Oleh: Bayu Dharmala
Staf Rektorat Universitas Muhammadiyah Malang
Budaya kita sangat kental dengan tradisi ramadan yang penuh kehangatan dan kebersamaan. Dari bunyi patrol yang kerap digaungkan oleh anak anak untuk membangunkan orang sahur hingga merdunya suara tadarus berkumandang setelah salat tarawih.
Berkumpul dengan sanak famili, buka bersama dengan rekan dan kolega, mengonsumsi makanan khas bulan ramadan seperti kurma, kolak, dan kue-kue manis adalah bentuk kehangatan yang identik dengan nuansa Ramadan di negara negara muslim termasuk di Indonesia.
Tak hanya itu, di Indonesia sangat wajar penjual takjil bertebaran di sepanjang jalan yang ramai, hotel dan restauran membuka paket buka bersama, serta diundang acara bukber sana-sini. Tetapi suasana tersebut sangat berbeda ketika kita tinggal di negeri Paman Sam Amerika Serikat yang tentu memberikan pengalaman baru serta makna puasa yang berbeda.
Berpuasa di Amerika, khususnya di Kota Tucson Negara Bagian Arizona, berdurasi kurang lebih 14 jam 15 menit dimulai dengan sahur dari pukul 04.15 hingga 18.55. Suasana berpuasa di sini cukup diwarnai dengan adanya masyarakat muslim yang tinggal di Amerika. Sebagian masyarakat muslim ada yang berasal dari Afrika, India, Timur Tengah, Malaysia, dan tentunya Indonesia.
Saat berkumpul bersama, mereka terlihat sangat akrab dalam naungan payung Islam kendati memiliki budaya dan latar belakang yang beragam. Mereka bisa berbaur dan bersosialisasi dengan baik dan ramah. Di kota Tucson-Arizona terdapat wadah bagi para muslim untuk beribadah dan berkumpul, yakni Tucson Islamic Center (TIC). Di sana terdapat masjid yang cukup besar yang dapat menampung jamaah cukup banyak untuk beribadah setiap hari dan salat Jumat.
Selama bulan ramadan, TIC juga menyediakan buka puasa gratis serta menyediakan tempat khusus untuk buka bersama untuk para jamaah. Setelah itu dilanjutkan dengan tarawih di jam 20.30 hingga pukul 22.15 waktu setempat. Makna mendalam yang didapat dari pengalaman berpuasa di negeri Paman Sam ini salah satunya adalah tentang bertoleransi, baik ke sesama muslim ataupun non-muslim. Selama ini ada anggapan bahwa seseorang harus menghargai umat muslim yang sedang berpuasa, misalnya dengan tidak makan dan minum di depannya, tidak mengeluarkan perkataan yang menyulut emosi, dan tidak melakukan tindakan atau perbuatan yang dapat mengganggu puasa seseorang.
Namun, pengalaman berpuasa di Amerika memberikan makna yang lain bahwa konsep toleransi tidak hanya secara khusus ditujukan kepada non muslim yang perlu bertelorensi kepada warga muslim yang sedang berpuasa. Sebaliknya kaum muslim yang berpuasa juga harus mengerti dan menghargai mereka yang tidak menjalankan ibadah puasa.
Misalnya saat di ruang kelas atau di tempat kerja, kemudian ada yang memberi kita kue kering di siang hari, tidak harus kita langsung menolak pemberian tersebut sambil mengatakan “saya sedang berpuasa.” Hal itu sangat mungkin dapat menyebabkan orang tersebut merasa tidak nyaman atau merasa bersalah.
Bentuk toleransi dalam upaya menghargai pemberian tersebut adalah dengan tetap menerima kue itu, mengucapkan terima kasih, dan menyimpannya untuk saat berbuka tanpa harus kita menceritakan bahwa kita sedang berpuasa. Jika kita ingin memberi edukasi dasar tentang Ramadan kepada teman kelas atau rekan kerja, kita bisa melakukannya saat ada momen yang tepat.
Misalnya saat jam istirahat melalui obrolan kecil kita sampaikan bahwa ini adalah bulan Ramadan, dimana umat muslim wajib berpuasa dengan tidak makan dan minum dari terbit fajar hingga terbenam matahari selama 30 hari ke depan. Dari situ akan tumbuh nilai toleransi yang semakin kuat antara mereka yang berpuasa dan tidak.
