Nama penanya Mashdar Zainal. Berawal dari tahun 2010 lalu, Novel berjudul “Zalzalah” karya Mashdar Zainal diterbitkan. Ini karya pertamanya yang diterbitkan.
Ruang tamu rumahnya di Perumahan Arjuna Gumilang, Ngijo, Karangploso, Kabupaten Malang difungsikan sebagai perpustakaan mini. Tampak sebagian buku-bukunya sudah tak baru lagi. Ada yang sudah tak bersampul. Bahkan untuk mengetahui judul buku tersebut harus bertanya kepada tuan rumah.
Rumahnya sangat adem. Terasnya difungsikan sebagai kebun mini. Banyak tanaman hijau yang membuat semakin adem dengan iringan alunan suara gemericik aquarium mini.
Di teras inilah tempatnya menulis dalam keheningan malam. Para tamu yang berkunjung pasti akan betah di sini untuk sekadar membaca buku.
Kecintaan terhadap sastra membuat namanya diperhitungkan di dunia sastrawan. Sudah sering menjuarai beberapa lomba tingkat lokal maupun nasional. Bahkan pernah menjadi pemenang Sayembara Sastra 2017 kategori cerpen yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jawa Timur.
Suami dari Uswatun Hasanah dengan tiga anak ini sangat sederhana. Ketika mengobrol, tutur kalimatnya tersusun dan terarah seperti goresan-goresan kalimat sastra.
Pemilik nama asli Darwanto kelahiran Madiun, 15 April 1984, ini mengaku sejak kecil tidak pernah bersentuhan dengan karya sastra. Tapi saat ini, dia telah menjuarai berbagai lomba kepenulisan. Tidak sedikit pula cerpen-cerpennya dimuat di koran lokal maupun nasional.
Saat ini 12 buku karyanya telah diterbitkan. Tidak sepeserpun ia mengeluarkan biaya untuk menerbitkan bukunya.
Justru, karya Mashdar Zainal dibeli oleh pihak penerbit buku. Baginya, sebuah karya harus dibayar, bukan sebaliknya. Ia tidak mau menerbitkan buku dan membayar kepada penerbit.
“Hampir semua buku saya seperti itu. Itu kan hasil otak kita, hasil kekayaan intelektual kita. Kenapa kita harus membayar. Harusnya kita yang dibayar,” ucap Mashdar Zainal yang saat ini melanjutkan S2 Jurusan Sastra di Universitas Negeri Malang (UM) ini.
Baginya sebuah buku merupakan “anak” yang dilahirkan. Semua buku yang sudah ia terbitkan, menjadi “anak” kesayangan. Ia tidak membandingkan karya yang sudah “dilahirkan”.
“Ketika buku lahir, seperti orang tua yang anaknya lahir. Karena setiap proses kreatif naskah lahir berbeda-beda dan publik pun menangkapnya berbeda. Jadi semua buku yang pernah saya tulis semuanya sangat berkesan,” ujar Mashdar Zainal yang sudah banyak karya antologinya terbit.
Ketertarikannya dalam hal sastra dan tulis-menulis sebenarnya baru benar-benar tumbuh saat kuliah. Yakni di UIN Malang.
”Kalau ke perpustakaan, seharusnya nyari buku mata kuliah. Eh, saya malah nyari novel,” ujar alumnus Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah UIN Malang pada 2007 itu.
Ia benar-benar menekuni dunia tulis-menulis mulai 2010. ”Waktu galau-galaunya setelah kuliah mau ngapain, di situlah saya mulai menekuni dunia tulis-menulis,” kenang penggemar sastrawan Buya Hamka ini.
Disinggung tentang penulis apa bisa dijadikan profesi? Ia setuju asal tidak dijadikan penghasilan utama. Kecuali sudah memiliki nama besar seperti Andrea Hirata, Tere Liye dan lainnya.
“Saat ini literasi bidang fiksi di Indonesia kurang dihargai. Tidak seperti di negara – negara lainnya. Bahkan sudah menjadi profesi. Karena di Indonesia profesi penulis masih samar-samar. Dan rata-rata penulis di Indonesia punya kerja sambilan,” ucap Mashdar Zainal yang juga guru Seni Rupa di SDIT Insan Permata ini.
Dari seluruh karyanya, pada tahun 2023 ia dipercaya Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudrisetek) untuk menulis buku anak (cerpen).
“Alhamdulillah, lebih tepatnya dua cerpen yang sudah saya tulis. Yang pertama untuk Balai Bahasa Jawa Timur. Kedua untuk Kemendikbudrisetek,” imbuhnya.
Menurut Mashdar Zainaluntuk mengembangkan literasi harus dimulai dari keluarga. Tapi tidak semua keluarga sadar literasi.
Maka, sekolah dan guru yang menjadi pintu kedua untuk mengajarkan literasi. Tapi tetap kembali ke keluarga. Karena akarnya ada di keluarga. Meskipun di sekolah fasilitas lengkap. Tapi dari awalnya tidak dikenalkan dengan literasi akan sulit.
“Rata-rata murid saya di SDIT Insan Permata yang suka baca keluarganya juga suka baca dan peduli literasi. Rumah ini saya penuhi dengan buku tujuannya ya untuk literasi. Mengajarkan anak saya untuk terbiasa dengan literasi,” imbuhnya.
Ia menyampaikan, Kota Malang merupakan wilayah literasi di Jawa Timur. Dibandingkan dengan wilayah besar lainnya.
“Harapannya, literasi di Kota Malang semakin berkembang. Apalagi Kota Malang memiliki perpustakaan yang besar. Dan untuk kehidupan yang lebih baik dimulai dari membaca,” ungkap Mashdar Zainal. (hud/van)