spot_img
Thursday, May 29, 2025
spot_img

Lansia: Waktunya Dirawat, Bukan Merawat

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Apa yang Anda pikirkan tentang lansia di lingkungan Anda? Di masyarakat Indonesia, kalangan lanjut usia dihormati secara kultural karena telah hidup lebih lama dan sebab itulah dipandang lebih bijaksana. Selain itu, lansia dianggap sebagai kalangan yang idealnya “sudah selesai dengan urusan dunia”, seperti tidak lagi ada beban untuk mengurus anak, tidak ada beban kerja produktif, atau porsi perannya di masyarakat tidak sebesar yang lebih muda. Sederhananya: lansia sudah waktunya dirawat, bukan lagi merawat.

          Sayangnya, wawasan itu menimbulkan anggapan bahwa lansia adalah beban masyarakat dan partisipasinya dibilang tidak lagi bermakna. Hal itu menjadikan solusi publik dan negara terhadap isu lansia adalah semata bantuan sosial langsung. Namun di sisi lain, karena dianggap “sudah bukan waktunya cawe-cawe”, mereka tersingkirkan dalam urusan kemasyarakatan karena terbatasnya akses fasilitas ramah lansia.

          Wawasan kita soal lansia mungkin bisa dibilang, masih jalan di tempat. Pemahaman itu lebih didorong oleh budaya, kekeluargaan, dan pranata sosial. Namun, pernahkah kita mencoba memperbarui wawasan kita soal kelanjutusiaan? Benarkah lanjut usia itu entitas masyarakat yang pasif, tidak memiliki aspirasinya sendiri, dan hendaknya berhenti dari “urusan dunia”?

Ruang Publik dan Lansia

          Kebijakan tentang lansia terakhir diregulasikan secara khusus dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 1998 Kesejahteraan Lanjut Usia. Dalam UU ini, lansia dibagi menjadi dua: lansia potensial dan tidak potensial, yang keduanya memiliki hak layanan publik dan kemudahan akses yang mesti dipenuhi oleh negara. Saat ini, kebijakan untuk warga lansia dimasukkan dalam kerangka jaminan sosial masyarakat rentan bersama kalangan fakir miskin, misalnya dalam UU tentang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional).

          Pemerintah beberapa periode ini menggembar-gemborkan bonus demografi dan peningkatan kualitas SDM. Sayang sekali, tidak ada catatan dan keberpihakan apapun pada komunitas lansia, termasuk kerja perawatan (care work). Lansia kebanyakan dibiarkan tidak dapat mengakses ruang publik dengan aman dan nyaman, rentan secara ekonomi, dan diimajinasikan menjadi beban masyarakat. Selain itu kerentanan mereka secara ekonomi dan fisik membuat mereka riskan terpapar kekerasan, kejahatan, dan pengabaian di masyarakat.

          Selama ini, kelayakan hidup lansia sangat individual, tergantung kebaikan hati keluarga atau ketersediaan jaminan sosial pribadi. Di tengah banyaknya hambatan-hambatan dunia kerja di Indonesia hari ini, benarkah setiap keluarga, khususnya anak, harus menanggung lansia? Di tengah meningkatnya kebutuhan ekonomi dan kerja merawat yang identik dengan perempuan sudah tidak lagi relevan, seperti apa kebijakan care work yang dibutuhkan masyarakat?

          Kerentanan pada lansia adalah hal yang nyata, akibat menurunnya kapasitas kerja dan produktif secara ekonomi. Tapi menua bukan hanya soal bertambah umur, namun juga berkurangnya peranan sosial. Lansia perlu dilihat sebagai subjek yang aktif dalam pembangunan.

Kegiatan Komunal untuk Lansia

          Secara permukaan, kita melihat peranan kegiatan kesehatan dan sosial keagamaan berkontribusi pada persepsi kita akan lansia hari ini. Pada dua model kegiatan ini, lansia lebih berdaya, berpartisipasi dalam public sphere, dan mampu berinteraksi secara bermakna.

          Didukung oleh stakeholder kesehatan seperti Puskesmas, masyarakat lansia biasa mengadakan komunitas senam dan posyandu lansia. Dua kegiatan ini memberikan ruang interaksi sosial dalam konteks kesehatan komunitas.  Namun, dari persepsi soal beragam kegiatan mbah-mbah itu: sangat bersifat lokal dan lingkupnya kecil. Selain itu, dalam derajat yang lebih luas seperti mengakses layanan kesehatan, taman dan ruang publik, atau kebutuhan ekonomi harian mereka, untuk konteks Malang sama sekali tidak ramah lansia.

          Untuk urusan kesehatan misalnya, mungkin mudah kita temui di lingkungan tetangga lansia tidak rutin kontrol penyakit kronis yang mereka derita. “Saya lama tidak kontrol, karena takut jalanan ramai, tidak ada yang mengantar.” Salah satu alasan yang mungkin mereka sampaikan adalah: susahnya akses dan ketiadaan caregiver. Kerentanan akibat terbatasnya mobilitas dan interaksi demi lansia yang sehat dan berdaya, membuat mereka lebih banyak tinggal di rumah, yang juga menimbulkan problem fisik maupun mental tersendiri.

          Kebijakan pemerintah pada lansia kebanyakan hanya berupa subsidi langsung yang bersifat merangsang stimulus ekonomi, seperti bantuan sembako dan uang tunai. Namun dalam ruang publik, mereka tersingkirkan perlahan: tidak dapat mengakses ruang publik secara mandiri dengan mudah, dan tanpa privilese tertentu, mereka tidak dapat terlibat dalam partisipasi publik yang nyata.

          Cukup mengkhawatirkan membayangkan dan menghadapi masa tua dengan minimnya keberpihakan negara pada hak lansia. Menjadi lansia tanpa jaminan sosial memadai dan kemudahan akses pada partisipasi publik dan kegiatan produktif, menua di negeri adalah siap menjadi sangat rentan. Imajinasi bahwa memiliki anak dan keluarga adalah investasi adalah wawasan lama yang tidak relevan di tengah dinamika sosial, pasar kerja dan kebutuhan ekonomi masyarakat dewasa ini.

          Secara kasat mata, memang lansia dihormati secara kultural. Tapi apa yang membuat lansia bisa tetap dan layak dihormati, jika keterlibatan mereka dalam partisipasi publik menjadi minim, dan untuk berpartisipasi ditentukan oleh status sosial ekonomi yang dimiliki sebelumnya? Berpihak pada kebijakan lansia demi hidup yang layak adalah memikirkan kehidupan kita bersama di masa depan.(*)

-Advertisement-.

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img