spot_img
Wednesday, July 2, 2025
spot_img

Maslahah vs Mudlarat

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M,Si

MALANG POSCO MEDIA – Dalam ajaran dan tradisi Ahlussunnah wal Jamaah tidak pernah ditemukan istilah memberontak. Bahkan pelaku yang memberontak disebut khowarij, meski istilah ini hanya mengarah pada mulanya kepada kelompok yang membelot dari kepemimpinan Sayyidina Ali ra., namun secara dinamis juga digunakan untuk setiap kelompok yang melakukan tindakan makar terhadap pemerintah yang sah.

Bahkan dalam kurun waktu pergantian pemimpin satu dengan yang lainnya atau tiadanya pemimpin maka tidak diperbolehkan saling berebut kekuasaan. Syaikh Mutawalli Sya’rowi seorang pakar tafsir terkemuka di Mesir saat menasehati Husni Mubarak presiden terpillih pada masanya dengan nasehat.

“Barang siapa diminta mengemban satu amanah maka dia akan mendapatkan pertolongan, barang siapa yang memburu amanah (jabatan) maka dia akan mengurusnya sendiri tanpa taufiq dari Allah.”

Hal ini senada dengan Hadits Nabi saw., yang artinya “Dari Abdurrahman ibn Samurah berkata: Nabi saw berkata kepadaku: “Wahai Abdurrahman ibn Samurah, janganlah kamu meminta jabatan. Sebab jika kamu diberinya karena meminta, maka kamu akan dipikulkan tanggung jawab sepenuhnya, dan jika kamu diberi (jabatan) tanpa meminta, maka kamu akan ditolong, dan jika kamu bersumpah lantas kamu lihat yang lain adalah yang lebih baik, maka bayarlah kafarat sumpahmu dan lakukanlah yang lebih baik.” (HR. Bukhari).

Pada saat Nabi Muhammad SAW wafat, kaum muslimin tidak memiliki pemimpin karena semua berkabung mengurusi jenazah Nabi SAW hingga akhirnya Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah. Hal ini sempat sedikit memicu konflik antara kaum Anshor dan Muhajirin, bahkan sebagaimana yang telah dijelaskan satu minggu lalu, bahwa lebih baik terdapat pemimpin fasiq atau dzalim daripada tidak ada sama sekali.

Maka seyogyanya pada masa di mana pemimpin tidak aktif atau tidak ada sekalipun Ahlul halli wal aqdiharus mengambil sikap dengan mengangkat pejabat sementara untuk menjadi pemegang tampuk kepemimpinan.

Tidak Idealnya Syariat

Dalam hal melaksanakan syari’at Islam secara totalitas, terutama untuk menerapkan hukum pidana Islam. Dan kondisi seperti ini bukanlah suatu dosa yang tak termaafkan, lebih-lebih boleh divonis kafir (Fattah, 1983). Sebab dalam menjalankan perintah agama, ada tolak ukur yang disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuan, seperti sabda Nabi saw., yang artinya: “Maka, apabila aku perintahkan sesuatu kepada kalian, lakukanlah semampu kalian. Dan apabila aku melarang sesuatu kepada kalian, maka tinggalkanlah.” (HR. Bukhari Muslim).

Formalisasi syari’at secara totalitas sebagai hukum positif tanpa mempertimbangkan kesiapan umat Islam justru akan menimbulkan mafsadah terhadap umat Islam sendiri. Di Indonesia, yang kendati Muslim secara kuantitas menempati angka mayoritas, namun secara kualitas ke Islaman masih relatif rendah, dipastikan akan banyak orang yang tangannya buntung, atau mati di tangan eksekutor ketika hukuman hudud diformalkan dalam hukum positif. Dan hal ini dikhawatirkan justru akan menyebabkan banyak umat Islam yang lari tidak mengakui sebagai Muslim, karena ketakutan terhadap sanksi hukum tersebut.

Formalisasi syariat di tengah ketidaksiapan umat justru akan meningkatkan angka Muslim yang murtad, tanpa menganggap undang-undang KUHP lebih baik dari pada undang-undang Allah tentunya.

Sederhananya, apabila menginginkan Indonesia menjadi negara Islam, maka idealnya Islamisasi terlebih dahulu bagian bangsanya. Memaksakan pendirian Negara Islam atau formalisasi syariat secara emosional, tanpa didukung kesiapan mental-sosial rakyatnya, hanya akan menjadikan negara tanpa bangsa.

Bangsa yang Islami jauh lebih baik dibanding negara Islam. Jauh lebih penting bagaimana membangun masyarakat sadar hukum, yang bersedia meninggalkan kejahatan pencurian, pembunuhan, dan perzinaan, dari pada ngotot bagaimana bisa menghukum para pencuri, pembunuh dan pezina dengan hukuman potong tangan, qishas, dan rajam.

Jika memang disepakati ide formalisasi syariat, maka teori syari’ah manakah yang akan diterapkan? Apakah model madzhab Wahabi di Saudi Arabia yang memberangus ajaran-ajaran sebagaimana amaliah kaum Nahdliyyin, tawassul, tahlil, talqin, dan lain sebagainya?

Atau madzhab Syiah yang telah membunuh ratusan ulama dan umat Islam, menghancurkan masjid-masjid Ahlussunnah sebagaimana yang terjadi di teluk Persi, di bagian wilayah Timur Tengah, atau belahan lain di dunia? Kemudian pemerintah yang berkuasa melakukan semua itu, lagi-lagi, atas nama agama. Jika itu yang terjadi, niscaya pengikut Ahlussunnah atau Nahdliyyin di Indonesia, akan menjadi korban dari pemerintah yang berbeda madzhab dan aqidah tersebut (Al-Māwardi, 2006).

Pertimbangan-pertimbangan di atas kian meyakinkan bahwa cita-cita untuk memaksakan syari’ah secara paripurna tanpa memperhatikan aspek sosial dan budaya akan membawa konsekuensi tersendiri, bukan hanya menyangkut tampilan wajah Indonesia, tetapi juga kondisi masyarakat yang akan diwarnai oleh konflik dan ketegangan dengan elemen bangsa yang lain.

Maka mengkonversi sistem pemerintahan yang ada, yang secara substansial tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka tidak diperbolehkan menurut syara.’ Mengingat besarnya ongkos sosial, politik, ekonomi, dan keamanan yang harus dibayar oleh pemerintah dan masyarakat.

Dalam pandangan Ahlusunnah wal Jama’ah, menghindari mudlarat jauh lebih penting dari pada menerapkan kebaikan. Seperti qaidah fiqhiyah bahwa “Menghindari kerusakan harus diprioritaskan dari pada mengusahakan kemaslahatan.”

Karena itu, menghindari madlarat yang besar lebih harus diutamakan dari pada mendapati sedikit kemaslahatan. Sebaliknya, tidak mendapatkan sedikit kemaslahatan untuk menghindari mudlarat yang lebih besar merupakan sebuah kemaslahatan yang besar. (*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img