spot_img
Sunday, September 8, 2024
spot_img

Kurban

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG POSCO MEDIA– Berkurban adalah konsekuensi sebagai hamba Allah SWT. Seorang hamba wajib mengurbankan semuanya untuk Tuhannya. Hamba wajib mengurbankan sebagian waktunya menjauhkan rasa egoisme untuk salat, mengurbankan sebagian hartanya untuk zakat, infaq dan haji. Intinya, sebagai hamba, manusia haruslah berkurban.

Masalah kurban dalam arti yang spesifik yang dihubungkan dengan tanggal yang spesifik dan peristiwa yang spesifik pula yaitu Bulan Dzulhijjah pada hari Tasyriq yaitu tanggal 10, 11, 12 dan 13.

Ibadah Kurban adalah ibadah yang spesifik tersebut. Allah SWT berfirman dalam QS. 108 : 1-3 yang artinya: “Sungguh, Kami telah memberimu, Muhammad, nikmat yang banyak, maka salatlah untuk Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang yang membencimu adalah orang yang terputus dari rahmat Allah”.Ayat itu diperkuat pula oleh hadits: “Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berkurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat salat kami.” (HR. Ibnu Majah (3123), Ahmad (2/321), al-Hakim (4/349), ad-Daruquthni (4/285), al-Baihaqi (9/260).

Dua dalil tersebut menjadi dasar bagi madzhab Hanafi untuk mengatakan bahwa ibadah Kurban hukumnya wajb bagi mereka yang mampu dan tidak sedang berpergian. Bagi madzhab Syafi’i, hukum Kurban bukan wajib, tetapi sunnah muakkadah. Praktik yang dilakukan Abu Bakar dan Umar adalah bukti bahwa Kurban tidaklah wajib. Abu Bakar dan Umar pernah tidak berkurban. Abu Bakar misalnya tidak berkurban dengan tujuan agar kurban tidak dianggab wajib oleh umat.

Madzhab Syafi’i juga berpandangan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi (aku diperintah untuk berkurban dan Kurban itu sunnah bagi kalian) dan Imam Daruquthni (diwajibkan atasku berkurban dan ia tidak wajib bagi kalian) mengindikasikan bahwa Kurban adalah ibadah wajib bagi Rasulullah SAW saja, tidak untuk umatnya. Bagi umat Islam, Kurban adalah sunnah.

Hukum wajib bagi madzhab hanafi dan Sunnah Muakkadah bagi madzhab Syafi’i memberi pengertian tiga hal; Pertama, ibadah Kurban adalah ibadah yang penting. Dalam hadits dijelaskan bahwa amalan yang paling bagus dilakukan pada saat hari raya ‘Idul Adha adalah iroqutud dam (menyembelih hewan Kurban). Oleh karena itu, agar kita tidak terkena akibat dari hadits Rasul di atas, sebaiknya berkurban.

Kita sisihkan sebagian harta yang kita punya untuk berkurban di hari raya. Lebih dari itu, jika kita sudah berkeluarga, dalam madzhab syafi’i, kita tetap dianjurkan berkurban sebagai pelaksanaan dari sunnah kifayah yaitu sunnah yang apabila satu keluarga ada yang melaksanakan maka hukum sunnah telah terselesaikan. Menurut Ibnu ‘Abbas tentang Kurban ini, jika seseorang tidak mampu berkurban dengan domba atau kambing, hendaklah di hari raya ‘Idul Adha ini berkurban walau dengan ayam, itik, kelinci dan lain-lain sebagai wujud iraqotud dam.

Kedua, ibadah kurban adalah wujud dari kesadaran seorang hamba yang tidak memiliki apa-apa dan tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Ingatlah apa yang disadari oleh dua orang yang telah berkorban untuk Allah yaitu Habil, anak dari Nabi Adam yang mengorbankan domba yang terbaik, serta pengorbanan Nabi Ibrahim yang pasrah dan tunduk dengan perintah mengorbankan anak yang paling dicintainya, Ismail, walau kemudian diganti oleh Allah SWT dengan domba. Dua kisah itu, mengajarkan kepada kita, agar mengorbankan harta untuk Allah SWT., mengorbankan waktu kita untuk sholat berjama’ah, membaca al-Qur’an, bermunajat kepada Allah SWT di malam hari.

Ketiga, jika kita telah berkurban, sebaiknya semua daging diberikan kepada orang miskin atau juga boleh kepada orang kaya. Walau kita boleh memakan hingga sepertiga dagingnya, tetapi yang paling bagus adalah kita hanya mengambil sedikit saja yang dalam bahasa fiqh, hanya sekedar luqmatun atau luqoimaatun (satu suapan atau beberapa suapan kecil saja) untuk mengambil barokah dari ibadah kurban tersebut. Kenapa sebaiknya diberikan semua dagingnya dan hanya sedikit yang dimakan sendiri? alasannya adalah agar kita benar-benar ikhlas berkurban yaitu untuk kepentingan Allah SWT.

Yang paling bagus untuk mengambil barokah tersebut adalah bagian hatinya. Alasannya adalah mengikuti Rasulullah SAW (ittiba’urrasul) dan berharap agar kita masuk surga bisa memakan hidangan pertama yang diberikan untuk penduduk surga yaitu hati (tafaaulan).

Perwujudan Kesalehan Sosial

Pemahaman umum di masyarakat kita selama ini yang hanya mengaitkan ibadah kurban sebagai kesalehan ritual yang sifanya personal-transendental (hablum minallah) tentu tidak salah. Bagi kita umat Islam, berqurban dengan menyembelih hewan ternak merupakan salah satu bentuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah) di samping ibadah lainnya.

Maka Idul Adha ini sejatinya tak hanya sekedar untuk menyembelih hewan qurban, namun ia juga merupakan momentum untuk memberi dan berbagi sebagai simbol ketaqwaan dan penerapan kesalehan sosial. Terlebih diperekenomian global yang tidak stabil sebagai dampak dari konflik di berbagai belahan dunia yang ikut berdampak terhadap perkenomian Indonesia yang mengakibakan harga komoditas menjadi lebih mahal.

Hadis Nabi ini seolah-olah ingin menyampaikan pesan bahwa salatmu (atau hablum minallah-mu) akan sia-sia saja, jika kamu tidak berqurban (atau tidak ber-hablum minannaas) sementara kamu mampu untuk itu. Inilah salah satu manifestasi atau bentuk konkrit agar umat Islam memiliki kesadaran atau kesalehan sosial yang tinggi dan peduli kepada sesama. Seluruh ibadah kita memiliki aspek vertikal atau hablum minallah, berhubungan dengan Allah, dan aspek horizontal atau hablum minannas, berdampak kepada manusia. (*)

- Advertisement -spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img