MALANG POSCO MEDIA – Dalam persidangan kasus Ferdy Sambo pada, Rabu, (14/12) kemarin, Hakim menghadirkan sejumlah saksi ahli, di antaranya ahli pendeteksi kebohongan (lie detector). Merujuk hasil mesin pendeteksi kebohongan, Ferdy Sambo, Putri Candrawati, dan Kuat Ma’ruf mendapat skor negatif yang artinya diduga berbohong dalam menjawab beberapa pertanyaan. Sementara Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf mendapat skor positif yang bermakna jujur.
Salah satu saksi ahli yang dihadirkan adalah Kepala Urusan Bidang Komputer Forensik Ahli Poligraf Aji Febriyanto Arrosyid. Aji mengungkapkan hasil tes kebohongan para terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Yosua, yaitu Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Richard Eliezer, Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf.
Ferdy Sambo mendapat skor -8, Putri Candrawathi nilainya -25, Kuat Ma’ruf dua kali pemeriksaan, yang pertama hasilnya +9 dan kedua -13. Sedangkan Ricky Rizal skor pertama +11, kedua +19, dan Richard Eliezer +13.
Dalam persidangan saksi ahli menjelaskan hasil tes alat pendeteksi kebohongan menggunakan mesin poligraf. Melalui perangkat ini bisa digunakan untuk mengumpulkan respon fisiologis tubuh manusia lewat sensor yang terhubung pada individu yang diperiksa. Penggunaan lie detector dipercaya punya tingkat akurasi hingga 93 persen. Walaupun demikian, sejumlah pihak masih menyangsikan penggunaan alat pendeteksi kebohongan ini digunakan dalam persidangan.
Seperti diketahui, dalam beberapa putaran persidangan kasus Sambo banyak diwarnai keterangan terdakwa maupun saksi yang tak jujur. Beberapa kali terjadi perbedaan antara berita acara pemeriksaan dan keterangan yang disampaikan terdakwa maupun saksi saat sidang berlangsung. Pernyataan Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi misalnya, termasuk keterangan Susi, asisten rumah tangga Sambo, dinyatakan hakim sebagai keterangan yang tak jujur.
Akurasi Lie Detector
Penggunaan lie detector bukan kali pertama digunakan dalam penanganan kasus hukum. Dalam sejumlah kasus hukum sebelumnya juga digunakan alat pendeteksi kebohongan sebagai bagian dalam proses pengungkapan suatu kasus.
Namun pemakaian lie detector masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Soal akurasi hasilnya masih banyak yang meragukan. Karena melalui alat ini masih terbuka peluang tidak akurat karena situasi dan kondisi tertentu yang dialami oleh orang yang diperiksa tidak dalam kondisi ideal siap diperiksa.
Menurut American Polygraph Association yang memprediksi bahwa akurasi alat lie detector poligraf sebesar 87 persen. Angka ini berarti dalam 87 dari 100 kasus, alat pendeteksi kebohongan secara akurat menentukan seseorang berbohong atau jujur. Sementara menurut National Academy of Sciences menyimpulkan alat pendeteksi kebohongan poligraf tidak akurat. Hal ini menjadi alasan poligraf tidak digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan pidana, karena hasilnya tidak bisa dipercaya sepenuhnya.
Menurut American Psychological Association, lie detector poligraf bekerja mendeteksi reaksi perubahan seseorang saat diajukan berbagai pertanyaan. Biasanya menggunakan instrumen perekam fisiologis yang menilai tiga indikator gairah otonom, yaitu detak jantung atau tekanan darah, pernapasan, dan konduktivitas kulit.
Sistem pencatatan komputer, laju dan kedalaman pernapasan diukur menggunakan pneumograf, alat yang dililitkan di bagian dada. Aktivitas sistem pembuluh darah dan jantung dinilai dengan tekanan darah. Konduktivitas kulit diukur melalui elektroda yang dipasang di ujung jari subjek.
Saat alat mendeteksi kebohongan bekerja maka sensor lie detector akan membaca reaksi tubuh seperti kondisi tekanan darah atau detak jantung, perubahan pernapasan, dan keringat di jari tangan. Reaksi psikologis yang terjadi ketika seseorang mengucapkan sesuatu, tanpa sadar akan mempengaruhi kerja organ tubuh.
Melalui sensor yang dihubungkan di tubuh bisa diketahui adanya perubahan abnormal di ketiga fungsi tubuh itu. Hasil dari reaksi tubuh akan tercantum di kertas grafis. Pemeriksaan melalui lie detector biasanya berlangsung selama kurang lebih 90 menit.
Meskipun telah digunakan sejak lama, tingkat akurasi lie detector masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Merujuk American Psychological Association, reaksi fisiologis yang terekam dalam poligraf bisa saja terjadi ada orang jujur yang gugup saat interogasi atau sebaliknya. Beberapa ahli juga menyebut lie detector lebih mirip pendeteksi rasa takut. Faktor ini juga yang membuat lie detector bisa dimanipulasi hasilnya. Masih perlu penelitian lebih lanjut tentang keampuhan poligraf dengan metode lain.
Hasil pendeteksi poligraf ada yang digunakan di pengadilan ada yang tidak. Di Amerika dan Eropa hasil pendeteksi kebohongan tidak digunakan di pengadilan kriminal. Di Inggris, aparat pengamanan bagi terpidana kasus pelecehan seksual yang mendapat keringanan hukuman menggunakan poligraf untuk mengecek perilaku mantan napi secara berkala. Pengecekan ini membuat puluhan dari mereka kembali ke penjara.
Nurani Tak Pernah Bohong
Segala bentuk kebohongan memang bikin ruwet. Segala ketidakjujuran masih menjadi persoalan serius dalam perilaku kehidupan kita. Coba kita bayangkan seandainya dalam kasus Ferdy Sambo ini semua pihak jujur, tentu masalahnya bakal tak serumit saat ini. Kebohongan telah menjadi hal yang jamak dan lumrah dilakukan. Hal inilah yang sering memicu permasalahan.
Maraknya mark up anggaran proyek, laporan yang manipulatif, manipulasi angka dan data menjadi kebohongan yang terus saja berulang. Tak sedikit kebohongan yang dibuat oleh pejabat publik, politisi, dan para pesohor yang menjadi panutan banyak orang. Masih ada saja perdagangan yang tak jujur. Tak jarang pula para pemegang kepercayaan yang menyelewengkan kepercayaannya dengan berbohong dan menipu orang yang memberi amanah kepadanya.
Kebohongan demi kebohongan terus terjadi dan seakan kebohongan itu adalah sebuah kebenaran. Tak jarang masyarakat menerima dan memaklumi sebuah kebohongan menjadi sesuatu yang justru dianggap benar. Di negeri ini bisa dibilang sudah darurat kebohongan. Kebohongan telah membudaya. Situasinya sudah genting, sudah sangat urgen untuk digelorakan kejujuran. Saatnya diakhiri segala modus kebohongan, diganti dengan budaya malu berbohong dan menjunjung kejujuran.
Sejatinya siapapun yang berbohong akan bertentangan dengan hati nuraninya. Hati nurani tak pernah mau berbohong. Oleh karena itu, tatkala orang sedang melakukan kebohongan, mencuri, merampok, korupsi, dan sejenisnya, sebenarnya hal itu tidak diinginkan oleh nuraninya sendiri. Namun oleh karena pada diri manusia selalu digoda oleh setan, jin, iblis, dan bahkan juga oleh sesama manusia sendiri, maka suara hati nurani bisa kalah.(*)