Di sisi lain, kita juga perlu menyadari fakta bahwa muslim bukanlah mayoritas di Negeri Paman Sam. Berdasar data dari VOA Indonesia, jumlah masyarakat muslim di Amerika pada tahun 2017 adalah 3,5 juta atau setara 1,1 persen dari total warga Amerika.
Oleh karena itu tentu akan jauh lebih banyak mereka yang tidak berpuasa dibandingkan yang berpuasa. Kemudian, bagi mereka yang sedang studi atau bekerja, tentu tidak akan dijumpai kebijakan perusahaan atau kampus untuk penyesuaian rutinitas belajar dan pekerjaan selama bulan Ramadan layaknya di Indonesia.
Seperti pengurangan jam kerja kantor, penyesuaian jam belajar di sekolah atau kampus, libur awal puasa dan mendekati lebaran, dan lain lain. Kondisi ini penting untuk disadari agar membangkitkan toleransi kita bahwa sejatinya para kaum muslim yang berpuasalah yang semestinya memiliki kesadaran yang lebih tinggi untuk bertoleransi.
Dari sini kita juga bisa belajar menghargai orang-orang yang tidak berpuasa, serta tidak semerta merta menuntut untuk selalu ditoleransi oleh orang lain dan instansi tempat kita belajar atau bekerja. Toleransi akan kita peroleh setelah kita dapat mentolerir orang lain dan menghargai keadaan yang ada.
Dengan adanya rasa toleransi yang tinggi, meski tidak dijumpai pasar takjil seperti di Indonesia, rutinitas buka bersama keluarga tercinta, suara tadarus yang sahut menyahut, syiar Ramadan yang begitu menggema, makna puasa tetap terasa di kala kita mampu mengendalikan diri di tengah-tengah lingkungan yang seolah tidak berpihak pada kaum muslim. Di sini kita dapat memaknai lebih dalam dan mengasah spiritualitas yang dapat meningkatkan kualitas hubungan kita dengan Sang Pencipta.
Tantangan lain bagi para warga Indonesia yang sedang berpuasa di Negeri Paman Sam adalah cuaca. Ramadan tahun ini kebetulan bertepatan dengan akhir musim semi (spring) menuju musim panas (summer), sehingga panas matahari cukup terik khususnya di Kota Tucson-Arizona. Cuaca panas ini cukup berpengaruh dengan kondisi fisik sebab tubuh akan lebih mudah dehidrasi di kala menjalankan rutinitas harian baik belajar maupun bekerja di pagi hingga sore hari. Yang bisa dilakukan untuk menjaga kondisi tubuh tetap prima adalah dengan mengusahakan untuk mengonsumsi air putih lebih banyak saat berbuka dan sahur serta diimbangi sayur dan buah yang bergizi.
Di sisi lain, bagi para perantau tidak sedikit yang merasakan culture shock yang bernama homesick. Rasa rindu dengan keluarga untuk sahur dan buka bersama, rasa cemas jika sakit tak ada yang merawat, dan menyiapkan buka puasa sendiri atau hanya dengan teman-teman satu rantauan. Biasanya ini dirasakan oleh mereka para pelajar yang betul-betul sendiri untuk menyelesaikan studi.
Jika direfleksikan dengan suasana puasa di Indonesia, tentu tantangan berpuasa di Amerika terasa lebih berat dan bisa dibilang tidak mudah. Makna mendalam yang dapat dipetik dari situasi tersebut adalah sebagai seorang muslim sejati sudah semestinya belajar menjalankan ibadah puasa dengan khusyuk dalam situasi dan tantangan apapun. Baik di lingkungan yang kental dengan nuansa Ramadan atau bahkan di lingkungan baru dimana puasa bukanlah hal yang lazim dilakukan masyarakatnya.
Dengan niat yang utuh dan hati yang sungguh sungguh, kita pasti bisa beradaptasi dan membiasakan diri untuk menjalani ibadah puasa walau dengan nuansa yang Ramadan yang berbeda, serta dapat memetik makna mendalam yang dapat meningkatkan iman dan sisi spiritual kita.(*)