Jelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun depan, ruang pemberitaan media massa terus dipenuhi dengan berbagai konten yang mayoritas berkaitan dengan perbandingan hasil survei popularitas dan elektabilitas Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) yang sampai sejauh ini telah terbagi ke dalam tiga koalisi besar.
Dari pihak petahana (incumbent), terdapat figur Ganjar Pranowo bahkan Prabowo Subianto yang meskipun tampak samar dan berbeda koalisi, tetapi memiliki tagline yang sama dengan kubu Ganjar—yakni continuity terhadap kinerja Presiden Jokowi selama dua periode.
Sebaliknya dari pihak yang dianggap mewakili kelompok oposisi, terdapat figur Anies Baswedan dengan taglineperubahan yang terasa satir karena selalu menjadi antitesis bagi pihak petahana. Tentu, publik berharap agar dinamika politik tersebut tidak hanya berputar pada pola pragmatis, yakni sekadar merebut dan mempertahankan kekuasaan oligarki tanpa disertai dengan visi karakyatan yang membumi.
Mengingat, sebagaimana jelang gelaran Pemilu pada tahun-tahun sebelumnya bahwa mayoritas dari para kandidat yang diusung oleh masing-masing koalisi Partai Politik (Parpol) sering terjebak dalam narasi politik yang hanya berorientasi pada persoalan makro dan terkesan normatif.
Misalnya terkait dengan target pencapaian angka pertumbuhan ekonomi sampai pada peta pengembangan infrastruktur yang masih dianggap paling memorable dalamsiklus politik elektoral. Pendekatan pertumbuhan ekonomi sering kontraproduktif dengan prinsip filosofis keadilan sosial.
Realitas tersebut menjadikan subtansi dari momentum sirkulasi elit politik lima tahunan tampak datar bahkan terkesan membosankan. Padahal, banyak persoalan sosial strategis yang membutuhkan intervensi cepat dan berkelanjutan, tetapi justru luput dari perhatian.
Salah satunya adalah menyangkut keberlangsungan hidup anak-anak Indonesia dalam menyongsong generasi emas pada tahun 2045 saat usia kemerdekaan mencapai satu abad.
Sesuai dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa yang masuk dalam kategori usia anak adalah mereka yang belum berusia delapan belas tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Merujuk pada definisi tersebut, berdasarkan pada laporan profil anak yang dirilis oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) tahun lalu bahwa sesuai dengan hasil proyeksi penduduk interim 2020-2023 menunjukkan jumlah penduduk usia anak di Indonesia pada tahun 2021 sebanyak 79.486.424 jiwa atau setara dengan 29,15 persen dari jumlah penduduk total atau hampir sepertiga jumlah penduduk secara keseluruhan.
Meskipun berjumlah mayoritas, tetapi berbagai upaya proteksi terhadap anak harus menjadi keniscayaan. Mengingat berdasarkan pada data yang rilis oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada dua bulan pertama tahun 2023, tercatat sedikitnya 119 kasus kekerasan terhadap anak yang diadukan—mencakup kekerasan secara fisik, psikis, seksual sampai pelanggaran terhadap hak anak pada kategori klaster satu (hak sipil dan kebebasan), klaster dua (lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif), klaster tiga (disabilitas, kesehatan dasar dan kesejahteraan) sampai klaster empat (pendidikan, pemanfataan waktu luang dan kegiatan budaya).
Bahkan, masih menurut data KPAI bahwa sepanjang tahun lalu, terdapat sedikitnya 54 kasus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). Tentu hal tersebut cukup memprihatinkan. Ditambah lagi dengan persoalan angka prevalensi stunting yang masih berada pada angka 21,6 persen dari target 14 persen di tahun depan.
Begitu juga dengan persoalan anak putus sekolah, berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun lalu tercatat angka putus sekolah untuk jenjang SMA sebanyak 1,38 persen, jenjang SMP sebanyak 1,06 persen dan jenjang SD sebanyak 0,13 persen. Demikian pula dengan data terkait pernikahan anak yang tidak menggembirakan, Pengadilan Agama mencatat sebanyak 55 ribu pengajuan permohonan menikah pada usia anak pada tahun lalu. Lalu apa yang harus kita lakukan?
Mainstreaming isu anak
Memperhatikan berbagai persoalan di atas, maka sangat relevan jika isu anak menjadi program prioritas di tahun politik. Alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen sebaiknya disertai dengan subtansi kurikulum yang faktual dalam mencegah terjadinya tindak kekerasan terhadap anak, mencegah kembali maraknya angka putus sekolah yang berdampak signifikan terhadap jumlah pernikahan dini dan memicu kelahiran anak dalam kondisi stunting.
Alokasi anggaran perbaikan gizi yang memadai harus menjadi komitmen utama bagi pemerintah. Cerita soal anggaran stunting yang justru banyak terpakai untuk berbagai hal tidak subtansial dan produktif tidak boleh terulang. Tidak hanya pemerintah dan sekolah, peran keluarga juga sangat sentral dalam upaya memberikan hak pengasuhan anak secara lebih kontekstual dan proporsional.
Hegemoni teknologi informasi dan komunikasi yang begitu massif telah mendistorsi pandangan dan orientasi tentang mimpi besar anak di masa depan. Mayoritas anak menginginkan kehidupan yang bebas dari segala aturan mengekang karena dianggap konvensional.
Dalam situasi tersebut, entitas keluarga diharapkan mampu memberikan literasi tentang kehidupan moderat di tengah menguatnya sikap egosentrisme berbasis perbedaan identitas suku, ras, agama, kelompok, kelas sosial dan status ekonomi.
Maraknya kasus perkelahian, pengeroyokan bahkan tawuran yang melibatkan pelaku usia anak menjadi eksemplar kondisi krisis identitas dan karakter dalam diri anak saat ini. Keluarga, lingkungan sosial, sekolah, pemerintah termasuk media diharapkan mampu mengisi ruang kosong dalam diri anak tersebut.
Masa depan anak-anak secara akumulatif akan merepresentasikan masa depan bangsa di tengah kehidupan yang semakin kompetitif dan penuh dengan ketidakpastian (disruptif). Momentum tahun politik harus menjadi sarana untuk memastikan bahwa isu anak telah menjadi salah satu program kerja strategis masing-masing kandidat Capres.
Investasi dalam sektor Pembangunan Sumber Daya Manusia jangan lagi tergusur oleh berbagai proyek infrastuktur hanya karena persoalan politik elektoral.(*)