spot_img
Thursday, April 25, 2024
spot_img

Literasi Sastra Ajarkan Siswa Kritis dan Bijaksana

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Karakter pelajar zaman sekarang mengalami banyak perubahan. Sebagai generasi Z dengan segala kelebihan dan kelemahannya mereka dapat menjalani proses pendidikan dengan baik. Generasi yang memiliki kreativitas yang tinggi dan didukung oleh teknologi yang canggih ini diharapkan menjadi pemimpin bangsa yang baik pula di masa depan.

Kurikulum Merdeka diharapkan mampu melahirkan profil pelajar Pancasila yang baik. Namun pengembangan karakter dan kompetensi peserta didik menjadi persoalan tersendiri. Proses belajar yang diharapkan dapat menyelesaikan persoalan, namun belum mampu menjawab dan menyelesaikan persoalan yang terjadi.

Kita tidak bisa menutup mata bahwa remaja atau pelajar, sering melakukan aktivitas yang tidak produktif bahkan meresahkan warga. Di antaranya membolos sekolah, pergaulan bebas, tawuran atau perkelahian, balapan liar dan pemakaian obat-obatan terlarang. Bahkan Minggu (21/9) lalu, puluhan remaja yang menggelar aksi balap liar di Jalan Ahmad Yani Kota Malang telah  diamankan aparat kepolisian. Masalah ini tentu harus diuraikan sampai ke akar-akarnya, sehingga bisa mendapatkan solusi yang berdampak langsung kepada pelajar tersebut untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya tersebut.

Kurikulum Merdeka sebenarnya lebih fleksibel. Guru bisa melakukan pembelajaran yang terdiferensiasi sesuai kemampuan peserta didik. Bakat dan minat setiap peserta didik pastinya beragam. Keberagaman tersebut justru dibutuhkan kreativitas yang tinggi bagi guru.

Pendidikan yang ada selama ini dianggap gagal dalam membentuk karakter peserta didik. Dunia pendidikan dinilai hanya memburu dan mementingkan ranah akademik semata, sehingga mengabaikan persoalan-persoalan moral dan keluhuran budi pekerti. Pendidikan moral dan budi pekerti kalaupun ada, disampaikan dengan cara yang kurang menarik, cenderung indoktrinatif dan dogmatis.

Literasi Sastra

Literasi sastra dapat dijadikan sebagai media alternatif yang cukup strategis untuk mengenalkan pendidikan karakter pada siswa atau pelajar. Melalui kegiatan literasi pada karya sastra, para peserta didik sejak usia dini dapat diasah kemampuannya dalam melakukan olah rasa, olah batin, dan olah budi secara intens. Sehingga secara tidak langsung, para peserta didik memiliki perilaku dan kebiasaan positif melalui proses apresiasi dan berkreasi melalui karya sastra.

Literasi adalah suatu simbol, sistem dan tata bunyi yang mengandung makna, merupakan suatu kompetensi dasar yang mencakup 4 aspek kemampuan berbahasa yaitu menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Dua kemampuan pertama merupakan kemampuan berbahasa yang tercakup dalam kemampuan orasi (oracy). Sedangkan kemampuan kedua merupakan kemampuan yang tercakup dalam kemampuan literasi (literacy) (Sawali, 2010: 21).

Literasi di dunia pendidikan seakan samar keberadaannya. Kurangnya budaya literasi yang ada di sekolah disebabkan pola pikir pendidikan di sekolah hanya berbasis hasil, bukan proses. Sekolah sedikit sekali memberikan pemahaman dan kegiatan tentang budaya membaca dan menulis.

Untuk itu budaya literasi perlu digalakkan kembali. Guru harus berusaha memotivasi untuk melatih ketrampilan menulis, dimana semakin sering keterampilan menulis itu terasah maka akan memberi semangat untuk lebih berani menuangkan pikiran lewat tulisan dan akan mampu mengilhami banyak orang dan menjadi bahan referensi bagi anak didik.

          Literasi dipahami tidak sekadar membaca dan menulis, tetapi lebih pada  memanfaatkan  informasi dan bahan bacaan untuk menjawab beragam persoalan kehidupan sehari-hari. (Muhana, 2002:20). Dengan demikian pembelajaran sastra dalam kurikulum merdeka hendaknya melahirkan siswa yang literat.

Karya sastra dipandang dapat menjadi alternatif mengubah perilaku siswa dalam meningkatkan pengembangan pendidikan karakter tersebut. Melalui karya sastra, anak-anak akan mendapatkan pengalaman baru dan unik yang belum tentu bisa mereka dapatkan dalam kehidupan nyata.

Hal ini tentu dapat dikaitkan dengan fungsi utama sastra yaitu untuk memperhalus budi, peningkatan rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial, penumbuhan apresiasi budaya, penyaluran gagasan, penumbuhan imajinasi, serta peningkatan ekspresi secara kreatif dan konstruktif.

Dengan membaca karya sastra, peserta didik akan mengenal bermacam-macam orang dengan bermacam-macam karakter dan permasalahan. Pribadi yang kritis dan bijaksana ini bisa terlahir karena pengalaman seseorang membaca sastra telah membawanya berjumpa dengan berbagai tema dan latar serta berbagai manusia dengan berbagai karakter.

          Meski sifatnya fiktif, dalam setiap karya sastra terkandung tiga muatan, yaitu: imajinasi, pengalaman, dan nilai-nilai. Melalui kegiatan apresiasi sastra, kecerdasan peserta didik dipupuk hampir dalam semua aspek. Hal ini dapat terjadi karena sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat dengan segala problem kehidupannya.

Mempelajari sastra berarti mengenal beragam kehidupan beserta latar dan watak tokoh-tokohnya. Membaca kisah manusia yang bahagia dan celaka, serta bagaimana seorang manusia harus bersikap ketika menghadapi masalah akan menuntun peserta didik untuk memahami nilai-nilai kehidupan.

Oleh karena itu, guru sebagai contoh atau tauladan bagi peserta didik harus memiliki minat baca karya sastra yang tinggi. Dengan kekayaan bacaan yang dimiliki, tentu guru akan lebih mampu untuk memilih bahan pembelajaran yang tepat bagi peserta didiknya. Sebab tidak semua karya sastra dapat digunakan sebagai bahan literasi di kelas.

          Di samping menghidangkan pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan, apresiasi sastra juga menghidangkan dan memberikan kesadaran kepada pengapresiasinya. Radar-radar penjiwaan, penghayatan, dan penikmatan pengapresiasi diharapkan bisa mengirim sinyal-sinyal kesadaran kepada nurani, rasa, dan budi si pengapresiasi (Saryono, 2009: 196).                 

Berbagai upaya yang dilakukan untuk penanaman nilai-nilai karakter kepada peserta didik tidak akan banyak artinya bila tidak diimbangi dengan dukungan yang intensif dari  lingkungan keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Keteladanan orang dewasa di sekitar peserta didik, baik guru, orang tua, para tokoh masyarakat, pemuka agama, apalagi para pejabat tinggi pemerintahan dapat menjadi pemicu peserta didik dalam menanamkan nilai-nilai moral yang mencerminkan karakter sebuah masyarakat yang beradab.(*)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img