MALANG POSCO MEDIA- Suasana berbeda terasa di komplek Pesarean Ki Ageng Gribig, Kota Malang Rabu (19/7) kemarin. Beberapa warga setempat memasak nasi sebanyak 20 kilogram untuk diolah menjadi bubur putih.
Dengan peralatan seadanya, ibu-ibu bersemangat mengolah tiap bahannya. Ada yang menyiapkan lauk, juga ada yang siapkan bumbu. Terdapat pula yang menyiapkan wadah bungkusnya, dan yang paling utama adalah mengaduk dan memasak nasinya. Proses memasaknya pun menggunakan cara tradisional. Yakni menggunakan tungku yang menggunakan bahan kayu bakar. Kegiatan ini merupakan salah satu rangkaian dari tradisi ritual peringatan Tahun Baru Islam di tempat tersebut.
“Sebelumnya saya sudah coba di rumah. Saya masak bisa satu jam saja selesai. Tapi kalau pakai kayu bakar ini lebih lama. Memang pakai kayu bakar supaya lebih enak dan terasa nuansa zaman dulunya,” kata Tunik Agus, salah satu warga yang memasak jenang bubur Suro itu.
Sembari menyelesaikan masakan, beberapa warga lainnya Kirab Takir (wadah dari daun pisang) dari Gang Mirej yang berada dekat lokasi itu ke dalam komplek makam. Setelah kirab, masyarakat berkumpul dan melakukan doa serta diakhiri dengan menikmati bubur yang telah dimasak.
Tradisi ritual seperti ini juga menjadi salah satu kegiatan dan destinasi wisata. Tradisi ini sebenarnya sudah sejak lama. Namun dikemas sebagai kegiatan wisata religi rutin sejak 2020 lalu.
“Kami kemas bahasanya biar lebih mudah diingat, Mbabar Mbubur Suro. Ini kita awali di era tahun 2020 dengan harapan jejak kami sebagai objek wisata religi meskipun pandemi tetap eksis dan berkelanjutan sampai sekarang,” terang Devi Nur Hadianto, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Komplek Makam Ki Ageng Gribig.
Motivasi yang utama diadakannya ritual seperti ini yakni pengunjung atau peziarah bisa makin banyak yang merasakan tradisi seperti yang ada di RW 4 Kelurahan Madyopuro ini. Terlebih, kata Devi, filosofi yang terkandung dalam tradisi seperti ini juga sangat bagus.
“Bagi kami, jenang atau bubur Suro dengan watak putihnya menandakan bahwa ini awal tahun, awal doa. Kita orang Jawa hendaknya selalu berbaik sangka. Mengawalinya itu pakai putih, sae (bagus). Dengan harapan dalam satu tahun ke depan apa yang kita harapkan, apa yang kita nikmatkan kepada Tuhan semua yang baik-baik saja. Termasuk kepada semua yang ada di lingkungan masyarakat,” beber Devi.
Tiap tahunnya, dikatakan Devi jumlah bubur Suro yang dimasak mengalami peningkatan. Dibandingkan tahun lalu yang hanya bisa dibagikan sebanyak 200 takir, tahun ini dengan bahan sebanyak 20 kilogram bisa dibuat untuk bubur Suro sebanyak 300 takir. Ratusan bubur Suro itu dibagikan kepada peziarah, tamu, warga dan semua yang hadir saat Mbabar Mbubur Suro itu.
Menurut Devi, bubur Suro yang dimasak itu juga memiliki beberapa hal yang harus ada dan sebaiknya tidak ditinggalkan. Misalnya seperti daun yang menjadi alas buburnya. Menurut Devi, sejak dari tetuanya juga telah meminta supaya jangan diubah dan harus ada.
“Sebab ada harapan, ada penghidupan, ada doa, ada keinginan yang mungkin bisa terkabul di tahun-tahun yang akan datang. Bubur suro kami memang keluar sifat gurihnya, enak. Harapan kami tetap dirasa sebagai sesuatu yang bermanfaat, enak, bagi pengunjung atau peziarah,” tutupnya. (ian/van)