Perjalanan menggapai hidayah bisa dilalui oleh siapapun. Seperti halnya perjalanan spiritual yang dilalui Syahrul Munif. Ia pernah menjadi kombatan organisasi ekstrimis Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Tapi itu dulu. Dia kini aktif kampanyekan gerakan nasionalisme, cinta Tanah Air.
MALANG POSCO MEDIA- Hidup di dataran gersang berlumur bubuk mesiu pernah dijalani Syahrul Munif. Pria 43 tahun ini sempat bergabung dengan ISIS pada tahun 2014 lalu.
Pria asal Singosari Kabupaten Malang itu merupakan salah satu kader yang berangkat bersama rombongan Abu Jandal. Munif sapaan akrabnya, dulu seorang aktivis salah satu organisasi kemahasiswaan ekstra kampus.
Jiwa aktivis dan kepeduliannya saat itu memang sedang berapi-api. “Idealisme pemuda sebagai penggerak dan agen perubahan, terus melekat dalam diri dan pikiran saya. Bahkan setelah saya membangun rumah tangga dan dikaruniai seorang anak,” ceritanya.
Di tahun 2014, ia bertemu jamaah dari Abu Jandal. Kelompok tersebut kemudian memberikan doktrin-doktrin terkait pembelaan HAM di Timur Tengah. Idealisme yang dimilikinya, seolah mendorongnya untuk membela. Terbesit di benaknya, di sanalah ia seharusnya berada.
“Saya berangkat memang karena misi kemanusiaan waktu itu, saya diberitahu untuk bergabung berjuang di Timur Tengah membela masyarakat muslim di sana,” ungkapnya.
Ribuan alasan disipakannya untuk memuluskan jalan keberangkatannya ke Suriah. Menyampaikan kepada ibu dan istrinya, bahwa dia menjadi relawan dan berjihad demi misi kemanusiaan. Ini terus disampaikannya, untuk bisa meluluhkan hati keluarga tercintanya.
“Usaha itu akhirnya berhasil. Dan saya berangkat ke Jakarta untuk bergabung dengan kader lain dari berbagai daerah yang bersama menuju ke Suriah,” kenang Munif.
Paspor dan kebutuhan administrasi lain memang telah ia siapkan sejak hari-hari sebelumnya, sehingga keberangkatan jihadnya mulus sampai tempat tujuan.
Saat sampai di sana, hal di luar dugaannya terjadi. Ia harus berjuang beradaptasi dengan keringnya udara dan panasnya gurun pasir. Selain itu, dia berlatih keras untuk bisa mengoperasikan senjata AK-47, untuk melindungi diri dan menyerang musuh yang ditemui.
“AK-47 sudah seperti anak kami sendiri, bahkan kami setiap dua minggu rutin membongkar dan membersihkan agar tidak macet,” ceritanya.
Suatu saat ia mendapatkan tugas untuk berpatroli di wilayah medan perang. Saat berkeliling dengan satu timnya, seketika bau anyir menusuk ke hidungnya. Dengan perasaan berdebar ia memberanikan diri melihat sumber bau itu.
Hatinya bergetar, saat menyaksikan jasad dan potongan badan tertancap di pagar dan senjata, yang ada di area tersebut. “Kekerasan seperti pemenggalan, di beberap video yang tersebar di berbagai media, memang benar adanya. Jujur, saya belum pernah melakukan, tetapi teman saya pernah dan itu dianggap wajar di sana,” cerita Munif.
Timbunan tekanan dan perasaan tidak nyaman, terus berkecamuk di pikiran dan hatinya. Meskipun begitu, tidak menutup semangatnya berjuang di jalan kemanusiaan yang masih terngiang di benak pikirannya.
“Semua hal tersebut mulai memudar dan menumbuhkan rasa galau di hati dan pikiran. Tiba-tiba saya membayangkan hal-hal yang menggoyahkan keteguhan dan keyakinan saya, untuk berjihad di Suriah. Puncaknya saat pelaksanaan pembaiatan dan pendirian negara khilafah,” ujarnya.
Seketika hatinya goyah. Idealisme yang membakarnya padam. “Saya begini-begini lulusan hukum, dan tahu tentang pendirian sebuah negara. Pendirian negara di tengah kondisi yang belum pasti dan terombang-ambing, adalah hal yang belum saatnya, ini terlalu prematur,” tuturnya.
