Cerpen Oleh Faisal Fajri
Namaku Tera. Aku penderita penyakit Mouth of cancer. Dokter pernah bilang kanker di mulutku stadium akhir. Penyakit ini membuatku kesulitan mengungkapkan isi kepalaku dalam molekul suara. Kelainan psikis ini menyeretku pada tragedi paling mengesankan yang pernah terjadi dalam hidupku.
“La. La. La. Laaa.” Aku bernyanyi riang sembari berlari kecil di bibir malam. kaki mungilku menerjang membuat berhambur jutaan partikel debu di udara.
“Na. Na. Na. Naaa.” Aku tetap bernyanyi. Heii … Siapa sangka? Aku ini bocah gelandangan miskin. Umurku genap dua belas Tahun. Aku tidak sekolah hanya mengamen untuk menghidupi adikku.
Mula sejak Ayah meninggal dunia karena penyakit pada umumnya, dan Ibuku memilih menikah lagi. Tapi ironisnya beliau tidak mengakui hadirnya kami yang adalah segumpal darah dagingnya. Bahkan dia pergi dengan lelaki pilihannya. Entah sampai kapan ia akan kembali. Yang pasti dia tak pernah kembali.
Rumah kecil yang dipenuhi muatan kenangan dalam berkeluarga. Aku tinggalkan. Aku mengangkat kaki dari rumah bersama adikku. Bukan kehendakku mengajarkan dia untuk membenci sebuah kenangan, aku terpaksa bertindak demikian. Bagaimana tidak bocah seumuranku menanggung uang sewa rumah. Aku tak punya banyak uang. Terkadang membeli sepotong gorengan saja aku kesulitan.
Setelah pergi dari rumah. kami menyusuri pinggiran kota. aku hanya berbekal lampu petromaks serta buku pelajaran adikku. Ya, dia masih pelajar, duduk di bangku kelas 5 SD. dan aku sangat menyayanginya.
Dalam perjalan yang tak tentu arah. Entah dimanakah bisa melabuhkan kebutuhan papan kami yang hanya sekedar memejamkan mata. Namun Tuhan berkata lain. kami terlempar jauh ke pertokoan kota yang tidak berpenghuni.
Toko ini posisinya di emperan Gang Argabel. Jarang dilewati oleh pribumi. Kondisi seperti ini sangat menguntungkan bagiku. tapi adikku harus menempuh jarak 200 meter untuk pergi ke sekolah. Aku percaya ketangguhannya lebih pajang dari jarak itu sendiri.
Di penghujung senja yang nyaris memudar. kaki kami yang sudah berasa kebas terpancang di pintu toko. lalu kami merangsek ke dalam ruangan utama. Di sini gelap, berdebu dan dipenuhi sarang laba-laba.
Aku memercikan api dengan geretan. membakar ujung sumbu lentera berbentuk patromak. Satu-satunya penerang di kediamanku, dalam pencahayaan yang minim. Dia sedang membaca buku fisika, kegemaran membacanya melebihi teman usianya.
Malam bertandang, aku terkesiap mengais sebuah rezeki yang Tuhan titipakn di kantung mereka. Aku tidak mengharap belas kasih. Alih-alih menjadi pengemis tanpa ada usaha. Aku bocah kenker kronis yang selalu berjuang mengamen di pinggir jalan.
Jika kamu melihat lebih dekat apa yang menyelubungi tubuhku. Kaos putih lusuh. Di bagian depannya ada garis-garis bekas kerak air hujan yang sudah menguning. Apabila ada benda yang tersangkut di kaosku pastilah robek ia buat. Sejoli kakiku beralas sendal jepit yang pernah putus. Biar tetap bisa kupakai ujungnya kuganti dengan sebatang paku.
Kepalaku menunduduk ke bawah. Pandanganku mengurung sesuatu yang berada dalam genggamanku: Sebentuk tabung mungil terbuat dari kaleng. Ya, Aku mengejar gemerincing uang receh malam ini.
Deru mesin yang dibungkus besi dan kaleng. Suaranya terdengar bising melesak kedalam telingaku. Bising. Melintas di depan mataku. Mereka saling berebut biar cepat sampai ke tempat yang ia buru.
Aku di sini berdiri di persimpangan jalan sesekali kulirik Traffic Light berwarna hijau terang.
Di menit berikutnya. Arus jalan raya padat merayap. mengular panjang. Lalu kebahagiaan datang menghampiriku
“Nananananaaa …” Aku melantunkan sepenggal lagu. Bernyanyi di depan kaca yang tertutup sempurna. Ia tidak memedulikanku. Seandainya mereka tahu betapa nyeri saat aku mengularkan suara. pastilah ia mengibaku.
Bibirku serasa diiris dengan pisau tumpul. Rasa nyeri merambat ke dalam selonggok otakku berdenyut seperti hendak pecah!
