TANYA: Assalamu’alaikum ustadz… Saya mau menanyakan tentang pembagian harta waris antara anak laki-laki dan perempuan yang baik itu yang bagaimana? Seandainya ada kesepakatan dari semua saudara kalau harta waris dibagi sama rata apa di Agama Islam diperbolehkan? trims
Imam Maliki +62 823-3345-xxxx
JAWAB: Wa’alaikumussalam. Pembagian harta warisan dalam Islam telah diatur secara rinci dalam Al-Qur’an, khususnya dalam surah An-Nisa’. Allah Ta’ala berfirman: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa: 11)
Dari ayat ini, jelas bahwa anak laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dari anak perempuan. Ketentuan ini bersifat hukum syar’i yang mengikat, bukan hasil kesepakatan sosial. Namun, dalam praktiknya, sering muncul kasus di mana semua ahli waris sepakat untuk membagi harta warisan secara sama rata, dengan alasan demi menjaga kerukunan atau menghindari konflik keluarga.
Dalam hal ini, perlu dirinci:
- Jika bagian warisan belum dihitung sesuai syariat, lalu langsung dibagi secara sama rata tanpa mengetahui hak masing-masing ahli waris, maka pembagian tersebut tidak sah. Karena termasuk merampas hak orang lain tanpa dasar yang benar.
- Jika bagian warisan sudah dihitung sesuai ilmu fara’idh, dan masing-masing ahli waris tahu haknya secara jelas, lalu mereka dengan sukarela melepaskan sebagian haknya, misalnya untuk dibagi rata, maka hal itu diperbolehkan, karena termasuk hibah dan kerelaan pribadi setelah hak syar’i dipahami.
Dengan demikian, sesungguhnya tidak boleh membagi warisan secara rata sebelum bagian masing-masing ditetapkan menurut syariat. Namun jika pembagian sama rata itu setelah penetapan hak masing-masing ahli waris, dan ada kerelaan dari semua pihak untuk membagi secara berbeda dari ketentuan asal.
Imam Asy-Syathiri menyebutkan dalam Bughiyatul Mustarsyidin (hal. 599) bahwa pembagian harta warisan yang tidak sesuai dengan syariat tanpa kerelaan yang sah adalah tidak diperbolehkan.
Warisan bukan sekadar soal pembagian harta, tapi juga tentang ketaatan terhadap hukum Allah SWT. Dengan mengikuti syariat, kita menjaga hak orang lain dan menghindari kezaliman. Kerukunan keluarga tidak perlu dibangun di atas pelanggaran hukum Allah, namun bisa dicapai dengan ilmu dan kerelaan yang syar’i.
Dari sudut pandang hukum positif di dalam Paragraf Kedua Penjelasan Umum UU 3/2006 dinyatakan bahwa:
“… kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: “Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus.”
Dengan penghapusan pilihan hukum atau hak opsi tersebut, berarti penyelesaian sengketa atau perkara pembagian warisan bagi orang beragama Islam menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama dan diselesaikan berdasarkan hukum waris Islam.
Orang Islam tidak diperbolehkan lagi menyelesaikan perkara waris di Pengadilan Negeri ataupun secara hukum adat. Aturan kenegaraan ini memperkuat penjelasan fikih bahwa bila ingin dibagi rata, masing-masing harus mengetahui besaran masing-masing waris yang didapatkan kemudian masing-masing menyepakati untuk dibagi rata. Bila dikemudian hari ada sengketa, maka harus diselesaikan di Pengadilan Agama dengan berdasar hukum waris Islam. Semoga dipahami, Wallahu a’lam. (*)