Kemudian dengan segala sisa kekuatan dalam hatinya, Munif menghadap pimpinannya dengan taruhan nyawa. Saat itu, ia telah menyiapkan berbagai dalih, untuk bisa mendapatkan paspornya kembali.
Pikirannya sudah karut marut saat itu. Di benaknya mulai mengatakan bahwa ini sudah di luar dari Islam Rahmatan lilalamin, yang dipikirkannya saat berangkat.
“Saya bilang kepada pemimpin pasukan saat itu, bahwa saya mau jual aset saya di Indonesia. Dan saya mau membawa keluarga saya, untuk berjihad bersama di sini,” kata Munif.
Bukan perkara mudah, untuk Munif bisa keluar dari markas ISIS yang mencekam itu. Label pengkhianat, seolah sudah mulai samar dialamatkan pada dirinya.
Kemampuan negosiasinya, berhasil menyelamatkannya. Ia bisa meyakinkan pimpinan pasukan saat itu, dengan segudang alasan yang sudah disiapkan.
Ia akhirnya berkesempatan masuk ke negara Turki, dengan menggunakan kereta dorong. Pasalnya, saat itu belum ada ketegangan yang sangat panas di tanah tersebut. Dan satu-satunya akses, untuk dapat pulang ke Tanah air hanya ada di Turki.
Usai enam bulan tersandera menjadi bagian dari ISIS, akhirnya ia berhasil menginjakkan lagi kakinya di Indonesia. “Saya sangat gembira, karena bisa bertemu dengan keluarga tercinta. Meskipun sempat ada ketakutan, karena ISIS sudah dikecam di Indonesia,” jelasnya.
Tepat di tahun 2017, ia harus merasakan dinginnya jeruji besi. Itu saat dia ditangkap Densus 88 Anti Teror Polri, akhir tahun 2016 lalu.
Dari bilik penjara, Munif terus berbenah dan belajar banyak hal. Ia berhasil memulihkam jiwa dan hatinya. Jiwa aktivis Munif yang dicederai oleh doktrin ISIS dengan alasan misi kemanusiaan, mulai kembali ke jalan yang benar.
Ia semakin yakin, bahwa keputusannya saat ini adalah yang terbaik. Banyak lalu lalang informasi, bahwa anggota atau kader ISIS mulai meracuni orang-orang di berbagai belahan bumi, dengan menuduh kafir, bagi mereka yang tak sejalan.
Masa ia berbenah dan kembali ke sisi positif dari balik jeruji besi berakhir 25 September 2019 lalu. Munif akhirnya dibebaskan dari Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Sentul, Bogor, Jawa Barat.
“Mulai saat itu saya putuskan bahwa radikalisme ini harus dibasmi, harus ditumpas, harus dimusnahkan. Karena ini yang merusak negara yang damai dan tenteram,” tegasnya.
Munif tak pernah lelah, menyampaikan pesan untuk menjaga nasionalisme. Dari orang ke orang, kota ke kota, dari satu acara ke acara lain, ia terus menyebarkan anti radikalisme. Ia berfokus untuk membentuk paradigma ini di kalangan anak muda.
Idealisme yang tidak memiliki koridor atau ruang dan salah sasaran, akan menuju pada kehancuran. “Saya tak pernah lelah, untuk menympaikan ini. Semangat saya dulu saat menjadi aktivis dan berjihad di Suriah, saya tumpahkan untuk menumpas radikalisme. Sekaligus ini jadi bentuk pertanggunjawaban saya, sebagai seorang yang berpengalaman,” jelasnya.
Munif yang saat ini juga terus bergelut menjadi seorang pengusaha permen ternama di Singosari, tidak pernah minder dengan masa lalunya. Menurut dia, dari sana ia dapat bercerita dan memotivasi agar tidak ada lagi radikalisme di bumi Indonesia.
Hingga saat ini sudah tak terhingga, ia bercerita untuk menjauhi radikalisme. Jiwa labil seorang pemuda harus diwadahi dan diarahkan dengan berbagai hal positif.
“Menumpas radikalisme bukan perkara mudah, karena musuhnya adalah sosok-sosok berpengaruh. Dan mereka, bisa mempengaruhi seseorang secara masif,” sebutnya.
Munif saat ini terus teguh dalam niatnya menyampaikan pesan damai, dan anti-radikalisme. “Saya melakukan ini, agar tidak ada lagi kesalahan bagi generasi selanjutnya, ikut terjerumus menjadi seorang yang radikal, ekstrimis, dan tidak mencintai Tanah Airnya,” pungkasnya. (rex/van)