Presiden ketiga Amerika Serikat, Thomas Jefferson pernah mengatakan “jika harus memilih, saya lebih pilih tidak mempunyai pemerintahan daripada tidak mempunyai surat kabar.” Dari pernyataan ini jelas bahwa begitu pentinya keberadaan media massa dalam kehidupan bernegara. Tanpa peran media massa, jalannya pemerintahan bisa berbahaya karena bisa tak ada yang mengontrol.
Di tahun politik saat ini, peran media sangat penting guna menciptakan pemilu yang sehat, berintegritas, dan berkualitas. Semua instansi pemerintah, penyelenggara pemilu, penegak hukum, dan pekerja media perlu berkolaborasi dalam menciptakan ekosistem yang memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam politik dan mampu memilih pemimpin yang tepat.
Walaupun sejatinya memilih pemimpin yang tepat bukanlah hal yang mudah. Seperti ungkapan yang pernah di sampaikan oleh Frank Magnis Suseno (2019) bahwa dalam pemilu, kita sesungguhnya tidak memilih yang terbaik, tetapi memastikan yang terburuk tidak terpilih dan berkuasa. Untuk itu dalam pemilu tak boleh salah pilih. Kalau sampai keliru memilih maka penyesalannya bakal lama, hingga lima tahun sesuai periode pemilu.
Antara berbagai unsur yang terlibat dalam pemilu dan media perlu bersinergi pada posisi dan porsinya masing-masing. Keduanya tak bisa ada yang lebih mendominasi atau saling mengintervensi. Di sinilah independensi media menjadi kata kunci yang super penting sebagai sarana kontrol media selain tetap menjalankan fungsinya sebagai pemberi informasi, pendidikan, dan hiburan bagi masyarakat.
Era Politik Permainan Citra
Di era politik citra diri saat ini, kehadiran media memang menjadi sesuatu yang tak bisa dipisahkan. Tak jarang politisi butuh media untuk memoles citra diri mereka demi mendulang simpati dan dukungan masyarakat. Pada situasi seperti ini, media dituntut selektif dan tak hanya memasilitasi laku kegenitan para politisi pesolek. Jangan sampai media terseret arus permainan sejumlah politisi yang hanya suka jualan tampang.
Permainan politik citra diri hanya akan melahirkan realitas palsu karena realitas sesungguhnya telah tersamarkan oleh aneka pesona tipuan. Jean Baudrillard (1994) menyebut politik citra diri akan melahirkan realitas hiper (hyperreality). Munculnya hiper realitas karena telah terjadi perekayasaan atas realitas. Media berpotensi melakukan simulasi dalam penciptaan sebuah realitas baru.
Perilaku politik citra diri akan subur terutama melalui media sosial (medsos). Media yang penetrasinya sangat kuat di masyarakat ini memang menjadi tantangan bagi media massa arus utama (mainstream media). Melalui medsos, siapa saja bisa memroduksi, mengunggah, dan memviralkan informasi (user generated content). Informasi muncul tanpa proses yang ketat seperti produk informasi yang disampaikan oleh media massa.
Melalui beragam platform medsos seperti Facebook, Twitter, Instagram, YouTube, TikTok, dan media pertemanan semacam WhatsApp (WA), konten terkait pemilu diprediksi bakal marak jelang pilpres 2024 mendatang. Tak semua informasi pemilu di medsos teruji kebenarannya. Tak jarang masyarakat justru tertipu dengan informasi abal-abal. Di medsos, yang palsu dan yang asli sering bercampur hingga sulit dipilih dan dipilah untuk ditemukan yang benar.
Efek gaung (echo chamber effect) yang melekat pada medsos tak jarang menjadikan informasi keliru dipercaya sebagai yang benar hanya gara-gara terlanjur viral. Gaung atau gema informasi viral lewat medsos dan WA sering tak terbendung. Sering informasi tak terverifikasi kebenarannya menggelinding bak bola salju yang semakin lama semakin membesar. Situasi inilah yang akhirnya melahirkan kebenaran pasca kebenaran (post truth) yang membingungkan masyarakat.
Informasi pemilu yang keliru dan menyesatkan bisa mungkin terjadi melalui medsos. Beragam informasi salah yang sengaja dimainkan oleh kelompok tertentu sangat mungkin mengganggu terwujudnya pemilu yang berkualitas. Di sinilah media massa arus utama idealnya tampil sebagai penjernih informasi (clearance of information) di tengah banjir informasi (information overload) saat ini.
Bukan Media Partisan
Dalam setiap kontestasi politik seperti pilbup, pilwali, pilgub, dan pilpres, media dihadapkan pada banyak godaan. Kalau tak hati-hati, media tak mungkin akan menjadi partisan dan memihak pada kelompok tertentu. Media yang tak independen hanya akan merusak demokrasi. Bagaimanapun keadaannya, media harus tetap kokoh menjadi penjaga pilar keempat demokrasi.
Saat proses pemilu, peran media massa sangat menentukan dalam penyampaian informasi kepemiluan agar dapat dipahami dan bernilai positif, selain bahwa media massa memiliki tanggung jawab politik untuk turut mencerdaskan masyarakat. Fungsi kontrol sosial masyarakat dapat ditunjukkan melalui kepedulian terhadap iklan atau bentuk kampanye dari para calon di media massa.
Dalam situasi apapun, tak bisa jadi pembenar bagi media massa untuk menggadaikan idealismenya. Situasi politik saat ini bisa menjadikan media berada pada posisi yang tak gampang. Media massa sebagai institusi pers dan sekaligus sebagai entitas bisnis dituntut mampu memainkan kedua kepentingan tersebut secara ideal. Menjalankan fungsi ideal ini tentu tak gampang bagi media.
Masyarakat punya peran untuk ikut memantau praktik media. Masyarakat yang melek media (media literate) bisa memberi sumbangsih bagi terciptanya pemilu yang berkualitas. Pemerintah, politisi, media, dan masyarakat memang harus bisa dikontrol. Kalau semua entitas dalam rantai ini mampu saling mengontrol maka kemungkinan terjadinya praktik menyimpang bisa diminimalisir.
Semua masyarakat tentu tak mau seperti membeli kucing dalam karung. Rekam jejak semua kandidat yang turut berkontestasi pada pilpres mendatang perlu diketahui dengan benar. Media massa punya tangungjawab menjadi sumber rujukan masyarakat dalam menemukan pemimpin masa depan yang terbaik.
Media massa tak boleh jadi tim sukses kandidat tertentu. Media harus menjadi pemantau atas kemungkinan perilaku penyuapan pada pemilik suara (vote buying) dan manipulasi dalam penghitungan suara (vote rigging). Media juga harus berusaha mengurangi sikap apatisme masyarakat pada proses politik. Media punya peran dalam menyejukkan situasi pemilu yang mungkin terlalu panas dan mampu menghangatkan situasi ketika proses kontestasi berjalan tanpa dinamika.
Masyarakat hendaknya pintar membedakan laku media yang partisan dan condong terkooptasi oleh kelompok tertentu dan media yang mampu menjaga independensinya. Pemilu yang berkualitas turut ditentukan oleh peran media dalam menjalankan marwah jurnalismenya. Media sangat berperan dalam mewujudkan pemilu yang berkualitas, luber dan jurdil. (*)