Salah Tempatkan APK Bisa Ribut Besar
Paling Rawan Intrik Sesama Caleg Satu Parpol di Dapil yang Sama
Setelah Daftar Calon Tetap (DCT) anggota legislatif diumumkan pekan lalu, maka ketegangan politik pun rawan terjadi. Ini periode paling sensitif. Caleg, pengurus partai politik (parpol), KPU dan Bawaslu harus bijak.
=======
MALANG POSCO MEDIA-Banner, spanduk hingga baliho para calon anggota legislatif (caleg) makin berhamburan di berbagai tempat. Kini lengkap dengan nomor urut. Tapi tahukah Anda? Ini salah satu potensi kerawanan konflik politik.
Potensi rawan gesekan pun mulai terjadi. Itu jika tak dikelola dengan baik. Salah pasang alat peraga kampanye (APK) saja langsung mengundang ketegangan.
Konflik bisa terjadi jika ada caleg yang tidak terima APK miliknya tertutup oleh APK milik caleg lain. Sekali pun satu partai politik.
Analis politik Kota Malang Dr Nuruddin Hady mengakui kerawanan pemasangan APK. Termasuk konflik antarcaleg satu parpol di daerah pemilihan yang sama.
“Nah ini sudah rawan konflik, apalagi kita lihat sekarang APK sudah banyak yang saling bertumpukan,” kata Nuruddin kepada Malang Posco Media, Minggu (5/11) kemarin.
Untuk diketahui, Nuruddin mengetahui potensi konflik antarcaleg. Sebab ia mantan anggota Panwaslu (sekarang Bawaslu), juga mantan anggota KPU Kota Malang.
Menurut pengalamannya, APK menjadi salah satu pemicu konflik. Selain konflik bisa terjadi antarcaleg beda parpol, pemasangan APK yang bertumpukan ini juga bisa memicu konflik caleg antarpartai. Itu dikarenakan persaingan sesame caleg di dapil yang sama.
“Ada juga pengrusakan APK. Biasanya dilakukan karena persaingan, pendukung caleg satu merusak APK caleg saingannya itu sering terjadi,” ungkap Nuruddin.
Selain itu konflik yang bisa terjadi karena APK adalah tempat pemasangannya. Konflik biasa terjadi jika pemasangan APK dilakukan di tempat yang diklaim sebagai basis salah satu partai atau caleg tertentu.
“Terjadi konflik ketika pencopotan APK itu tidak melalui Bawaslu. Misal ada yang tidak terima ada APK dipasang di depan rumahnya. Dicopot sendiri, terutama jika tempat itu di klaim jadi basis tertentu. Nah jika dicopot tidak melalui Bawaslu, maka itu dianggap sebagai pengrusakan,” jelas akademisi Universitas Negeri Malang (UM) ini.
Memang, lanjut Nuruddin, pencopotan APK tanpa sepengetahuan atau tanpa melalui Bawaslu Kota Malang bisa dianggap sebagai pengrusakan. Maka dari itu diperlukan pemahaman soal pemasangan APK juga penurunan APK, baik dari caleg maupun masyarakat umum.
Kemudian kasus APK yang dipasang di kawasan-kawasan larangan juga memicu konflik. Misalkan di lingkungan sekolah hingga tempat ibadah. Hal ini juga menjadi catatan pada pelaksanaan pemilu sebelumnya.
“Selain APK, konflik antar caleg juga bisa terjadi karena praktik-praktik money politics,” paparnya.
Praktik money politics yang merupakan larangan dalam pelaksanaan kampanye bisa saja masih dilakukan para caleg. Biasanya konflik terjadi jika para caleg akan saling mengadu atau melaporkan satu sama lainnya.
Misalkan, caleg satu mengintip apa saja yang dilakukan caleg saingannya. Kemudian melaporkan jika ada aturan yang dilanggar seperti melakukan money politics.
“Dulu ada yang saling lapor. Ada yang kampanye sambil bagi-bagi sembako. Dilaporkan, salah satu caleg, ketahuan siapa yang melapor caleg yang dilaporkan melaporkan balik. Padahal dua-duanya sama-sama melakukan itu (melakukan praktik money politics),” ungkap Nuruddin.
Yang juga perlu diperhatikan juga kerawanan konflik yang terjadi karena ketidaknetralan. Seperti ASN. Nuruddin menjelaskan beberapa kasus konflik pada pemilu yang pernah ditanganinya adalah soal netralitas ASN.
Seperti saat hari libur, seorang ASN terlihat berada dalam acara kampanye salah satu caleg. Bahkan menggunakan atributnya.
“Memang, ASN memiliki hak memilih, tetapi ASN juga harus bijak dan bisa menempatkan diri sesuai norma ASN,” pungkas Nuruddin. (ica/van)