Malang Posco Media – Wacana wali kota mewujudkan Kota Malang sebagai “Halal City” mendapat penolakan. Seorang tokoh agama, Habib Syakur bin Ali Al Hamid, mengatakan ide itu merupakan arogansi wali kota. “Saya khawatir timbul sentimen, karena pemaknaan halal itu, jangan sampai dikaitkan dengan syariat islam,” (kronologi.id 7/2/22). Wakil Ketua Fraksi PDIP DPRD Kota Malang, Harvad Kurniawan, lebih tajam menyebut wali kota tak paham sejarah dan hukum (tugumalang.id 14/2/22).
Faktanya, program Halal City telah mendunia. Tokyo dan kota di Thailand yang bukan negeri muslim pun mengambil program ini sebagai strategi peningkatan ekonomi. Sebab, konsumen terbesar dalam pasar adalah muslim. Global Muslim Travel Index (GMTI) menyebut akan terdapat 230 juta wisatawan muslim sejak 2015. Negara dengan Halal City-nya diharapkan menjadi destinasi nomor satu para wisatawan. Tentu predikat “halal” menjadi daya tarik paling kuat. What a business.
Agar memperoleh status Halal City, wilayah tersebut diharuskan memiliki tempat makan, wisata, pertokoan, atau hotel, yang bersertifikasi halal. Mulai dari accessibility, communication, environment, hingga service. Seperti Halal Trip, Halal Resort, Halal Hotel, Halal Restaurant, Halal Cosmetics, dan sebagainya. Tempat ibadah mudah diakses dan memadai, larangan menjual minuman beralkohol, seperti itu.
Sebatas aturan makanan, minuman, buang air, tidur, tempat ibadah, dan kosmetik saja yang dilabeli halal. Tak ada -sama sekali- tentang konsep pendidikan, ekonomi, sosial, politik, pemerintahan. Itulah mengapa program Halal City tak menjadi konflik di negeri minoritas muslim tersebut. Siapa pun bisa mengambilnya karena tujuan yang sebenarnya adalah pendapatan. Menambah daya saing wisata, pendongkrak ekonomi.
Bertolak belakang dengan Heritage Kayutangan, ide mewujudkan Malang Halal City mengalami penolakan. Padahal keduanya punya motif yang sama: nilai ekonomi. Mungkinkah mereka menolak uang? Mereka menolak penyebutan halal untuk sebuah kota yang beragam dan majemuk, sebagaimana menolak penyebutan kafir bagi non-muslim. Jepang dan Thailand saja menginginkan sertifikat halal untuk menambah devisa yang besar. Namun, Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, mereka fobia dengan label halal. Sepanjang label itu hanya untuk makanan, minuman, hotel, kosmetik.
Ada isu toleransi di balik penolakan Malang Halal City. Beberapa hari lalu spanduk bertuliskan “MALANG TOLERANT CITY, NOT HALAL CITY” terpasang di depan balai kota. Perbuatan oknum. Ini menunjukkan betapa isu toleransi antaragama bergulir makin cepat. Seolah akal manusia pantas memprotes kitab suci. Halal sebagai istilah dalam kitab suci Islam dapat menyulut kegaduhan dan intoleransi. Di sisi lain, ketika UU Ciptaker menjamin kemudahan suatu produk mengakses sertifikasi halal tak ada yang keberatan atas dalih toleransi.
Demikianlah paradoks sistem kapitalisme. Ekonomi yang bersandar pada kapital ini meniscayakan jurus “label halal”, sedangkan konsep dasarnya bertentangan dengan sistem Islam. Hal yang sama ketika jalan hampir buntu, utang dan pajak membelenggu, serta rakyat mulai kritis terhadap sistem, jurus “dana wakaf dan zakat“ dikeluarkan. Akan tetapi, isu toleransi yang dibuat-buat ini malah mengekspos paradoks kapitalisme. Sekadar istilah islami saja dianggap memberikan celah tindakan intoleransi. Lantas, jurus inovatif apa yang akan dikeluarkan selanjutnya?
Sistem kapitalisme sebagai sistem yang menyeluruh, tak hanya ekonomi, telah mengantarkan negeri ini kepada orientasi keuntungan. Rakyat diperah demi tuntutan produksi dan pertumbuhan ekonomi. Produksi YES, distribusi NO. Program pemberdayaan perempuan pun hanya menjauhkan perempuan dari fitrahnya sebagai al-umm warobbatul bait dan madrasah al ula. Tak lebih dari mesin penghasil pundi-pundi ekonomi. Pendidikan dan kesehatan, semuanya diperjualbelikan. Relasi penguasa dan rakyat bagaikan penjual dan pembeli.
Sistem kapitalisme ini dilanggengkan oleh demokrasi sebagai sistem pemerintahan. Kapitalisme selalu menciptakan kesenjangan agar salah satu pihak dimanfaatkan pada saat pemilu. Sebab dalam demokrasi, setiap suara adalah sama. Biaya pesta demokrasi tak dapat dibayar tanpa para kapitalis (pemilik modal). Inilah karpet merah bagi para pengusaha tuk mengendalikan tangan dan mulut penguasa. Hasil produksi hanya dinikmati segelinting orang melalui regulasi yang tak masuk akal seperti Omnibus Law.
Untuk menutupi semua itu, maka perlu dibuatkan pengalihan isu agar rakyat tak menyadari what’s going on. Ciri khas politik demokrasi. Pencitraan oleh media, politics entertainment yang menayangkan outfit pejabat, ulang tahun cucu. Kemudian ada Moderasi Beragama yang digadang-gadang menjadi solusi intoleransi. Masalah utama Indonesia, kata mereka, adalah intoleransi. Mereka merumuskan konsep toleransi yang membuat rakyat bingung terhadap agamanya. Sesaji dan dupa dibawa-bawa dalam acara ngaji yang dihadiri berbagai pemeluk agama.
Mereka bilang kekerasan dalam rumah tangga terjadi karena konsep patriarki dalam penafsiran ayat suci, tetapi aktivitas haram seperti pacaran dibebaskan hingga terbit Permendikbud No.30 Tahun 2021 yang lagi-lagi mengungkit syariat berpakaian dalam kitab suci. Bukankah pacaran telah dilarang? Proses merumuskannya sangat melelahkan, tapi kasus kekerasan seksual terus terjadi. Apakah moderasi beragama solusinya?
Sungguh Allah SWT telah berfirman semua bencana dan kerusakan ini akibat dari ulah manusia. Manusia yang tak mau menerima aturan-Nya dan membuat aturan sendiri sekehendak perutnya. Allah SWT tak akan menzalimi sebagian bangsa, kelompok, atau umat hamba-Nya. Penerapan sistem Islam tak mengharuskan semua orang masuk ke dalam Islam, tetapi mengharuskan mayoritas sepakat untuk penerapannya. Penerapan ini tercatat selama 13 abad dalam sejarah, sejak berdirinya negara Islam di Madinah hingga Kekhilafahan Ustmaniyyah.
“Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. … Agama Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir bahkan hingga Maroko dan Spanyol.” (Will Durant dalam The Story of Civilization). Hanya Islam yang mampu menyatukan umat manusia.(*)