spot_img
Wednesday, April 16, 2025
spot_img

Memaknai Kemenangan dan “Satiety Index” Pasca-Lebaran

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Banyak orang merasa mengerti ungkapan minal ‘aidin wal faizin“, bahkan seolah sudah menjadi ungkapan wajib dalam tradisi berlebaran yang khas di Indonesia. Namun, sejatinya hanya segelintir yang benar-benar memahami makna serta manifestasi yang sesungguhnya dari frasa tersebut.

          Secara etimologis, frasa itu merujuk pada individu yang kembali kepada fitrah dan memperoleh kemenangan, baik secara spiritual maupun moral, usai menjalani puasa Ramadan. Dalam konteks Idul Fitri, secara kultural-religius, hal ini dimaknai sebagai doa dan harapan.

-Advertisement- HUT

          Betulkah kita telah kembali ke fitrah dan sudahkah kita benar-benar meraih kemenangan?. Mari kita sejenak melakukan refleksi.

Fitrah Manusia dan Makanan

          Setidaknya terdapat lima fitrah utama manusia terkait makanan dan pola makan. Kelimanya bisa dimaknai sebagai “naluri alami” atau kecenderungan dasar atau kodrat asli manusia dalam hal konsumsi makanan. Pertama, makan sebagai kebutuhan dasar, bukan pelampiasan atau memburu kenikmatan.

          Secara alamiah, tujuan utama manusia makan adalah untuk sekadar bertahan hidup, mendapatkan asupan energi, serta menjaga kesehatan. Tetapi kehidupan modern telah mengubahnya, dan membuat ritual makan menjadi semacam bentuk pelarian emosi, hiburan, atau bahkan status sosial.

          Kedua, manusia berkecenderungan memilih makanan yang masih alami. Manusia pada dasarnya menyukai makanan yang segar, alami, tidak berlebihan dalam rasa seperti terlalu manis, asin, dan gurih. Hari ini kesadaran tersebut sudah bergeser kepada kebiasaan baru mengonsumsi makanan ultra-proses (UPF) yang tinggi gula, garam dan lemak. Dibuat sangat lezat dan addictive, sehingga terbentuk kesadaran palsu (false consciousness) melalui iklan yang menyesatkan, seakan UPF bergizi dan kita butuhkan, padahal yang terjadi sebaliknya.

          Ketiga, pola makan teratur dan mindful. Dalam kondisi alami, manusia makan saat lapar dan berhenti saat kenyang. Fitrah ini bisa rusak oleh kebiasaan makan emosional serta kesadaran palsu.Selanjutnya, fitrah keempat adalah rasa syukur dan kesadaran spiritual. Dalam banyak tradisi, makan adalah momen penuh kesadaran dan rasa syukur, seperti berdoa sebelum makan, tidak menyisakan atau memubazirkan makanan, serta berbagi makanan.

          Fitrah kelima, yakni menggunakan siklus lapar dan kenyang sebagai “kompas biologis.” Tubuh manusia memiliki sistem homeostasis yang amat canggih untuk memberi sinyal lapar oleh hormon ghrelin dan kenyang oleh hormon leptin. Keterampilan mendengarkan sinyal ini adalah bagian dari wujud kembali ke fitrah pola makan yang sehat.

Satiety Index

          Pasca lebaran, kita perlu mengembalikan daftar makanan yang mampu memberikan rasa kenyang lebih lama (satiety index). Hal ini penting untuk menghindari keinginan makan yang terus-menerus (craving), yang umumnya disebabkan utamanya oleh makanan yang tinggi gula, selain garam dan lemak.

          Sebuah riset fundamental dilakukan oleh Susanna Holt et al. (1995), terbit di European Journal of Clinical Nutrition bertajuk “A satiety index of common foods.” Dalam penelitian itu, sejumlah kategori makanan dibandingkan dengan roti putih, sebagai referensi dengan nilai 100.

          Penelitian ini menjelaskan, makanan seperti kentang (rebus, bukan goreng), memberikan rasa kenyang hingga tiga kali lipat ketimbang roti putih dalam porsi yang sama. Selain itu, ikan, oatmeal, dan buah apel, juga memberikan rasa kenyang antara 1,5 hingga dua kali lipat.

          Singkatnya, sarapan dengan oat, lanjut makan siang kentang dan ikan, serta camilan buah, maka rasa lapar relatif lebih terkendali. Lebih lanjut, makanan tinggi protein dan serat relatif mempunyai indeks kenyang lebih tinggi daripada makanan tinggi karbohidrat dan lemak.

Memaknai Hari Kemenangan

          Selama berlebaran, umumnya tersedia menu makanan lengkap dan melimpah. Mulai dari opor ayam, ketupat, lontong, rendang atau semur daging, sambal goreng kentang ati ampela, serta telur pindang atau telur balado. Belum lagi kudapan semacam nastar dan kastengel, dua kue kering legendaris khas Lebaran. Rasanya sulit untuk tidak menyantap atau mengudap semuanya.

          Tetapi harus diingat bahwa ungkapan klasik “Hari Lebaran adalah hari kemenangan” tidak hanya mengandung makna spiritual, tetapi juga meliputi keterampilan dalam pengendalian diri, termasuk tidak makan berlebihan, apalagi hingga kekenyangan. Secara tegas Al Quran telah melarangnya. “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf [7]: 31)

          Wujud dari kemenangan atas hawa nafsu adalah bukan dengan sekadar menahan lapar dan haus selama berpuasa, tetapi juga sanggup menahan diri dari makan berlebihan. Oleh karenanya lebaran bukanlah momen “balas dendam.” Lebaran seharusnya dirayakan dengan penuh syukur tanpa berlebihan. Lebaran semestinya menjadi titik balik kepada kesadaran yang benar, setelah sebulan berlatih disiplin serta kesederhanaan.           Tidak makan berlebihan saat dan pasca-lebaran adalah bagian dari merayakan kemenangan itu sendiri. Makan secukupnya, bisa dibantu dengan asupan makanan yang tinggi satiety index-nya, justru meneguhkan makna spiritual dari hari Idul Fitri.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img