Tubuhku nyaris kehilangan kesadaran. Terhuyung sedikit. Namun tetap terjaga kesetabilanku.
Aku melipir ke belakang. lalu berhadapan dengan jendela kaca yang terbuka sempurna.
“Lalalalalalalaaa …” Aku kembali menyenandung lagu sumbang keluar dari mulut kankerku. Suaranya terdengar berantakan. patah-patah, tidak jelas, namun aku tetap bersyukur menerima pemberian kekuranganku dari Tuhan.
Berdiri di depan daun pintu mobil, kecil harapanku setabung kalengku terisi uang receh.
Tatkala. kedua bola mataku menerobos masuk kedalamnya. Aku terperanjat nyaris jantungku lepas dari sangkarnya. Berbarengan dengan kaleng dalam genggamanku terlepas menghantam bumi.
Di sana ada sebentuk sosok perempuan duduk di kursi paling depan. Saat melihatku ia terburu-buru menutup kacanya. wajah itu terlukis jelas di dalam dinding hatiku dan tak akan mungkin pudar.
Di ambang kesedihan, tubuhku membungkuk untuk meraih wadah recehku. Aku tak sadar air mataku menetes-netes bagai gerimis tipis. Air mataku tak pernah kering menangisi kepergianmu. Ibu.
Kuayunkan kakiku secepat mungkin meliper ke belakang. Melanjutkan ritualku bernyanyi riang dalam kepalsuan.
Beberapa jam berlalu entah ada berapa jendela mobil yang kusinggahi tetap saja kalengku kosong, tak buahkan hasil.
Di pertiga malam. Kakiku melenggang di atas trotoar. Mataku menyapu lampu sodium yang bertengger di tepi jalan. Memencarkan bias cahaya kekuningan menerangi perjalanku. Tumor yang teramat sangat ganas tiap detik menggerogoti mulutku, penyakit ini membuatku cepat berasa lelah.
Kududukan tubuhku di tepi trotoar. Bersampingan dengan wanita malam yang sedang menikmati sebatang rokok.
“UHUUK!” Aku terbatuk sekali sembari kututup hidungku menghalau kepulan asap yang dihela-embuskan melalui mulutnya. Ia menatap tajam ke arah kaleng yang kuletakan di sampingku. Aku pasrah kalau dia merampas kalengku. Namun siapa sangka? Aku tak mengira. Terdengar gemerincing koin didalam kalengku. Kulabuhkan rasa terima kasih dengan bahasa gestur tubuh. mulutku terkunci, tak sanggup menucap sebuah kata. Dihadapannya kepalaku menunduk memberi hormat. Kuraih tangannya kucium dengan kegirangan yang membeludaki nasib baikku. Ia tersenyum kepadaku. dan aku beranjak pergi, meninggalkan senyuman itu yang semakin menghilang.
Di pertengahan malam dalam jarak yang tak menentu. Langkahku terburu-buru menggapai tujuanku rumah yang berupa toko terbengkalai. Aku membelok di jalan bercagak, menghampiri warung yang tetap buka 24 jam. Uang yang ia berikan kugunakan dengan bijaksana.
Aku Tera. Gadis penderita kanker mulut. Teringat kalimat sosok seorang Pii. Walapun dia hanya karakter tokoh sentral hasil imajinasi Faisal Fajri. Tetapi, Pii sanggup mempengaruhi hidupku.
Jika mau belanja jangan tunggu punya banyak uang, tapi tunggu menjadi lebih bijak. Biar bisa menghargai uang. Dalam hal tertentu. Kalau kita memilki banyak uang biasanya laper mata. kalimat itu kurapal dalam otakku. kuterapkan dalam hidupku.
Aku tahu apa yang kubutuhkan membeli roti dan sebotol air mineral. Sisa uangnya tidak kugunakan begitu saja.
Selepas dari itu, di dalam perjalanan menuju rumah. Aku berasa ada seseorang yang membuntutiku. Jantungku berdegup kencang, Sesekali aku menoleh kebelakang.
hening.
Tak ada siapa pun di sana. Segera kuambil langkah seribu menembus malam dan cepat berlalu.
Dadaku kembang kempis akibat pelarian tadi. Batang kakiku terpancang sedikit gemetar di ambang pintu rumah. Suasana di sini gelap nyaris tanpa cahaya.
“Kakak pulang.” Suaraku pelan dan tak lugas, patah-patah. Jika aku mengucap sepenggal kalimat otakku terasa sakit yang luar biasa. Tak mampu mengambarkan deraanku. Yang kubisa hanya bertahan dan bertahan.
Seruan yang keluar dari kerongkonganku tidak sia-sia. Adikku menyabutnya dengan suka cita. Walaupun dia tahu aku akan meniggalkannya. Kami merangsek ke dalam duduk bersila saling berhadapan. Di pertengan kami ada setabung lampu petromaks.
