MALANG POSCO MEDIA, MALANG- Kota Malang dikategorikan masuk dalam zona merah terkait bencana banjir berdasarkan Indeks Risiko Bencana Provinsi Jatim 2015-2021. Untuk itu penanganan banjir harus diambil tidak hanya jangka pendek tetapi juga panjang yang dilakukan Pemkot Malang.
Kepala UPT PLAD (Pengelolaan Limbah Air Domestik) Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang Perumahan dan Kawasan Permukiman (DPUPRPKP) Kota Malang Arif Darmawan dalam Webinar Adaptasi Perubahan Iklim, Petaka Tata Ruang dan Bahaya Hidrometeorologi di Malang Raya diselenggarakan oleh AJI Malang, Jumat (20/5) lalu, menyampaikan, isu perubahan iklim sangat penting karena sudah menjadi tantangan global tanpa mengenal batas administrasi. Khususnya hal ini harus diperhatikan di Malang Raya utamanya Kota Malang.
“Berdasarkan Indeks Risiko Provinsi Jatim 2015-2021, Kota Malang termasuk kategori merah (tinggi) terkait berbagai bencana, seperti banjir. Karena itu kami mengajak seluruh masyarakat turut berperan dalam penanggulangan bencana,” ujar Arif.
Ia menambahkan, Pemkot Malang memiliki beberapa strategi adaptasi perubahan iklim melalui beberapa program, salah satunya yang dilakukan dalam jangka panjang.
Seperti berupaya memperluas ruang terbuka hijau (RTH), pengembangan urban farming di semua wilayah, perbaikan system drainase hingga rutin memperoleh data dari BMKG sebagai bahan penguatan ketangguhan bencana.
“Kami jadikan masyarakat sebagai subjek dalam penangulangan bencana,” terangnya.
Menambahkan, Koordinator Bidang Observasi dan Informasi BMKG Stasiun Klimatologi Malang, Ahmad Luthfi mengatakan bencana hidrometeorologi merupakan bencana alam yang sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu.
Wilayah Malang Raya, lanjutnya sangat rawan terdampak bencana hidrometeorologi salah satunya akibat hujan ekstrem. Data BMKG Karangploso, pada 15 Maret dan 19 Maret 2022 lalu misalnya, hujan lebat lebih dari 100 milimeter berlangsung selama 2-3 jam saja.
“Meski singkat, tapi berdampak pada sebagian besar wilayah Kota Malang direndam banjir. Semua harus menindaklanjuti sesuai kapasitas masing-masing untuk mengerem dampak perubahan iklim,” ujar Lutfi.
Lila Puspitaningrum dari WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Jatim menyoroti perubahan tata ruang yang terjadi di Malang Raya (Kota Batu, Kota Malang, dan Kabupaten Malang).
Di Kota Malang, katanya tidak ada orientasi pembangunan berkelanjutan, melainkan lebih berorientasi keuntungan jangka pendek. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Malang menyebutkan 60 persen diperuntukkan sosial budaya dan 40 persen untuk ekonomi.
“Tapi fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya, kepentingan ekonomi jauh lebih besar,” ucap Lila. (ica/aim)