Oleh : drh. Puguh Wiji Pamungkas, MM
Anggota DPRD Provinsi Jawa Timur
Presiden Nusantara Gilang Gemilang
Pada tahun 630 M atau tahun ke 8 Hijrah, tepat pada 10 Ramadhan terjadi sebuah peristiwa bersejarah dalam peradaban dunia. Sebuah peristiwa yang menunjukan keagungan akhlak sang Nabi, karena tidak setetespun darah yang tertumpah dalam peristiwa pembebasan kota Makkah ini.
Menurut Guru Besar Bidang Agama dan Isu Internasional dari Universitas Georgetown John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford, Fathu Makkah di ikuti oleh sekitar 10 ribu pasukan bergerak dari Madinah menuju Makkah. Makkah adalah tempat kelahiran Nabi, dan di Makkah juga Nabi di kucilkan oleh orang-orang Quraisy yang sampai pada akhirnya beliau harus hijrah ke Madinah.
Ada sebuah Akhlak mulia yang dicontohkan oleh sang Nabi pada saat Fathu Makkah, secara lazim orang yang pernah di hinakan di tempat kelahirannya dan kemudian ingin kembali ke daerahnya dengan membawa kekuatan yang besar, pasti yang di lakukan adalah pertempuran dan balas dendam.
Namun tidak bagi sang Nabi, meski sempat ada perlawanan di awal oleh ikhrimah bin Abu Jahal, akan tetapi pada akhirnya setelah ikhrimah melarikan ke Yaman, pada akhirnya Nabi menerima Ikhrimah dan dia masuk Islam, padahal Ikhrimah ini yang sangat getol memerangi Nabi.
Begitu juga dengan Abu sufyan, Tokoh kunci orang Quraisy, yang secara terang-terangan sejak awal dakwah Nabi dialah salah satu yang menentang bahkan beberapa kali berupanya membunuh Nabi, akan tetapi pada saat Fathu Makkah Nabi bersabda “Barang siapa masuk ke rumah Abu Sufyan, dia aman. Barang siapa menutup pintunya, dia aman. Dan barang siapa memasuki Masjidil Haram, dia aman.”
Akhlak sang Nabi itu adalah mudah memberikan “maaf”, peristiwa Fathu Makkah adalah secuil peristiwa yang mempresentasikan sifat “pemaaf” sang Nabi, di banyak peristiwa di sepanjang kehidupan beliau sifat pemaaf ini juga bagian yang tak terpisahkan menyertai dan melekat pada perangai dan ketinggian akhlaknya.
Dialah Alphonse de Lamartine , seorang negarawan asal Perancis yang mengagumi Sang Nabi, dia menyampaikan kekagumannya itu dengan sebuah ungkapan bahwa “Dia adalah manusia ahli Filsafat, orator, Rasul, legislator, pejuang, penakluk gagasan, pemulih keyakinan rasional, sekte tanpa gambar; pendiri dua puluh kerajaan terestrial dan satu kerajaan spiritual, yaitu Muhammad. Mengenai semua standar yang dengannya kebesaran manusia dapat diukur, kita mungkin bertanya, adakah orang yang lebih besar dari dia“.
Hari ini, di tengah kondisi zaman yang berubah dengan cepat, sifat pemaaf ini semakin langka kita jumpai. Hampir setiap hari kita mendengarkan dan menyaksikan keributan, pertengkaran, saling hasut, bullying, saling hardik, cemooh dan cela menjadi suatu hal yang biasa. Anak-anak kecil sudah terbiasa dengan umpatan-umpatan karena masalah yang terkadang di luar nalar. Bahkan baru-baru ini kita di hebohkan dengan kasus-kasus yang berujung pada konflik horizontal dan pembunuhan di tengah-tengah kita karena terkikisnya sifat pemaaf ini.
Kita yang hidup dan terlahir pada zaman “distruption” sekarang ini memiliki tugas dan andil yang besar untuk menjaga dan merawat nilai-nilai luhur yang telah di wariskan oleh para pendahulu kita. Terlebih bangsa kita di beberapa tahun kedepan akan berada pada situasi bonus demografi, dimana mayoritas yang menempati peran-peran strategis bangsa ini, yang akan menjadi tulang punggung bangsa ini adalah generasi yang sekarang kita sebut sebagai gen-z dan milenial.
Budaya memberi “maaf” ini harus menjadi driver bagi pertumbuhan dan perkembangan bangsa, generasi bonus demografi kita harus memiliki kecakapan dalam menumbuhkan dan mengembangkan bangsa ini dengan fundamental attitude ini.
Tidak ada pekerjaan yang lebih mulia kecuali meneladani ke agungan Akhlak Sang Nabi, menjadi manusia pemaaf di segala kondisi dan situasi, yang ternyata dengan sifat pemaafnya itu mampu menjadikan beliau dan kaum muslimin berada pada puncak kejayaan dan kontribusi bagi peradaban. Dengan sifat pemaafnya itu Sang Nabi justru mampu melakukan konsolidasi kekuatan dan strategi untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang berkeadilan dan hidup damai.
Menuju 100 tahun Indonesia merdeka pada 21 tahun lagi, generasi penerus kita yang hari ini berada di usia TK, SD, SMP, SMA dan pendidikan tinggi harus di bekali dengan fundamental attitude pemaaf. Kondisi zaman yang cepat berubah, situasi yang susah di prediksi dan persaingan yang semakin ketat dengan negara lain, harus menjadi cambuk penyemangat agar generasi kita memiliki kemampuan untuk berdaya saing dengan keagungan pekerti.
Tantangan dan persaingan zaman kedepan tidaklah mudah, akan tetapi bukan suatu hal yang mustahil bagi generasi penerus bangsa membawa bangsa ini pada level kemakmuran dan kemjuan di atas bangsa lain di segala sektor kehidupan, baik ekonomi, pendidikan, pembangunan, industri, pertanian, pariwisata dan sektor lainnya.
Budaya memberikan “maaf” bukan hanya akan menjadi akhlak terbaik bagi generasi penerus bangsa ini, akan tetapi juga akan menjadi sifat perilaku yang bisa menghantarkan para generasi mendatang membawa bangsa ini pada kemulyaan dan kemakmuran.