Oleh: Farizky Hisyam
Alumni Program Studi Fisik
Universitas Brawijaya
Topik gempa megathrust bukanlah hal yang baru. Isu gempa dahsyat ini timbul, menciptakan riak, lalu tenggelam seiring datangnya isu lain. Sebagai pengingat, isu megathrust pernah mencuat pada April 2018. Kala itu Widjo Kongko, pakar tsunami BPPT (sekarang BRIN), memaparkan pemodelan gelombang tsunami setinggi 57 meter di Selat Sunda akibat gempa megathrust.
Enam tahun berselang, tepatnya Agustus 2024, gempa bermagnitudo 7,1 Mw mengguncang Prefektur Miyazaki, Jepang. Badan Meteorologi Jepang (JMA) memperingatkan aktifnya zona megathrust Nankai. Lantas, kepala BMKG memberi himbauan kepada masyarakat agar mewaspadai gempa megathrust pada segmen Mentawai dan Selat Sunda yang “tinggal menunggu waktu.”
Kedua kasus ini sama-sama menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Bahkan, pada tahun 2018 pihak kepolisian memanggil Widjo Kongko karena dinilai membuat kegaduhan di masyarakat. Hal ini menunjukkan, kita belum sepenuhnya memahami gempa megathrust.
Gempa Megathrust
Indonesia merupakan negara dengan tingkat kegempaan paling tinggi di dunia. Indonesia dilintasi busur Sunda-Banda. Busur aktif gempa ini membentang mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku. Selain itu, di penjuru timur laut terdapat sabuk Pasifik yang melintasi Papua, Maluku Utara, dan Sulawesi Utara.
Apabila kita analogikan Bumi dengan telur ayam, kita menghuni cangkang telur yang sifatnya tipis, kaku, dan mudah patah. Lapisan ini dikenal sebagai litosfer. Di bawah cangkang terdapat lapisan panas yang tidak kaku, dikenal astenosfer. Akibatnya, terjadi perpindahan panas yang menyebabkan cangkang pecah dan “menari-nari.” Setiap pecahan cangkang dikenal sebagai lempeng. Gerakannya ada yang menjauh dan mendekat. Gerak lempeng ini disebut tektonik lempeng.
Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik dunia, yaitu Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik. Pertemuan lempeng Eurasia dan Indo-Australia dijumpai mulai dari lepas pantai barat Sumatera, selatan Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara. Ketika dua lempeng saling bertemu, terbentuk patahan besar yang dikenal sebagai patahan atau sesar “megathrust.” Istilah megathrust berasal dari kata “mega” yang berarti “besar” dan “thrust” yang berarti “sungkup.”
Sekitar 200 kilometer dari pesisir selatan Jawa ke arah lepas pantai, lempeng Indo-Australia yang lebih berat menyusup di bawah lempeng Eurasia dengan laju 7 cm/ tahun. Lempeng ini menunjam ke dalam lapisan astenosfer. Dengan permukaan yang kasar, lempeng Indo-Australia yang menyusup tidak segera bergerak, tetapi terkunci. Saat itulah energi terakumulasi. Apabila lempeng tidak mampu menahan tekanan yang berlanjut, lempeng akan patah sehingga terjadi gempa megathrust.
Gempa megathrust ditandai dengan lokasinya di dekat palung laut, magnitudonya relatif besar, dan kedalamannya relatif dangkal. Gempa megathrust yang terkenal di antaranya gempa Valdivia, Chile 1960 (9,6 Mw); gempa Alaska, Amerika Serikat 1964 (9,2 Mw); dan gempa Tohoku, Jepang 2011 (9,1 Mw). Di Indonesia terdapat gempa Aceh 2004 (9,1 Mw); gempa Nias 2005 (8,6 Mw); gempa Bengkulu 2007 (8,5 Mw); dan gempa Biak 1996 (8,2 Mw).
Semakin panjang patahan, semakin besar magnitudo gempa yang dihasilkan. Sebagai contoh, gempa yang memicu gelombang tsunami di Aceh (2004) terjadi akibat pergerakan segmen sesar sepanjang 1.200 kilometer.
Apabila dalam waktu puluhan atau bahkan ratusan tahun suatu sesar aktif belum bergerak, peluang terjadinya gempa di masa mendatang semakin besar. Zona aktif yang tercatat tidak terjadi gempa dalam jangka waktu panjang dikenal sebagai celah seismik (seismic gap).
Sebagai contoh, segmen Mentawai dan Selat Sunda terakhir kali melepaskan energi dalam gempa besar masing-masing tahun 1797 dan 1757. Dengan kata lain, potensi terjadinya gempa besar di dua zona tersebut lebih besar dibandingkan dengan zona sekitarnya.
Potensi Gempa Megathrust Jawa Timur
Bagaimana potensi gempa megathrust di Jawa Timur? Dalam catatan sejarah, pernah dua kali terjadi gempa yang menimbulkan tsunami di pesisir selatan Jawa Timur, yaitu gempa 11 September 1921 (7,5 Mw) dan gempa 3 Juni 1994 (7,8 Mw). Umumnya, gempa-gempa di selatan Jawa Timur memiliki magnitudo moderat (5-6 Mw). Sebab, lempeng Indo-Australia yang menunjam di bawah Jawa Timur berusia tua dan mudah patah.
Namun, pemodelan Pusat Studi Gempa Bumi Nasional 2017 menunjukkan apabila segmen megathrust di selatan Jawa Timur bergerak serempak, akan memicu gempa bermagnitudo hingga 8,7 Mw. Sayangnya, catatan historis gempa bumi di Indonesia tidak selengkap Jepang yang mampu dilacak hingga 1.300 tahun silam. Akan tetapi, studi endapan tsunami di pesisir selatan Jawa menunjukkan bahwa gempa megathrust dan tsunami terjadi setidaknya setiap 500 tahun sekali.
Mitigasi Bencana Gempa Megathrust
Kita tidak perlu panik dengan isu gempa megathrust. Hingga saat ini belum ada teknologi yang mampu memprediksi gempa. Instrumentasi gempa modern baru berkembang pada awal abad ke-20. Sementara itu, teori tektonik lempeng baru berkembang pada dekade 1960. Istilah “potensi” merujuk pada peluang terjadinya gempa, bukan kepastian gempa akan terjadi dalam waktu dekat.
Jangan sampai kita terlalu fokus dengan gempa megathrust sehingga mengabaikan sumber gempa lain. Peristiwa gempa Bandung dan Garut 2024 membuktikan bahwa gempa merusak juga bersumber dari sesar di darat. Di Jawa Timur tersebar sesar darat yang perlu dicermati, di antaranya Sesar Pasuruan, Sesar Probolinggo, Sesar Wonorejo, Sesar Waru, Sesar Surabaya, dan Sesar Blumbang.
Hal yang dapat kita lakukan adalah memitigasi bencana gempa. Belajar dari Jepang, Taiwan, Amerika Serikat, dan Selandia Baru, mereka berhasil meminimalkan korban karena menerapkan mitigasi bencana gempa dengan disiplin.
Mitigasi dapat dilakukan dengan memperkuat infrastruktur melalui bangunan tahan gempa hingga sosialisasi secara masif kepada masyarakat dalam mengantisipasi bencana gempa. Sebab, gempa bukanlah faktor utama penyebab jatuhnya korban, melainkan kerusakan infrastruktur.(*)