Merenungkan sejarah ditetapkannya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara tentunya tidak bisa dipisahkan dari sejarah konstitusional pembentukan negara. Lahirnya Pancasila tidaklah instan, namun melalui proses perumusan yang dinahkodai “founding fathers” atau “bapak bangsa” Indonesia, yaitu: Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Soepomo, dan Mohammad Yamin.
Pancasila sebagai dasar negara merupakan cerminan dari nilai-nilai luhur yang mendasari kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Trendingnya berita viral di media sosial, kabar dan informasi hoaks yang memecah belah persatuan bangsa sehingga terjadinya degradasi nilai-nilai moral. Kondisi ini yang mengancam eksistensi nilai-nilai luhur bangsa dan berdampak tergerusnya rasa empati, respon kepedulian yang nyaris apatis terhadap dasar negara.
Tantangan terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini ialah mampukah kita menjaga kedaulatan NKRI dari intervensi kekuatan asing, menanggulangi kemerosotan moral dan dehumanisasi dalam kehidupan sosial, mencegah perbuatan korupsi. Persoalan dasar negara yang terabaikan dan terus dirongrong yang menyelimuti ideologi tersebut harus selalu ditanyakan dalam arti bukan suatu retorika belaka, tetapi sebagai suatu penghayatan kita pada Pancasila.
Bukan dari segi ideologis saja, melainkan juga praksis, sebagaimana Soekarno menyitir pendapat Filsuf Prancis Ernest Renan ketika mengusulkan prinsip kebangsaan yang sekarang berbunyi sila Persatuan Indonesia. Selalu harus direnungkan dari saat ke saat ancaman yang akan mengganggu kehendak untuk bersatu ini. Harus diakui sensitivitas yang disebut di atas kerap mengoyang kehendak bersatu ini.
Ketika murka alam akan memberikan ancaman, yaitu bencana, sedangkan krisis ideologi akan mengancam harmonisasi Pancasila. Harus diakui sensitivitas yang disebut di atas kerap menggoyang kehendak bersatu ini. Kita sebenarnya prihatin melihat para tokoh yang seharusnya bersatu malah dibikin ribut persoalan privasi dalam balutan unsur politis.
Tuduhan, hujatan dan friksi yang terjadi karena sensitivitas kelompok yang dimainkan dalam purna kekuasaan mengakibatkan munculnya blok cebong yang sampai hari ini masih terus bermanifestasi dalam berbagai bentuk seolah tiada henti. Apakah kondisi ini tidak menyimpang dari sila Persatuan Indonesia?
Doktrinisasi semangat kebangsaan di era milenial ini harus dibumikan. Untuk memaknai kelahiran Pancasila saat ini harus berwujud terhadap nilai-nilai persatuan Indonesia sebagai penguatan jiwa nasionalisme. Nasionalisme sebenarnya bisa identik dengan pengorbanan untuk negara dalam arti sebagai upaya bersama untuk meraih cita-cita nasional.
Maka sudah saatnya momentum kelahiran Pancasila dibuktikan melalui tataran konkret keseharian oleh segenap elemen bangsa. Utamanya para penyelenggara negara sudah seharusnya memedomani perilaku “ing ngarsa sung tuladha” yakni di depan dengan memberikan contoh atau teladan. Sehingga masyarakat akan senantiasa mendapatkan pencerahan perilaku positif untuk bersama mengabdi kepada negara berlandaskan Pancasila.
Semangat Kebangsaan
Semangat kebangsaan adalah semangat nasionalisme yang harus ditumbuhkan mengingat sejarah bangsa dan sebagai generasi muda harus mengingat jerih payah dan keringat serta darah para pendiri negara. Dengan demikian harus kita implimentasikan untuk mencintai bangsa dan negara.
Tumbuhkan rasa ikatan yang kokoh dalam satu kesatuan dan kebersamaan sesama anggota masyarakat tanpa membedakan suku bangsa agama, ras, adat istiadat dan golongan. Karena dengan mengingat sejarah, kita dapat memetik nilai-nilai karakter bangsa sehingga dapat untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air dan wawasan kebangsaan.
Soekarno juga menganjurkan nasionalisme yang lebih luas serta egaliter yang keluar dari kepompong etnonasionalisme dan cengkeraman feodalisme (Im Yang Tjoe, 2008). Selain itu, Soekarno juga mengritik pandangan ideologi nasionalisme kepada “gurunya”, Tjokroaminoto, yang dipandangnya sempit karena selalu menggunakan lensa mikroskop Islam (Cindy Adams, 2011).
Dalam nasionalisme terdapat kekuatan energi, inspirasi, inovasi, kreativitas, dan vitalitas. Nasionalisme bagi Soekarno harus diikuti keadilan sosial yang secara lugas dikatakannya bahwa nasionalisme tanpa keadilan sosial adalah nihilisme. Sejalan dengan Soekarno konsep nasionalisme Mahatma Gandhi adalah nasionalisme yang menjunjung tinggi perikemanusiaan.
Mungkin hanya pemimpin negeri ini yang bisa menjawabnya apakah kita masih terbelenggu dari kebodohan, kemiskinan yang selalu berada di depan mata kita. Renungan singkat ini merupakan sebuah refleksi dan pemikiran kebangsaan bagi rakyat Indonesia pada umumnya dan pemimpin negeri ini pada khususnya untuk melakukan konsolidasi dalam menghadapi persoalan-persoalan kebangsaan.
Nasionalisme penting agar Indonesia tidak menjadi negara pecundang yang akan menggoyangkan Pancasila. Sebagai suatu konsepsi, nasionalisme harus dipahami sebagai paham yang mementingkan kepentingan bangsa dan negara dari pada kepentingan masuknya paham asing.
Membangun semangat kebangsaan melalui penguatan nasionalisme yang berdimensi keadilan dan kesejahteraan rakyat adalah obyek untuk direfleksikan pada Hari Lahirnya Pancasila. Untuk menyikapi idealism dan pragmatisme nasionalisme, kita harus menghargai semangat nasionalisme yang tinggi dengan mewujudkan semangat utuhnya persatuan dan kesatuan bangsa. Setiap warga negara memiliki peran penting dalam menghidupkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dengan mengamalkan Pancasila untuk membangun kembali semangat kebangsaan yang kuat, lebih cerah dan berkeadilan. Dengan demikian dalam rangka memaknai hari lahirnya Pancasila gerakan nyata yang harus dilakukan dengan introspeksi diri dan aksi nyata dengan menempatkan kaum milenial dan Gen-Z sebagai pelaku utama pembangunan.(*)