spot_img
Wednesday, July 2, 2025
spot_img

Memaknai Evaluasi Pembelajaran

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Dalam sebuah pidatonya pada tahun 1990 di Madison Park High School, Roxbury, Nelson Mandela mengatakan “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Sebuah ungkapan yang mampu menjadi tagline atau pemantik pentingnya membangun pendidikan yang benar-benar sesuai dengan zaman.  

          Kita tentu sering mengenal istilah Artificial Intelligent, virtual class, Internet of things dan sebagainya sebagai buah dari perkembangan industry di era ini. Memasuki dunia yang serba “metrik”, dunia pendidikan memiliki tantangan yang sangat besar.

          Tatanan dunia pen­didikan global sekarang ini mengha­dapi apa yang disebut jurang teknologi dan informasi antara digital im­migrants (guru lama pembelajar teknologi) dan dig­ital natives (siswa penikmat dan peng­guna teknologi). Salah satu dampak dari invansi tersebut dapat menggerus nilai-nilai karakter kemanusiaan yang dipertahankan selama ini.

          Ada satu hal yang ingin penulis sampaikan terkait pendidikan pada zaman ini adalah bagaimana kita memaknai evaluasi pembelajaran atau yang biasa kita katakan penilaian dari suatu proses pembelajaran. Sudah menjadi suatu yang normal ketika pendidik melakukan penilaian sebagai suatu evaluasi dengan melakukan pengukuran yang menghasilkan data kuantitatif (angka) guna mengetahui tingkat kompetensi dan pencapaian peserta didik. 

          Pengukuran ini sering dilakukan melalui tes atau instrumen yang mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap siswa. Memang evaluasi sangat dibutuhkan dalam suatu proses pembalajaran. Akan tetapi terkadang pendidik berhenti pada hasil evaluasi berupa nilai numerik yang diperoleh peserta didik.

          Kita lupa apakah alat evaluasi yang telah kita laksanakan memang benar-benar mampu mencerminkan gembaran kemampuan peserta didik. Sudahkah kita melakukan analisis butir soal terhadap alat evaluasi yang telah dilaksanakan. Jangan-jangan selama ini kita hanya melaksanakan rutinitas untuk mengukur kemampuan peserta didik tanpa melakukan tindak lanjut terhadap hasil evaluasi kita. Sehingga ruh pembelajaran cukup berhenti pada nilai raport saja.

          Di sini diperlukan akuntabilitas alat evaluasi yang digunakan. Itu terkait bagaimana kita layaknya melakukan evaluasi pembelajaran sehingga peserta didik mengetahui apa yang harus dilakukan setelah menerima hasil dari evaluasi yang kita laksanakan.

          Dalam pembelajaran, ada hal yang juga tidak kalah penting dari pencapaian nilai atau penguasaan kompetensi adalah bagaimana menumbuhkan rasa ingin tahu, serta proses memunculkan pemikiran dan ide dari peserta didik senantiasa diasah. Terkadang pendidik melupakan aspek dalam pembalajaran bagaimana merangsang peserta didik untuk pandai bertanya bukan sekadar pandai menjawab pertanyaan.

          Harus diakui salah satu kelemahan peserta didik kita adalah keengganan atau mungkin lebih parah tidak tahu harus bertanya apa ketika pembelajaran berlangsung. Ini menjadi preseden buruk jika terus dilanjutkan. Sebagai pendidik kita seharusnya resah jika dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan, peserta didik kita kesulitan memunculkan pertanyaan.

          Bisa jadi kita sebagai pendidik secara tidak sadar belum memberi ruang kepada peserta didik untuk benar-benar mengeksplorasi gagasan atau belum mampu menggugah rasa ingin tahu sehingga peserta didik cenderung pasif dan bingung untuk bertanya apa.

          Kita tentu menginginkan peserta didik mampu memunculkan kreativitas yang dibarengi dengan daya kritisnya. Di sini menjadi pekerjaan bersama bagaimana memunculkan ekosistem pembelajaran yang mampu memunculkan daya eksplorasi peserta didik.

          Hal ini menjadi suatu yang penting mengingat eksplorasi terkadang lebih penting dari pada konklusi. Konklusi senantiasa mengalami perubahan seiring perubahan zaman, akan tetapi kemampuan untuk mengeksplorasi tidak akan lekang oleh zaman.

          Ini bertolak belakang dengan salah satu paradigma dalam dunia pendidikan kita yang melihat pencapaian hasil belajar fokus pada angka di raport atau lembar ujian atau “paradigma ujian.” Bahkan mayoritas orang tua lebih sering menanyai anak-anaknya dengan “berapa nilai matematikamu” dari pada menanyakan “kamu dapat apa sih dari kelas matematika hari ini.”

          Nilai yang berupa angka memang perlu, akan tetapi kita juga peru tahu perubahan apa yang telah dicapai anak kita pada pembelajaran. Hal ini cenderung selain berfokus pada nilai juga berhenti pada materi pelajaran yang dipalajari, tapi kita lupa kemampuan anak kita untuk bercerita secara sistematis, mengungkapkan apa yang dialaminya dan berbagai pengalaman psikologis lainnya.

          Kita harus mulai mengubah bahwa belajar di sekolah tidak sekadar materi apa yang kita pelajari. Bukan lagi pelajaran apa yang diterima di sekolah, tapi bagaimana melakukan pembiasaan agar peserta didik mampu berpikir secara sistematis, dalam urutan logika. Yang tidak kalah pentingnya bukan sekadar mampu menyelesaikan soal, akan tetapi bagaimana kemampuan untuk melakukan analisa mampu dibentuk dengan baik, berlatih untuk gagal kemudian memperbaiki serta bagaimana daya kritis peserta didik bisa diasah.

          Sehingga kita bisa menghindari stigma keberhasilan pendidikan tampak pada nilai akademik atau angka yang diperoleh ketika ujian.Kita tentu sepakat bahwa seorang juara tidak hanya muncul dari keberhasilan memenangkan suatu pertarungan, akan tetapi dari ketaletanan, kegigihan untuk terus berusaha meski dalam kondisi yang hampir mustahil untuk menang. Peserta didik berkembang dari rasa ingin tahu, bukan dari jawaban atau konklusi yang diseragamkan atau dibakukan.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img