat siswa berpikir interdisipliner. Hal ini kurang tepat karena akan membuat fokus siswa menghilang. “Yang dimaksud interdisipliner sebenarnya adalah kita berkoalisi dengan orang ahli

lainnya dalam menyelesaikan suatu masalah,” tambahnya.

Penjurusan di SMA ini bukan berarti sebagai pengkotakan keilmuan siswa, melainkan langkah untuk spesifikasi minat dan bakat siswa terhadap bidang keilmuan. “Misalnya, siswa IPA ingin belajar IPS, boleh. Namun hanya dasaran saja dan tetap ada fokusnya. Bisa dilakukan lewat mata

pelajaran peminatan, misalnya,” kata Luqman.

Syarat keberhasilan program ini yakni mempererat bimbingan konseling siswa, karena usia anak-anak SMA masih bingung dalam menentukan pilihan mereka dan untuk menentukan minat bakat siswa.

Luqman juga menyoroti kesejahteraan guru menjadi faktor pendorong utama. Apapun kebijakan pendidikan Indonesia yang sering bergonta-ganti. “Saat guru merasa cukup dengan profesinya sebagai guru, mau bagaimanapun kebijakannya, mentalnya akan kuat dan profesional karena tidak memikirkan soal dapur,” jelas Luqman.

Selain itu, Luqman berharap bahwa TKA nantinya tidak hanya berbasis sample seperti Asesmen Nasional tahun kemarin namun diikuti oleh seluruh siswa. Lebih baik lagi, apabila diadakannya UN kembali karena dapat memunculkan sense of urgency pada siswa dan standarisasi pendidikan nasional. (imm/udi)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img