Upaya menjaga dan melestarikan Topeng Malangan tak ada hentinya. Banyak budayawan dan pegiat seni budaya melakukannya. Salah satunya Muhammad Nasai. Ia tak ingin seni budaya khas Malang itu terlupakan di tengah arus modernisasi.
Topeng Malangan menarik. Punya ragam jenis, karakter dan ciri khas tersendiri. Pernah dikenal luas hingga mancanegara, eksistensi Topeng Malangan ternyata sempat pula meredup.
Bahkan beberapa tahun lalu, kebanyakan masyarakat yang ingin mengenal Topeng Malangan hanya bisa ditemukan di Pakisaji Kabupaten Malang.
Padahal sebenarnya banyak penghasil karya budaya topeng di Malang Raya. Pegiat Budaya, Muhammad Nasai membuktikannya.
Warga Cemorokandang ini telah berkeliling seluruh Malang Raya. Dia sosok di belakang layar yang selama ini menghubungkan grup topeng yang ada di Malang Raya. Dengan saling terhubung, grup topeng yang awalnya meredup, kemudian bisa berubah dan termotivasi. Alhasil kekinian, topeng makin terangkat dan populer kembali.
“Selama ini, di salah satu lokasi misalnya dulu di Jabung, itu hanya berkutat di Jabung. Terus yang di Tumpang hanya berkutat di Tumpang. Akhirnya saya hubungkan, anak-anak muda saya hubungkan dengan yang tua, dan seterusnya. Ini saya jejaringkan,” beber Nasai ditemui Malang Posco Media.
Arek asli Malang ini menemukan kecintaannya terhadap budaya Topeng Malangan ketika merantau ke Jogjakarta. Tepatnya tahun 2015 lalu.
Dia kala itu sebagai fotografer budaya, melihat banyak seni budaya yang kaya di Jogjakarta. Dari situ Nasai teringat bahwa di kampung halamannya juga punya kekayaan budaya. Pun tak kalah dengan di Jogjakarta.
Dia langsung teringat Topeng Malangan. Nasai memutuskan pulang ke Malang. Itu karena ingin dekat orang tua, juga mendalami dan terus informasi tentang kesenian Topeng Malangan.
“Saya akhirnya mencari-cari informasi, ya ke Mas Handoyo (di Pakisaji), termasuk saya banyak mendapat data dari Mas Yudit Perdananto, pegiat budaya. Lalu cari-cari informasi dari satu grup, terus itu kan nanti ada lagi informasi,” ceritanya.
Singkat cerita, Nasai menemukan seluruh pegiat Topeng Malangan se Malang Raya yang disebutnya grup Topeng Malangan. Tiap grup, biasanya ada perajin topeng, penari topeng, pengrawit (karawitan) topeng hingga wiyogo (penabuh gamelan). Namun kondisinya saat ini tiap grup berbeda-beda. Ada yang punya banyak penari tapi kekurangan pengrawit, ada yang punya wiyogo tapi kekurangan pengrawit, begitu sebaliknya.
Ia mencatat ada sebanyak 10 grup Topeng Malangan yang masih aktif dan tersebar di Malang Raya. Yaitu di Desa Jabung, Desa Glagah Dowo, Desa Tumpang, Desa Pakisaji, Desa Lowok, Desa Kranggan, Desa Piji Ombo, Desa Jambuwer, Desa Senggreng, Desa Jatiguwi.
“Plus Desa Kalipare itu masih perlu regenerasi. Pakisaji itu yang lengkap, jadi kalau mau bikin acara yang ‘gebyar’ bisa,” sebutnya.
Tiap kali berkeliling, Nasai biasanya tidak mengenalkan dirinya sebagai pegiat budaya. Justru karena dia sebelumnya bekerja di sebuah media, ia lebih mengenalkan dirinya sebagai jurnalis. Tidak hanya itu, ia juga menulis berita kegiatan masyarakat di desa yang disinggahi. Termasuk menulis tentang kesenian topeng yang ada di situ. Sehingga masyarakat akhirnya merasa terbantu karena desanya dipromosikan secara meluas.
Tapi bukan itu saja misinya. Nasai pun kemudian menghubungkan seperti jejaring dari satu desa ke desa lain. Apabila di satu desa ada kegiatan, ia mengajak warga desa lain yang pernah dikunjunginya. Dari situ silaturahmi antarpecinta kesenian topeng pun makin kuat. Termasuk membantu mendaftarkan beberapa pegiat topeng untuk memiliki Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
“Saya riwa riwi cari informasi. Jadi waktu itu ada dua yaitu Mbah Parjo, sesepuh Desa Jabung dan di Desa Glagah Dowo Tumpang yang berhasil mendaftarkan HAKI. Termasuk KIS dan BPJS. Ya tanpa lelah, senang saja. Karena mereka itulah yang berjasa pada desanya, daerahnya dan bangsanya dalam bidang budaya,” ungkap pria 40 tahun ini.
Perhalanan Nasai tidak mudah. Apalagi, ia tidak mendapatkan keuntungan ekonomi serupiah pun. Malah mengeluarkan uang pribadi.
Namun karena murni kecintaannya terhadap warisan budaya, Nasai berusaha semaksimal mungkin. Tujuannya agar terus mengangkat seni Topeng Malangan.
“Kalau urusan makan, saya kuat mulai pagi sampai malam. Tapi kalau bensin, itu dari Jabung ke Tumpang terus ke Pakisaji itu bisa Rp 50 ribu sehari. Kadang pusing juga, tapi namanya cinta ya bagaimana lagi. Saya ikhlas membantu, tidak mencari untung. Buntung yang iya,” beber alumnus SMKN 4 Malang ini.
Selain faktor biaya, diungkapkan Nasai juga ada hal lain yang cukup berat. Bahkan hal itu menyebabkan ia sempat vakum dan berhenti berkeliling mengangkat seni Topeng Malangan ini.
Ia menceritakan suatu ketika di salah satu desa yang cukup lama ia curahkan, ternyata dikunjungi oleh seorang oknum yang menyebut sebagai pegiat budaya. Hasil karya topeng di desa itu ternyata diambil dan tidak diketahui nasibnya. Ia pun mengaku sangat sedih dan kecewa karena harapannya melihat desa tersebut untuk berkembang menjadi kandas.
“Dari situ saya sempat satu tahun tidak kemana-mana. Saya shock waktu itu. Sampai Mbah Yongki (pegiat budaya) minta saya untuk aktif lagi,” lanjutnya.
Terlepas dari itu, setelah suka duka berkeliling mendalami kesenian Topeng Malangan, Nasai masih punya misi yang ingin ia lakukan. Terlebih setelah kini antargrup Topeng Malangan sudah mulai terjejaring. Ia berkeinginan mengadakan sebuah pagelaran yang diikuti oleh seluruh pegiat Topeng Malangan se Malang Raya.
Lalu dihadirkan juga pemerintah supaya jejaring ini makin kuat dan para pegiat bisa mendapatkan apresiasi. Ia berharap Topeng Malangan bisa terus lestari dan terus dikenal secara meluas hingga mancanegara.
“Selama ini orang kenalnya di Pakisaji, padahal di Malang ini banyak. Paling tidak harus diregenerasikan dan diwariskan,” tutur orangtua dari empat bersaudara ini. (ian/van)