Tanggal 1 Oktober diperingati sebagai hari Kesaktian Pancasila. Peringatan ini menjadi momentum sejarah yang mengingatkan kita pada tahun 1965, ketika ideologi Pancasila hampir runtuh oleh kudeta berdarah. Kala itu, Pancasila telah diuji dan tetap tegak dan sakti sebagai ideologi bangsa. Namun, di era digital saat ini, Pancasila menghadapi tantangan baru yang super canggih yakni kudeta algoritma.
Peringatan 1 Oktober selalu menegaskan bahwa Pancasila adalah ideologi yang tak boleh tumbang. Tapi kesaktian itu tentu tak datang dengan sendirinya. Tahun 1965, kesaktian Pancasila ditegakkan melalui perjuangan politik, militer, dan ideologis. Sementara tahun 2025, kesaktiannya harus ditegakkan melalui perjuangan literasi digital, regulasi platform, dan desain teknologi yang humanis.
Jika dulu ancaman datang dari luar melalui ideologi komunis internasional, kini ancaman datang dari dalam layar ponsel kita sendiri. Kudeta algoritma tak diumumkan lewat siaran radio atau gerakan bersenjata, melainkan lewat trending topic, viralitas, dan banjir informasi palsu. Kita perlu lawan dengan konsep algoritma Pancasila. Sebuah imajinasi politik sekaligus etika digital, yang berusaha mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam ruang algoritmik.
Kudeta Algoritma
Jika di tahun 1965 kudeta dilakukan dengan senjata dan operasi militer, sementara hari ini kudeta dilakukan lewat kode, data, dan algoritma. Mesin yang mengatur alur informasi di media sosial (medsos), mesin pencari, dan platform digital kini berfungsi sebagai aktor politik baru. Mereka tak membawa senjata, tetapi membawa klikbait, echo chamber, filter bubble, dan disinformasi.
Kudeta algoritma itu bekerja secara perlahan, menggantikan nilai musyawarah dengan polarisasi, menggantikan keadilan dengan dominasi engagement, dan menggantikan rasa kemanusiaan dengan angka impresi. Tanpa kita sadari, ruang publik digital yang seharusnya menjadi forum yang demokratis kini berubah jadi medan tempur opini yang brutal dan jadi ruang tersebarnya aneka narasi provokatif yang berpotensi menyulut api perpecahan.
Kudeta algoritma memang berbeda dengan kudeta politik. Ia tak tampak, tak berdarah, tetapi dampaknya bisa jauh lebih merusak. Melalui ruang digital itu beragam narasi provokatif yang bisa meruntuhkan kepercayaan publik, memecah persatuan, dan mengikis jati diri bangsa. Karena itu, membela Pancasila di era digital berarti juga membela kedaulatan data, kedaulatan informasi, dan kedaulatan ruang publik kita.
Algoritma adalah bahasa baru kekuasaan. Ia tak kasatmata, tetapi menentukan apa yang kita baca, lihat, dan pikirkan. Jika dibiarkan tunduk sepenuhnya pada logika pasar, algoritma akan melahirkan dunia yang bising, penuh kebencian, dan terfragmentasi. Tetapi jika kita berani dan mampu memperjuangkan algoritma Pancasila, maka ruang digital bisa menjadi wahana baru untuk memperkuat ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial.
Logika Algoritma vs Pancasila
Pancasila adalah sistem nilai yang menempatkan Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah, dan Keadilansebagai pedoman hidup. Sebaliknya, algoritma digital adalah sistem matematis. Ia menempatkan klik, tayangan, dan interaksi sebagai pedoman distribusi informasi. Ketika dua sistem ini bertemu, sering kali logika algoritma mengalahkan logika Pancasila. Contohnya konten kebencian dan hoaks lebih cepat menyebar ketimbang konten persatuan. Algoritma menilai kebencian lebih menarik, padahal bertentangan dengan sila ketiga.
Ujaran provokatif lebih sering direkomendasikan daripada diskusi rasional. Algoritma tak peduli musyawarah, yang penting ada interaksi. Polarisasi politik makin tajam, karena algoritma mendorong orang hanya berinteraksi dengan kelompok sejenis, menciptakan echo chamber yang meruntuhkan semangat gotong royong. Inilah bentuk kudeta algoritma, ketika nilai-nilai Pancasila dipinggirkan oleh logika mesin yang lebih mementingkan profit dan atensi.
Platform digital harus lebih transparan dalam sistem rekomendasi dan mengedepankan tanggung jawab sosial, bukan sekadar keuntungan finansial. Masyarakat perlu meningkatkan literasi digital agar tak mudah menjadi korban manipulasi algoritmik. Pendidikan harus menanamkan kesadaran bahwa Pancasila bukan hanya teks, melainkan juga pedoman etis dalam bermedia sosial. Tanpa langkah ini, peringatan Hari Kesaktian Pancasila hanya akan menjadi ritual tahunan yang kehilangan relevansi.
Di era digital ini, tantangan terbesar kita adalah algoritma yang kerap lebih berdaulat daripada manusia, lebih berkuasa daripada ideologi, dan lebih berpengaruh daripada pendidikan formal. Karena itu, kita harus waspada jangan sampai ruang publik bangsa ini dikudeta oleh algoritma yang tak mengenal Pancasila. Kesaktian Pancasila harus dibuktikan kembali, kali ini bukan di medan tempur fisik, melainkan di medan tempur digital. Sebagaimana generasi 1965 membela Pancasila dengan darah dan air mata, generasi kini harus membelanya dengan literasi, kesadaran, dan inovasi digital.
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila sering kali berhenti pada seremoni di sekolah dan instansi pemerintah. Padahal, tantangan zaman menuntut lebih dari itu. Hari Kesaktian Pancasila harus menjadi momen refleksi digital, untuk kita tak rela membiarkan ruang publik kita dikudeta oleh algoritma asing. Jika dulu Pancasila sakti karena berhasil menghalau kudeta bersenjata, kini ia akan benar-benar sakti jika mampu menghalau kudeta algoritma.(*)