“Kak, aku terpilih menjadi peserta cerdas cermat mewakili sekolahku. Aku berharap kak Tera bisa hadir” Ucap adikku. kepalaku mengangguk dengan lemah.
“Makasih ya, kak. Aku seneng banget.” Aku tidak bener-benar percaya kalau umurku sampai matahari terbit besok pagi.
Tanganku bergerak menyodorkan selebar roti keju. itu roti kesukanya. Ia menerimanya dengan penuh senyuman. Tatapanku mengurung tubuhnya yang tengah memotong roti menjadi dua bagian. lalu ia memberiku. kuterima walaupun mulutku terkunci sempurna.
Terlihat tanganku sibuk membelah roti menjadi kecil. Lantas sejumput roti ini berada di atas sumbuh. Api dan minyak tanah meghasilkan kepulan asap. menghitamkan secuil rotiku. Kemudian ujung roti menepel di badan dinding bercat putih. tanganku meliuk kutulis kalimat tanya.
“Kamu kenapa tidak menangis melihat keadaanku?” Tulisan ini terlihat hitam pudar, tapi bisa dibaca.
“Tangisan itu, cuma untuk orang mati. kak Tera masih hidup belum jadi mayat.” Sektika mataku berkaca-kaca rentetan kalimatnya menyentuh hati kecilku.
Dia selalu mampu menyemangati sisa hidupku. Dia adalah alasan tak pernah menyerah menjalankan ujian terbesar dari Tuhan. kanker mulut. Sisa umurku tinggal hitungan jam saja.
“Jika nanti aku meninggalkanmu, aku akan selalu merindukanmu” Kali terakhir bibirku mungacap kata yang menyerupai sembilu menyayat otakku. Air mataku tiba-tiba mengalir menyusuri tebing pipi. Dia beringsut mendekatiku. Jemari mungilnya menyeka linangan air mataku.
Kanker mulut ini buatku berasa lemas kehabisan daya. Seluruh energi yang bergulung dalam tubuhku terlempar keluar. Aku melayang di udara mendarat dalam pelukan adikku.
Jiwaku lenyap diraih sang pencipta.
***
Mentari pagi meninggi. Cahayanya menerobos masuk melalui sela jendela kaca menyilaukanku. Aku tersentak. jantungku berasa melopat ke tenggorokan. Tuhan masih memberiku umur pajang. Dan aku tidak merasakan kanker ganas yang setiap detik menggerogoti mulutku. Perlahan kubuka katup mataku memandang lentera padam.
Pikiranku terbesit pada syambara di sekolah sang adik. Langkahku terpacu cepat menyambagi sekolah untuk sekadar memberi semangat padanya yang tengah bertarung dalam sayembara cerdas cermat.
Di ikutin 120 peserta dari sekolah menengah ke bawah dan menengah ke atas.
Aku memasuki gerbang sekolah, membaur di delam penonton yang tengah menyaksikan kuis cerdas cermat. Aku melihat angka di monitor itu dengan skor 70-70. Poinnya masih imbang. Namun dalam bertarung dalam kecerdasan masih ada pertanyaan terakhir.
“Bagaimana caranya batu baterai dan foil. bisa mengalirkan energi panas?” Pemandu acara memberikan pertanyaan fisika yang teramat sulit. Wajah peserta nampak kebingung mencari jawaban. Namun aku terpana melihat adikku mendirikan tubuhnya dengan posisi sempurna. Dengan suara lantang ia menjawab sebuah pertanyaan.
“Ketika batu baterai min dan plus. tersambung menggunakan foil maka arus listrik mengalir dalam jumlah yang besar. Karena itulah bisa menghasilkan energi panas.
Angka di motir berubah menjadi 80 – 70. Pemandu acara menepuk tangannya serta diikuti oleh penonton untuk merayakan kemenangan kelompok adikku. Airmata kebangganku menetes. Dia memang patut untuk aku banggakan. Dengan kecerdasan dan kebijaksaannya. Dia tak akan pernah takut melawan dunia sekeras apapun.
Selepas dari itu, kami jalan beriringan menyusuri tanah lapang yang ditumbuhi rumput hijau.
Beberapa menit kemudian. Adikku ini menancapkan kakinya di atas tanah. Kepalanya mendongak menatap siratan senja yang ingin memudar, Aku melihat sepasang bola matanya dirembesi air. air matanya mengalir deras seperti hujan. Tangisannya hening. Aku sama sekali tidak merasakan rasa sakit kanker kronis, tapi sanggup merasakan kesedihanmu.
Dia mendudukan tubuhnya di tanah merah. Dengan keikhlasannya yang mendalam. Ia membelit temali piagam di selonggok papan nisan yang tertulis jelas namaku. Tera. (*)