Pada zaman keemasan Islam, ada sahabat yang memaknai takwa dengan cara dialog yang indah penuh dengan ilmu, antara sahabat Umar bin Khattab ra dan sahabat Ubay bin Ka’ab. Sahabat Umar yang meriwayatkan atsar ini bertanya kepada Ubay, Wahai Ubay, apa makna takwa? Ubay yang ditanya justru balik bertanya, Wahai Umar, pernahkah engkau berjalan melewati jalan yang terjal dan berduri? Umar menjawab, tentu saja pernah.
Apa yang engkau lakukan saat itu, wahai Umar? lanjut Ubay bertanya. Tentu saja aku akan berjalan hati-hati, jawab Umar. Ubay lantas berkata, Itulah hakikat takwa. Ini merupakan percakapan dua orang yang hati-hati di jalan Allah. Bukan hanya bagi Umar dan Ubay, melainkan juga bagi seseorang yang mengaku bertakwa. Menjadi orang bertakwa hakikatnya menjadi orang yang amat berhati-hati. Ia tidak ingin terpelosok dan kakinya menginjak duri-duri larangan Allah swt.
Dari berbagai perbuatan tercela yang paling sering dilakukan oleh umat manusia dalam kehidupan sehari-hari adalah menceritakan tentang orang lain, terutama keburukannya, atau dalam istilah Islam dikenal dengan ghibah atau menggunjing, bahkan menuduh seseorang dengan sesuatu yang tidak ada padanya yang disebut buhtan. Buhtan lebih besar dosanya dari pada ghibah karena buhtan mengandung unsur kebohongan.
Ghibah adalah membicarakan saudara sesama muslim yang masih hidup atau sudah meninggal, kecil maupun dewasa, mengenai keburukan yang ada padanya, yang tidak ia sukai seandainya ia mendengarnya. Baik keburukan yang dibicarakan itu terkait dengan fisik, nasab, pakaian, rumah atau perilakunya. Kalimat-kalimat yang diketahui bahwa orang yang dibicarakan tidak suka akan hal itu seandainya ia mendengarnya. Tentu saja tak perlu lagi dijelaskan bagaimana bahaya ghibah itu terhadap kemanusiaan. Yang jelas, ghibah dan memfitnah adalah salah satu sumber kejahatan terbesar di dunia ini.
Dialog Allah vs Malaikat
Seharusnya sebagai seorang muslim yang dilakukan adalah menutupi aib saudaranya agar ia terjaga kehormatannya. Suatu ketika, Allah bertanya kepada Jibril as, Ya Jibril, seandainya aku menciptakanmu sebagai manusia, bagaimana cara engkau mengabdi kepada-Ku? Tuhanku, Engkau mengetahui segalanya, Engkau pun mengetahui bagaimana cara hamba mengabdi kepada-Mu. Allah berfirman, “Benar ya Jibril, Aku mengetahui, tetapi tidak hamba-hamba-Ku. Katakanlah sehingga hamba-hamba-Ku mendengarkannya dan bisa belajar darinya. Lalu Jibril pun berkata, Tuhanku, jika hamba adalah seorang manusia, hamba akan mengabdi dengan tiga cara. Pertama, hamba akan memberi minum mereka yang kehausan. Kedua, hamba akan menutupi aib orang lain dan tidak membicarakannya. Ketiga, hamba akan menolong mereka yang miskin.
Janganlah mengumbar dosa-dosa orang lain agar dosa-dosamu juga disembunyikan. Maafkanlah orang lain sehingga kau juga dimaafkan. Jangan melempari wajah orang lain dengan kesalahan mereka agar hal yang sama tidak terjadi kepadamu. Mungkin engkau mengetahui satu aib orang lain, tapi Allah mengetahui seribu dosamu. Bagaimana jika Allah buka aib-aibmu? Siapa yang sanggup menutupi aibmu jika Allah sendiri yang membukanya?
Menutup Aib Orang
Apakah ghibah termasuk dosa besar atau dosa kecil? Hukumnya dirinci sebagai berikut. Jika ghibah dilakukan terhadap orang yang shaleh dan bertakwa, maka tergolong dosa besar. Sedangkan ghibah terhadap selain orang yang bertakwa, maka tidak dikatakan secara mutlak sebagai dosa besar. Akan tetapi jika seorang Muslim yang fasiq digunjing keburukannya hingga batas yang berlebihan, maka hal itu termasuk dosa besar. Seperti berlebihan dalam menyebutkan keburukan-keburukannya hanya untuk kesenangan mengobrol saja. Itu merupakan salah satu penyakit lisan yang sangat berbahaya, karena ujungnya bisa menimbulkan fitnah dan maksiat. Pekerjaan menggunjing dapat dijumpai di manapun, seperti di sekolah, masjid, pasar, warung, halaman rumah, dapur, ruang makan, ruang tamu, tempat kerja dan di majlis ilmu sekalipun.
Lebih parahnya lagi, perbuatan tersebut dianggap sudah biasa dan menjadi makanan sehari-hari, pagi, siang sore dan malam. Berkaitan dengan hal tersebut, Allah swt telah berfirman di dalam QS. 49:12 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan dan aib orang lain dan janganlah kamu menggunjing (ghibah) sebagian yang lain. Apakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka sudah tentu kamu jijik kepadanya. Oleh karena itu, jauhilah larangan-larangan tersebut dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha penerima tobat lagi Maha Penyayang”.
Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir yang bersumber dari Ibnu Juraij bahwa ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa salah seorang sahabat Rasulullah saw yang bernama Salman al-Farisi yang bila selesai makan, suka terus tidur dan mendengkur. Pada waktu itu ada orang yang menggunjing perbuatannya. Maka turunlah QS. 49: 12 yang melarang seseorang mengumpat dan menceritakan aib orang lain.
Senada dengan firman Allah swt di atas, Rasulullah saw juga melarang umat muslim mengumbar aib orang lain. Sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang artinya “Jauhilah oleh kalian prasangka, sebab prasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, jangan pula saling menebar kebencian dan jadilah kalian orang-orang yang bersaudara (HR al-Bukhari).
Umat manusia tidak akan terlepas dari salah dan dosa, oleh karena itu, manusia tidak akan memiliki kesempurnaan yang hakiki, karena dalam hidupnya di masyarakat pasti ada gesekan sosial dengan yang lainnya, kadang disengaja atau tidak, kadang disukai atau dibenci. Berkaitan dengan aib saudaranya, Rasulullah bersabda, agar seseorang untuk sebisa mungkin menutupi aib saudaranya, yang artinya “Barang siapa menutupi aib seorang, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat” (HR Muslim).
Menutup aib orang lain selain memiliki keutamaan, Allah swt akan menutup aibnya di dunia dan akhirat, tetapi juga memiliki keutamaan seperti menghidupkan bayi yang dikubur hidup-hidup. Hal ini sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Nabi saw yang diriwayatkan Abu Daud, yang artinya “Siapa melihat aurat (aib orang lain) lalu menutupinya, maka seakan-akan ia menghidupkan bayi yang dikubur hidup-hidup” (HR Abu Daud). (*)