Oleh: Hassanal wildan Ahmad Zain
Humas UMM dan Alumnus Twinning FH-FAI
Seringkali konten tentang ‘kursi depan minimarket’ mampir di laman FYP TikTok penulis. Awalnya tak begitu paham apa yang dimaksud. Namun setelah membaca beragam celotehan warganet di kolom komentar, baru paham bahwa ternyata kursi depan minimarket benar-benar berguna. Khususnya bagi mereka yang baru saja mengalami hari yang berat.
Dengan perkembangan teknologi yang pesat dan informasi yang cepat, secara tak langsung memberikan beban mental bagi masyarakat. Pekerjaan yang menumpuk, tanggungan biaya untuk menghidupi keluarga, hingga berbagai masalah yang seperti tak ada habisnya adalah faktor yang sering ditemui.
Hal ini akhirnya memunculkan fenomena kursi depan minimarket bagi mereka yang ingin ‘beristirahat’ sejenak. Menyesap kopi Golda sembari menenangkan diri, mengatasi depresi dan kecemasan sebelum kembali menerjang kehidupan.
Menurut data indeks kesehatan mental masyarakat Indonesia tahun 2023, ada sekitar 9.162.886 kasus depresi yang ditemukan. Jumlah itu belum termasuk kasus-kasus yang tidak diketahui di tengah masyarakat. Di samping itu, ada 3-4 kasus bunuh diri per 100.000 orang di Indonesia. Sementara, fasilitas kesehatan (faskes), utamanya puskesmas yang memiliki layanan kesehatan jiwa baru mencapai 55,5 persen dari total keseluruhan jumlah puskesmas di Indonesia dan kebanyakan terpusat di pulau Jawa.
Kondisi ini diperparah dengan buruknya stigma orang-orang Indonesia tentang gangguan jiwa dan depresi. Akibatnya banyak masyarakat yang tidak mengacuhkan kondisi mentalnya dan akhirnya tidak mencari bantuan ke tenaga profesional. Mereka merasa takut dicap gila dan dikucilkan oleh para tetangga. Bahkan di beberapa daerah, mereka dipaksa keluar dari rumah dan dipasung.
Maka tak salah jika kursi minimarket jadi pelarian yang murah meriah. Cukup mampir ke minimarket terdekat, membeli minuman dan cemilan, duduk di kursi sambil merenung. Jika beruntung, akan muncul solusi untuk menjawab masalah yang sedang dihadapi.
Kalaupun belum menemukan ide bagus, paling tidak ada waktu rehat sejenak dari peliknya dunia. Meski begitu, ini tetap menjadi masalah dan harus diselesaikan oleh kita bersama. Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk menangani tantangan ini?
Stigma dan Upaya
Sebenarnya, Indonesia sudah memiliki regulasi yang mengatur tentang kesehatan jiwa, yakni Undang-undang Nomor 18 tahun 2014. Bahkan di dalamnya mengatur bahwa fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk puskesmas dan rumah sakit, wajib menyelenggarakan pelayanan kesehatan jiwa bagi warga.
Selain itu mereka juga harus memiliki sumber daya manusia yang kompeten di bidang terkait. Ketentuan-ketentuan di atas sudah tertuang pada pasal 48 hingga 50 pada undang-undang tersebut. Sayangnya, meski sudah ada regulasi yang jelas, namun kuantitas dan kualitas layanan kesehatan jiwa di Indonesia belum begitu maksimal.
Pada waktu yang sama, kini masyarakat cenderung mudah mengalami depresi dan masih meremehkan pentingnya kesehatan mental. Padahal hukum memiliki peran penting sebagai tool of social engineering yang bisa merekayasa masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Maka peraturan pelaksana lanjutan dibutuhkan, begitupun dengan penegakannya agar hukum yang sudah ada tidak sia-sia.
Meski begitu, ada sederet aspek lain yang perlu diperhatikan, seperti sosialisasi yang harapannya bisa meningkatkan kesadaran masyarakat. Misalnya dengan menyelenggarakan festival bagi masyarakat di perkotaan yang menyediakan berbagai kegiatan. Ada diskusi terbuka, seminar, hiburan, layanan seni, hingga penampilan musik yang semuanya bertemakan mental health.
Sementara di pedesaan bisa menghadirkan pasar malam yang serupa agar menarik perhatian para warga. Hal-hal yang menyenangkan seperti ini lebih disukai ketimbang acara yang terlalu formal dan terkesan membosankan. Kegiatan di atas tentunya perlu dukungan dari pemerintah dan kesadaran profesional untuk bisa turun langsung.
Integrasi kesehatan mental ke kurikulum pendidikan juga bisa dilakukan. Kalaupun dirasa susah dan ribet, sekolah-sekolah bisa menyelenggarakan kegiatan rutin seminggu sekali yang menekankan ke anak didik bahwa kesehatan mental juga penting. Hal ini bisa dilakukan di pendidikan tingkat dasar hingga tingkat menengah.
Dengan begitu, mereka bisa lebih aware dan tumbuh dengan pemahaman yang baik tentang isu ini. Sehingga stigma buruk kesehatan mental bisa menurun di masa depan. Mereka juga nantinya tidak akan malu untuk mencari bantuan profesional ketika mengalami gangguan mental.
Upaya unik lain bisa dicoba seperti menyediakan ‘Mental Health Bus’ yang bisa dijalankan di tiap daerah. Bus tersebut tidak hanya diisi dengan konseling gratis, tapi juga permainan-permainan yang mendorong kegiatan sosialisasi. Penambahan hotline atau aplikasi kesehatan mental juga bisa menjadi solusi yang patut dipertimbangkan. Jadi, mereka yang tengah menghadapi masalah serius dan depresi bisa segera mendapatkan pertolongan yang tepat dan cepat.
Tak lengkap rasanya jika tidak mempromosikan kesehatan mental di tempat kerja. Terutama di sektor-sektor yang permintaannya tinggi dan tidak masuk akal. Beberapa upaya yang bisa dilakukan yakni dengan menyelenggarakan pelatihan atau seminar cara mengatur kesehatan jiwa.
Lebih baik lagi jika perusahaan juga bisa menyediakan konseling gratis bagi karyawannya. Meski terlihat membutuhkan biaya yang cukup besar, namun pada dasarnya fasilitas seperti ini bisa menunjang dan meningkatkan produktivitas karyawan. Pada akhirnya, pihak perusahaan juga yang diuntungkan.
Terakhir, penulis ingin menekankan bahwa kesadaran akan pentingnya kesehatan mental merupakan tugas banyak pihak. Saat ini regulasi sudah ada, hanya pemerintah masih kurang memaksimalkan penegakannya. Masyarakat, terutama anak muda, juga bisa melakukan upaya mandiri dengan berbagai cara menarik seperti yang penulis sebutkan sebelumnya.(*)