.
Friday, November 22, 2024

Malang Posco Media, Wonder Kid, dan Kingkong

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG POSCO MEDIA – Di dunia sepak bola profesional banyak bermunculan anak-anak dengan usia sangat muda yang sudah punya kemampuan hebat, tidak kalah dari pemain-pemain senior. Anak-anak muda ini dikenal dengan sebutan ‘’the wonder kid’’, anak ajaib.

Meskipun masih muda, tapi keterampilan dan profesionalitas mereka tidak kalah dari para pemain senior yang terlebih dulu mapan dan terkenal. Bahkan, anak-anak ajaib ini bisa menjadi kekuatan baru yang punya potensi besar menggeser pemain-pemain senior yang sudah punya nama besar dan cenderung punya mental mapan.

Ibarat pemain sepak bola, Malang Posco Media (MPM) masuk dalam kategori ‘’wonder kid.’’ Umurnya masih sangat muda, tapi kemampuan gocek bola dan cetak gol tidak kalah dari pemain senior. Malang Posco Media baru terjun ke kompetisi resmi dalam dua musim terakhir, tetapi skillnya mampu menyihir penonton yang memenuhi stadion.

Mengawali musik kompetisi 2022 ini, MPM tampil dengan brand baru. Sebagaimana dalam dunia kompetisi sepak bola–yang tidak selamanya menjunjung nilai-nilai fair play–dalam dunia persaingan media pun sering muncul persaingan yang tidak sesuai dengan kaidah fair play. Tapi, alih-alih menjadi tenggelam MPM justru muncul dengan tampilan dan brand baru yang lebih segar.

Dalam dunia marketing dikenal adagium yang menyatakan ‘’content is the king’’, isi adalah raja. Bagi media, untuk bisa bersaing di pasaran senjata utamanya adalah konten.  Kualitas jurnalistik media tidak pelak menjadi senjata utama untuk memenangkan persaingan. Tanpa konten yang berkualitas akan sangat sulit bagi media untuk bersaing di pasar.

Tetapi, konten yang kuat tidak akan bisa menjadi selling point kalau tidak dipasarkan dengan baik. Orang-orang redaksi boleh menepuk dada dengan menyebut dirinya sebagai ‘’the king maker’’ karena menciptakan konten yang berkualitas. Tetapi, departemen marketing tidak akan mau kalah, dan mengklaim dengan jargon ‘’marketing is the queen’’, marketing-lah yang menjadi ratunya.

Sang raja boleh berkuasa, tetapi sang ratu yang menentukan keputusan-keputusan penting. Sang raja boleh gagah perkasa tampil di depan publik, tapi di depan sang ratu dia akan lunglai, tidak berdaya. Itulah hebatnya sang ratu, itulah dahsyatnya marketing.

Tentu dua kekuatan itu tidak bertentangan secara diametral, tapi malah harus bersinergi menjadi satu, saling membutuhkan dan menguatkan. Sehebat apapun tim marketing bekerja kalau konten tidak berkualitas sama saja dengan mendorong mobil mogok. Kerja keras akan sia-sia kalau konten tidak berkualitas.

Orang-orang redaksi selalu merasa sebagai manusia istimewa yang menjadi ujung tombak perusahaan media. Jurnalis selalu bangga dengan profesinya yang terhormat dan sarat dengan idealisme. Departemen redaksi menjadi ruang yang sakral yang tidak boleh ditembus oleh departemen bisnis. Jangankan ditembus, disentuh pun tidak boleh.

Itulah sebabnya muncul istilah ‘’firewall theory’’, teori tembok api. Departemen redaksi dibatasi dengan tembok api yang tidak boleh disentuh orang dari luar redaksi. Ruang redaksi harus kedap dari pengaruh bisnis untuk menjaga netralitas, imparsialitas, dan objektifitas. Keputusan redaksional diambil secara mandiri bebas dari pengaruh apapun.

Untuk menjaga kesakralan tembok api itu departemen redaksi ditempatkan di sebuah bangunan yang terpisah dari departemen bisnis. Tradisi itu banyak ditemui di perusahaan media di Eropa dan Amerika. Departemen redaksi menjadi bagian yang steril dari pengaruh bisnis.

