spot_img
Thursday, February 6, 2025
spot_img

Lord Luhut

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Dua orang aktivis demokrasi Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti menjadi tersangka kasus pencemaran nama Luhut Binsar Panjaitan. Tidak lama lagi keduanya sangat mungkin akan ditangkap dan dipenjarakan. Proses perkara ini cukup cepat, dan upaya mediasi gagal. Pihak Luhut menghendaki dua aktivis itu diproses secara pidana.

Hal ini buntut dari konten video berjudul “Ada Lord Luhut Di balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya. Jenderal BIN Juga Ada”. Video ini diunggah oleh Haris dalam akun Youtube.

-Advertisement-

Disebutkan bahwa PT Tobacom Del Mandiri, anak usaha Toba Sejahtera Group terlibat dalam bisnis tambang di Intan Jaya, Papua. Luhut adalah salah satu pemegang saham di Toba Sejahtera Group

Luhut membantah tuduhan bahwa dirinya bermain bisnis tambang di Papua. Apalagi, kata Luhut, tak ada bukti atas tuduhan tersebut. Luhut melapor ke polisi lantaran somasi yang ia layangkan tak direspon. Alhasil, jalur hukum pun ditempuh.  Luhut mengatakan tidak ada kebebasan yang absolut. Semua kebebasan harus bertanggung jawab, karena itu Luhut merasa punya hak untuk membela hak asasinya.

Tak hanya pidana, Luhut juga mengajukan gugatan perdata ganti rugi terhadap Haris dan Fatia sebesar Rp100 miliar atas pencemaran nama. Jika menang uang itu akan disumbangkan kepada warga Intan Jaya.

Kuasa hukum Haris menilai langkah hukum yang diambil Luhut tidak terpuji dan memberikan preseden buruk dalam upaya partisipasi dan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah. Pemidanaan ini menjadi bentuk pembungkaman terhadap masyarakat. Sebab, tak pantas seorang pejabat pemerintah menggunakan institusi negara untuk kepentingan pribadinya.

Kuasa hukum Fatia menyebut Luhut bersikap otoriter. Sebagai pejabat publik mestinya Luhut tak merespon sebuah kritik dengan tindakan hukum. Harusnya Luhut membantah kritikan itu dengan data-data yang akurat. Seharusnya masyarakat mengawasi pemerintah. Tapi, ini malah terbalik, pemerintah mengawasi rakyat dan mengkriminalisasi rakyat.

Rocky Gerung menganggap Luhut ‘’The Untouchables’’, orang-orang yang tidak tersentuh. Dalam beberapa hari ini namanya disebut-sebut karena mengklaim ada 120 juta pemilih Indonesia yang mendukung pemilu 2024 diundur. Tetapi Luhut seolah sulit tersentuh hukum dengan pernyataan yang meragukan dan membuat gaduh itu.

Kirminalisasi terhadap Haris dan Fatia bisa menyebabkan kepercayaan publik terhadap pemerintah hilang karena publik melihat hal ini sebagai pengendalian politik yang disponsori oleh oligarki.

Sorotan terhadap praktik double standard dan conflict of interest para elite politik sudah menjadi sorotan lama oleh para aktivis. Kaitan oligarki politik dengan bisnis batu bara di Kalimantan diungkap dalam sebuah laporan hasil investigasi para aktivis. Nama-nama elite politik papan atas disebut jelas dalam laporan itu.

Dalam laporan bertajuk ‘’Coalruption: Elite Politik dalam Pusaran Bisnis Batu Bara’’ (2018) aktivis Jaringan Tambang mengungkap bahwa bisnis batu bara menjadi salah satu sumber utama pendanaan politik Indonesia, mulai dari level daerah sampai ke level tertinggi nasional.

Pemain kunci di industri batu bara memainkan peranan penting dalam pemilihan presiden 2019. Hal yang sama terjadi di tingkat provinsi dan kabupaten. Para kandidat mencari sumber pendanaan kampanye yang mahal kepada para pengusaha tambang. KPK dan organisasi masyarakat sipil mencatat adanya kenaikan tajam jumlah izin pertambangan saat kampanye pilkada, atau segera setelah pilkada selesai.

Kebutuhan terhadap modal politik yang besar, keterkaitan erat dengan peraturan pemerintah, adanya royalti dan pajak, serta ketergantungan terhadap infrastuktur pemerintah untuk mengirimkan batu bara ke pasar, menjadikan sektor ini terpapar korupsi politik akut.

Perusahaan pertambangan batu bara harus berurusan dengan pejabat publik, dan hal ini mendorong terjadinya perselingkuhan antara perusahaan, birokrat, dan politisi. Perselingkuhan seperti ini terjadi di level daerah sampai ke level pusat.

Menghentikan dan membungkam oposisi, apalagi membunuh oposisi, adalah kejahatan demokrasi. Dalam alam demokrasi, suara oposisi adalah suara kicauan burung yang indah yang harus dibiarkan tetap bebas di alam lepas.

Novelis Amerika, Harper Lee, menulis novel ‘’To Kill a Mockingbird’’ (Membunuh Burung Pengejek) pada 1960. Sampai sekarang novel itu menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah Amerika karena ditulis dengan sangat indah dan memenangkan Hadiah Pulitzer yang bergengsi.

Novel bercerita mengenai Atticus Finch, seorang pengacara di kota kecil Alabama, yang selalu gigih membela hak-hak warga kulit hitam yang sering tertindas. Message utama dari novel itu adalah bahwa memperjuangkan demokrasi akan selalu berhadapan dengan jalan yang sangat sulit.

Suara perjuangan demokrasi itu terdengar seperti suara burung pengejek bagi kekuasaan. Bagi rakyat yang merindukan kebebasan, kicau mockingbird adalah alunan indah di alam bebas yang memberikan hiburan dan pengharapan.

Bagi kekuasaan yang korup, kicau burung mockingbird terdengar sebagai ejekan yang memerahkan telinga. Karena itu si burung pengejek itu harus dibunuh. To Kill a Mockingbird adalah pembunuhan terhadap demokrasi.

Mockingbird tidak mengganggu siapapun kecuali membuat musik untuk kita nikmati. Mereka tidak merusak kebun orang-orang atau membuat sarang di pohon-pohon jagung, mereka tidak melakukan apapun kecuali menyanyikan suara hatinya untuk kita. Itulah sebabnya berdosa kalau seseorang membunuh mockogbird.

‘’Kalian boleh menembak burung bluejay kalau bisa. Tapi Ingat,  membunuh mockingbird adalah sebuah dosa.’’ (*)

-Advertisement-

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img