Salah satu yang sering dibicarakan oleh pegiat sosial adalah bahaya brainrot. Budaya yang lahir dari kebiasaan baru. Internet dan gadget merupakan kombinasi sempurna untuk menciptakan pembusukan otak dan degradasi kognitif karena paparan video pendek di media sosial. Permasalahan ini tumbuh layaknya jamur di musim hujan. Menyerang kaum muda hingga orang tua untuk selalu scroll konten di media sosial.
Kaum muda hingga orang tua sering kita temui dalam keadaan menatap layar tanpa henti sembari senyum-senyum. Di banyak tempat; saat menunggu maupun sengaja menyediakan waktunya bermedia sosial ditemani segelas kopi. Studi kasus terbaru mahasiswa di Yogyakarta mengaku pada dosennya tidak bisa konsentrasi terlalu lama karena paparan media sosial. Gejala awal seperti kehilangan motivasi, tidak bisa konsentrasi kurang dari sepuluh menit, dan ditemukan sindrom FOMO pada mahasiswa tersebut.
Dengan kasus yang ada, gejala brainrot ini bisa terdeteksi secara dini, bahkan siapapun berpotensi terkena dampak brainrot ini. Di lingkungan kerja, di masyarakat, hingga rumah kita bisa jadi menjadi lokasi terjadinya brainrot ini.
Suwarno, S.Si. M.Pd. dari Universitas Bina Nusantara mengatakan bahwa seperti pepatah “sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit.” Demikian pula dengan dampak kumulatif scrolling media sosial tanpa henti yang secara perlahan namun pasti dapat mengubah arsitektur kognitif kita. Semakin sering kita scroll konten, maka kita akan semakin dimanjakan dengan konten yang kita sukai.
Indonesia adalah pasar yang sempurna untuk perkembangan media sosial di lingkup dunia internasional lantaran penyebaran gadget juga luar biasa di negara kita. Pasar gadget seolah hadir dengan memanjakan fitur-fitur terbaru untuk para konsumennya.
Data lainnya pada laporan State of Mobile 2024 menyebutkan bahwa Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara dengan peduduk yang menghabiskan waktu terlama dalam menggunakan gadget setiap harinya (Iradat, 2024 pada laporan publikasi Natasya Nurvita dkk.2024)
Waktu yang dulu kita anggap mahal kini menjadi sebuah jembatan baru menuju ketimpangan kerja otak secara signifikan. Semua pasti tak akan mau mengalaminya. Sedangkan jika dikomparasikan waktu rerata yang kita habiskan untuk usap layar media sosial sangat tinggi. Pengguna TikTok di Indonesia menghabiskan waktu 38 jam 26 menit per bulan, YouTube tidak jauh berbeda dengan 31 jam 28 menit. Sementara WhatsApp mencatat 26 jam 13 menit. Instagram 16 jam 10 menit dan Facebook 12 jam 56 menit.
Potensi bahaya dari efek scroll media sosial ini telah kita ketahui bersama. Bahkan peneliti dari Universitas California Dr. Gloria Mark menyebut media sosial memecah perhatian dan mempercepat pergantian tugas (task-switching) yang menurunkan produktivitas dan kemampuan kerja otak untuk jangka panjang.
Kemudian juga menyebabkan kondisi decision fatigue yakni kondisi yang lamban dalam pengambilan keputusan terhadap suatu permasalahan. Mengerikan efek dari brainrot ini jika kita tidak bijak dalam mengambil sikap, salah satunya pengendalian diri dan manajemen waktu yang konsisten. Kita akan terbuai dengan rayuan media sosial yang terus menyerang waktu kita.
Brainrot bukanlah sebuah ancaman baru. Fenomena ini lahir dari hasil budaya kita sendiri. Jika ini dipandang sebuah penyakit, maka obatnya adalah kita sendiri dan menuntut kita bijak dalam bermedia sosial. Sisi lainnya jika ini dipandang berefek negatif untuk masa depan, serangan ini tidak hanya menyerang anak usia sekolah saja, namun golongan dewasa dan orang tua juga akan mengalaminya. Kita mungkin akan berhitung ulang lantaran hal-hal yang berkaitan dengan media sosial ini sulit untuk ditangguhkan secara cepat. Efek paling sulit dicegah dari brainrot adalah scroll tanpa henti media sosial dan menghindari kegiatan yang bersifat produktif. Brainrot sangat peka dengan berbagai usia.
Namun tidak perlu apriori terkait fenomena-fenomena yang diakibatkan lantaran waktu kita habiskan untuk bermedia sosial. Asalkan scroll media sosial bernilai wawasan dan pengetahuan seperti ekspolarasi ide, belajar hal baru, diskusi, dan pekerjaan-pekerjaan yang bernilai positif.
Menumbuhkan stimulasi positif bagi otak seperti ini yang perlu digugah di kalangan kita lantaran daya baca serta literasi kita secara nasional sangat rendah. Salah satunya dimulai dari diri kita masing-masing untuk menguatkan filter dan pondasi dalam menggunakan gadget.
Mari kembali ke rumah masing-masing, menyelami setiap pribadi yang mungkin sedang bergelut dengan efek dari brainrot. Tidak ada kata terlambat jika dibandingkan tidak sama sekali melakukan upaya pembentukan pribadi ke depannya. Permasalahan yang sama pada setiap pribadi terkadang membutuhkan tindakan yang berbeda untuk menanggulanginya.
Brainrot bukan penyakit namun budaya yang lahir dari peradaban baru. Siapapun yang memiliki gadget bisa saja terkena brainrot. Tetapi siapapun orangnya juga bisa memerangi dan memagari diri dengan memiliki kesadaran dan kontrol emosi yang baik dalam hal penggunaan gadget.(*)