Masa berganti dan keadaan pun berubah. Persaingan media yang sangat keras dan tidak kenal ampun membuat tradisi tembok api pelan-pelan padam. Media menghadapi persaingan pasar yang sering brutal sampai saling gorok leher. Cut throat competition, kompetisi gorok leher, menjadi realitas baru yang mau tidak mau menjadikan tembok api itu akhirnya kabur dan padam.

Seorang pemimpin redaksi media terkemuka di Eropa ditanya mengenai berapa oplahnya dan pendapatan bisnisnya setiap tahun. Dengan tak acuh dia menjawab, ‘’I don’t know, and I don’t care’’, saya tidak tahu, dan saya tidak peduli. Itulah yang terjadi kiran-kira 10 tahun yang lalu. Dalam satu dasawarsa dunia berubah dan manajemen media pun ikut berubah bersamanya.

Sinerji dan kolaborasi menjadi password baru. Redaksi tidak bisa lagi bekerja dalam kondisi vakum dan tidak memedulikan departemen bisnis yang bertugas mencari uang. Perusahaan media adalah entitas yang unik karena memunyai dua wajah yang berbeda. Sebagai entitas sosial perusahaan media menjalankan fungsi idealistis. Sebagai entitas bisnis, perusahaan media menjalankan fungsi-fungsi bisnis sesuai dengan kaidah-kaidah ekonomi untuk mendapatkan profit.

Dua hal ini bisa berbenturan kalau tidak dikelola dengan bijaksana. Departemen redaksi selalu bicara mengenai idealisme yang paling murni, sementara departemen bisnis bicara mengenai profit. Dua-duanya harus bisa berjalan seiring dan seimbang sehingga jalannya bisa tegak dan suaranya tetap merdu karena setelan ekualiser yang pas.

Idealisme sangat penting dan menjadi ruh utama jurnalisme. Tetapi idealisme yang membuta tidak akan bisa bertahan lama. Sebaliknya, profit orientation, mencari uang, adalah hal yang niscaya bagi perusahaan untuk bisa berkembang dan berjaya.

Prinsip dagang selalu pragmatis, yang penting bisa menghasilkan uang. Profit above all, uang di atas segala-galanya. Prinsip inilah yang disebut sebagai prinsip kapitalisme yang menghasilkan pengumpulan keuntungan sebesar mungkin. Capital accumulation, penimbunan modal, menjadi target yang harus dicapai setiap saat. Hasilnya adalah, meminjam istilah Deddy N. Hidayat, munculnya  the pursuit of never ending capital accumulation, penumpukan modal yang tidak ada habisnya.

Dua hal yang ekstrem itu tidak boleh saling mengalahkan, dua-duanya harus sama-sama hidup dalam keseimbangan dan ekuilibrium yang indah. Redaksi harus tetap menjalankan fungsi ideal. Sebagaimana disitir oleh Kovach dan Rosintiel, kewajiban utama jurnalisme adalah pengabdian kepada publik. Jurnalisme mengandung nilai yang sakral yang menyamai agama. Kovach tanpa ragu-ragu mengatakan, ‘’my other religion is journalism’’, agama saya yang lain adalah jurnalisme.

Di dunia yang berlari kencang seperti sekarang, kompetisi tidak harus dilakukan dengan saling membunuh. Sebaliknya kompetisi harus dilakukan dengan bekerja sama. Bukan competition tapi coopetition, kompetisi dan kooperasi, persaingan sekaligus kerja sama.

Orang redaksi bangga dengan konten, orang bisnis bangga dengan marketing. King dan queen memegang mahkota dan singgasana. Tetapi, masih ada satu lagi kekuatan yang tidak boleh diremehkan. Dialah ‘’brand’’ atau merek. Konten boleh mengklaim sebagai ‘’the king’’, dan marketing sebagai ‘’the queen.’’ Tapi brand adalah ‘’the kingkong’’, rajanya raja. Konten dan marketing tidak akan ada artinya kalau brand tidak kuat. Karena brand adalah kingkong.

MPM muncul dengan wajah baru dan brand baru. Sekarang saatnya memperkuat brand dengan cara meningkatkan kualitas konten dan mengokohkan jaringan marketing. Dengan begitu, brand MPM akan semakin kuat dan menjadi kingkong yang digdaya.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img