Dr. H. Sholahuddin Al-Fatih, SH., MH.
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Malang
Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia memainkan peran penting dalam upaya mencegah dan membatasi praktik korupsi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya jumlah PT, baik yang berbentuk Sekolah Tinggi, Akademi, Universitas, Institut, Politeknik hingga Akademi Komunitas. Berdasarkan informasi dari laman PDDikti, di Indonesia saat ini terdapat sebanyak 4.409 Perguruan Tinggi. (dikti: 2024). Jumlah tersebut tentu sangat banyak, jika dibandingkan jumlah PT di negara tetangga, seperti Singapura yang hanya belasan saja. Tentu, jumlah PT yang sangat banyak ini bisa menjadi transmisi korupsi, tak terkecuali gratifikasi.
Merujuk pada definisi dalam laman Jaga ID, gratifikasi diartikan sebagai pemberian dalam arti luas, yang sering kali dianggap sebagai pintu masuk praktik korupsi. Mekanisme pencegahan korupsi gratifikasi saat ini adalah dengan menjalankan amanat Undang-Undang, bahwa setiap Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara diwajibkan melaporkan penerimaan gratifikasi terkait dengan tugas dan kewajiban mereka.
Lebih dari itu, agar tidak ada gratifikasi di lingkungan PT, dikembangkan konsep mengenai Zona Integritas. Melalui Zona Integritas ini, kampus melarang praktik gratifikasi, bahkan membatasi pertemuan secara langsung antara mahasiswa, tenaga kependidikan (selanjutnya disebut tendik) dengan dosen, terutama dosen penguji di masing-masing strata akademik.
Meskipun demikian, bukan berarti PT bebas dari gratifikasi. Mengutip hasil penelitian yang dilakukan oleh Gono Sutrisno, dkk, mayoritas mahasiswa yang dijadikan obyek penelitiannya, telah melakukan gratifikasi berupa pemberian hadiah kepada dosen, baik selama masa kuliah atau setelah lulus. Motif mereka memberikan hadiah adalah agar proses kuliah mereka dipermudah oleh yang bersangkutan.(Manajemen Dan Retail 3, no. 1 (2023): 51–59). Sayangnya, tidak banyak artikel ilmiah yang menulis hal tersebut, entah karena gratifikasi di PT menjadi hal yang tabu atau karena takut dijerat oleh pasal pencemaran nama baik, sanksi akademik dan sejenisnya.
Optik hukum gratifikasi telah dimuat dalam Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya. Aturan turunannya di lingkungan Perguruan Tinggi disebutkan dalam Pasal 3, 4, 5 dan 6 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pengendalian Gratifikasi.
Serangkaian aturan tersebut kemudian melandasi sebagian PT untuk membentuk norma hukum internal di kampus masing-masing. Biasanya dibuat dalam bentuk Peraturan Rektor hingga Surat Edaran, yang intinya melawan segala jenis dan model gratifikasi. Salah satunya seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, dengan membentuk Zona Integritas.
Namun, bak jamur di musim penghujan, gratifikasi sejatinya tetap berjalan seperti business as usual. Relasi kuasa dan faktor ekonomi menjadi pemicu tingginya angka gratifikasi di PT. Dosen punya kuasa untuk memberikan nilai kepada mahasiswa, memberikan kelulusan atau tidak dan banyak relasi kuasa lainnya.
Di sisi lain, mahasiswa memiliki kemampuan untuk memberikan “hadiah” kepada dosennya, entah dalam bentuk barang, uang, bahkan yang lebih ekstrem lagi, gratifikasi seksual. Dalam relasi dan faktor tersebut, masuk pula pihak ketiga, yaitu tendik. Tendik dalam kasus gratifikasi, biasanya berperan sebagai feeder atau penghubung antara si pemberi dan penerima gratifikasi. Namun, banyak juga dijumpai tendik sebagai penerima gratifikasi.
Agar isu ini tidak menjadi bias, karena harus didukung dengan data numerikal yang valid, maka penulis tidak akan berfokus pada berapa jumlah gratifikasi, nominal uang yang berputar dalam pusaran gratifikasi, kampus yang menumbuh-suburkan gratifikasi dan sejenisnya.
Penulis hanya akan berfokus pada langkah dan model alternatif untuk mencegah dan menindak gratifikasi di Perguruan Tinggi. Analisis dan tawaran model alternatif tersebut didasarkan pada gagasan tentang perlindungan hukum, dalam aspek preventif dan represif.( A’an Efendi and Freddy Poernomo, Hukum Administrasi (Jakarta: Sinar Grafika, 2017).
Pertama, model pencegahan gratifikasi di PT. Langkah pencegahan merupakan bagian dari langkah preventif. Agar gratifikasi tidak tumbuh subur di lingkungan PT, maka perlu dicegah dengan serangkaian langkah yang komprehensif dan terukur.
Langkah pencegahan itu meliputi; a). Anti-Gratifikasi sebagai salah satu materi dan/ atau mata kuliah penciri dan/atau Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) yang diterapkan di seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia. Mata kuliah penciri merupakan mata kuliah yang menjadi ciri khas di sebuah Perguruan Tinggi. Misalnya di tempat penulis mengabdi, mata kuliah pencirinya adalah mata kuliah Al Islam dan Kemuhammadiyahan. Sebagai MKDU, maka anti-gratifikasi akan sejajar dengan MKDU lain seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Pendidikan Kewarganegaraan dan sebagainya.
Melalui implementasi tersebut, maka mahasiswa akan memahami bahwa memberi hadiah kepada dosennya adalah bentuk gratifikasi. Harapannya mata kuliah tersebut diberikan di semester awal, baik di semester satu atau dua, sebagai modal integritas mahasiswa.
b). Dibentuknya UKM Anti-Gratifikasi. Melalui sarana Unit Kegiatan Mahasiswa, anti gratifikasi disosialisasikan secara berkala kepada seluruh civitas akademika kampus. Nantinya, akan banyak pula kegiatan yang diselenggarakan oleh UKM tersebut, yang bisa bekerja sama dengan KPK, JagaID, ICW dan NGO lainnya.
c. Festival Anti Korupsi. Kampus secara rutin tahunan (annual) mengadakan festival hari anti korupsi. Di dalam festival yang dikemas menarik bagi Gen-Z dan Milenial tersebut, juga disampaikan salah satu indikasi ke arah korupsi adalah gratifikasi. Melalui festival tersebut pula, diberikan penghargaan, baik kepada whistleblower yang telah mengungkap kasus dugaan gratifikasi apalagi korupsi di kampusnya, hingga penghargaan bertajuk insan paling berintegritas. Dengan demikian, maka akan tumbuh kesadaran bagi civitas akademika di kampus tersebut.
Kedua, model penindakan gratifikasi di PT.a) Membentuk Satgas Anti-Gratifikasi.Kampus diharapkan segera membentuk satgas anti-gratifikasi yang bersinergi dengan UKM Anti-Gratifikasi. Satgas beranggotakan para dosen yang memiliki integritas tinggi. Tugas dari satgas ini nantinya adalah memproses dan menindak secara hukum apabila ditemukan dugaan gratifikasi.
b). Deklarasi Kampus Bebas Gratifikasi. