spot_img
Tuesday, April 29, 2025
spot_img

Memaknai Filosofi Haji dalam Manasik Kehidupan

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Ibadah haji secara filosofis merupakan gambaran perjalanan kehidupan manusia. Praktik-praktik ritual di dalamnya sarat dengan makna-makna simbolik yang penting dijadikan renungan. Pelaksanaan ibadah haji tidak cukup hanya sekadar memenuhi syarat dan rukunnya tanpa menyelami arti terdalam di balik setiap rangkaian ritualnya.

Syarat dan rukun dalam ibadah haji tidak semata-mata menjaga koneksi secara vertikal dengan Allah, justru yang tak kalah penting adalah menangkap makna filosofis haji sebagai pelajaran untuk membangun kesejatian diri dalam mengarungi manasik kehidupan. Maka, menemukan hikmah dalam ibadah haji menjadi suatu keniscayaan bagi setiap muslim umumnya dan para jamaah haji khususnya.

-Advertisement- HUT

Ibadah haji merupakan salah satu bentuk ibadah dalam Islam yang mengingatkan manusia tentang perjalanan hidup menuju kematian dan kembali kepada Allah. Karena itu, bekal terbaik dalam ibadah haji sejak sebelum berangkat, selama dalam manasik, dan perjalanan pulang, bahkan keseluruhan hidup manusia adalah niat pasrah sebagai bentuk penghambaan kepada-Nya.

Semua ibadah dalam Islam, termasuk ibadah haji wajib diawali dengan niat meraih ridha Allah. Bukan demi melambungkan status sosial, terlebih hanya untuk mendapat gelar ‘Pak Haji’ atau ‘Bu Hajah.’ Jamaah haji harus patuh tunduk dengan menanggalkan segala pakaian kehormatan duniawi dan diganti dengan kain ihram, yakni dua helai kain berwarna putih tanpa jahitan.

Saat di Tanah Suci, para jamaah haji berbusana ihram yang serba putih bersih. Barangkali kita bertanya, kenapa harus kain berwarna putih? Putih adalah tanda kesucian. Tentu saja, bukan hanya putih pakaiannya, melainkan juga putih hati dan jiwanya, seputih kain ihram.

Manusia dari segala pelosok dunia, dengan segala macam warna kulit, aneka ras, bangsa, adat istiadat, dan ideologi politik yang berbeda saling bertemu. Ihram mengajarkan kepada manusia agar tidak merasa lebih unggul dari sisi kedudukan, pangkat, derajat sosial, dan keturunan. Pakaian ihram menunjukkan kesederhanaan dan keluar dari gemerlap dunia.

Melepas pakaian sehari-hari dan menggantinya dengan dua helai kain ihram mengandaikan kondisi seseorang yang meninggal dunia. Dia harus melepaskan semua atribut keduniawian dan berganti dengan kain kafan. Kenyataannya, pakaian dunia itulah yang kerap membuat manusia lupa diri, sehingga bersikap sombong dan angkuh di hadapan sesama.

Pakaian dunia selama ini telah membentuk pola, preferensi, status, dan perbedaan-perbedaan tertentu. Mengutip Ali Shariati (1983), pakaian menciptakan “batas palsu” yang menyebabkan “perpecahan” di antara umat manusia. Selanjutnya, dari perpecahan itu timbul konsep “aku”, bukan “kami atau kita.”

Jika sudah timbul konsep “aku”, maka akan terjadi diskriminasi, egoisme, dan individualistik. Sementara konsep “kami atau kita” menunjukkan kebersamaan, keterbukaan, dan kepedulian terhadap sesama.

Saat memasuki miqat, setiap jamaah haji mengenakan pakaian ihram yang sama, sehingga tidak terlihat perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Inilah gambaran bahwa manusia ketika menghadap Allah hanya kain kafan yang melekat pada jasadnya.

Sedangkan harta benda dan tahta tidak ada yang dibawa. Mereka akan bertemu pada waktu yang sama di tempat yang sama, dan Allah adalah tujuan akhir kehidupan.

Miqat merupakan titik awal dari sebuah perubahan dan revolusi besar. Karena itu, sebelum memasuki miqat, jamaah haji harus menyatakan niat  meninggalkan kampung halaman, keluarga, dan pekerjaan untuk menuju rumah Allah (Baitullah) sebagai babak kehidupan baru demi meninggalkan “keakuan” untuk berserah diri kepada Allah, meninggalkan penghambaan untuk memperoleh kemerdekaan, meninggalkan diskriminasi rasial untuk mencapai kesetaraan, serta meninggalkan kenikmatan sesaat untuk meraih kebahagiaan yang abadi.

Setelah berniat dan memakai kain ihram, para jamaah haji menuju Masjid al-Haram untuk melakukan thawaf. Thawaf merupakan rukun haji memutari Kakbah sebanyak tujuh kali putaran. Menurut sebuah riwayat, ketika nabi Adam diusir dari surga ke bumi, hal yang paling disedihkan adalah tidak bisa lagi mengikuti ibadah bersama malaikat mengelilingi Arasy (singgasana Allah). Kemudian nabi Adam dihibur dengan dibangunkan Kakbah sebagai miniatur Arasy.

Kedudukan thawaf dalam ritual haji sangatlah tinggi sebab mengandung makna filosofis tersendiri. Bahkan, kedudukan thawaf disamakan dengan shalat. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW,“Thawaf mengelilingi Baitullah itu sama seperti shalat, hanya saja, Allah memperbolehkan berbicara di dalam thawaf.” [HR. An-Nasa’i]

Berputar mengelilingi Kakbah menjadi simbol mengikatkan diri hanya ke satu titik, yakni keridhaan Allah. Ini merupakan gerakan membebaskan diri dari berbagai ikatan perbudakan selain Allah. Tujuh kali putaran memiliki arti maknawi sebagai jumlah hari yang dijalani oleh umat manusia dalam sepekan senyatanya berpusat pada poros ketauhidan.

Manusia tidak boleh terlepas dari ikatan tauhid: ikatan tempat berangkat, dan ikatan tempat kembali yang sama, yang lurus dan tidak ada dualisme antara tempat berangkat dan kembali. Karenanya, seluruh aspek kehidupan manusia tidak boleh terputus ikatannya dengan aturan Allah. Jika ikatan manusia dengan Allah terputus, maka terlepaslah dari pengawasanNya, yang berarti ia jauh pula dari lindunganNya.

Setelah melaksanakan thawaf, jamaah haji melanjutkan sa’i, yaitu berjalan dan berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Al-Qur’an menyebutkan, Shafa dan Marwah merupakan sebagian syiar (agama) Allah (QS. Al-Baqarah:158). Secara harfiah, Shafa artinya suci, sedangkan Marwah bermakna kemuliaan. Ini mengisyaratkan bahwa kesucian akan melahirkan sesuatu yang mulia. Dengan kata lain, kemulian hanya bisa ditempuh dengan niat yang suci.

Dalam tinjauan historis, sa’i merujuk kepada perjuangan Siti Hajar bersama putranya, Ismail yang masih dalam gendongan, untuk mencari sumber air di lembah yang tandus. Berbekal keyakinan yang kuat disertai ketulusan hati, Hajar yang berlari dari bukit Shafa menuju Marwah, dan dari Marwah ke Shafa dalam upaya mencari air, akhirnya ia menemukan sumber air yang kini dikenal dengan “air zamzam.” Kisah inspiratif dari seorang Hajar, memberikan gambaran bahwa segala keinginan akan terwujud jika dilandasi niat yang ikhlas dan kerja keras.

Di Arafah, jamaah haji kemudian berkumpul dengan semangat persatuan. Mereka datang dari penjuru negeri yang beraneka ragam perbedaan. Namun, perbedaan tersebut diikat dengan tali persatuan dan persaudaraan.

Di sini tidak ada si kaya, si miskin, pejabat, rakyat, yang kuat, yang lemah, yang tua, atau yang muda. Mereka berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Arafah yang berarti “pengenalan”, menjadi puncak perjalanan manusia menemukan jati dirinya sekaligus mengenal eksistensi Tuhan. Seorang Sufi mengatakan, “Siapa yang telah mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.”

Siapa pun yang berhaji hendaknya memahami dan mampu mengambil makna filosofis dari setiap proses ritual haji agar dapat memetik pelajaran untuk diterapkan dalam ‘manasik’ kehidupan baik secara invidual maupun sosial. Semua-mua hikmah ibadah haji yang dilakukan di tanah suci kiranya dapat mewarnai pola hidup bermasyarakat di tanah air tanpa mempersoalkan perbedaan asal usul, warna kulit, budaya maupun mazhab keberagamaan. (*/mpm)

-Advertisement-.

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img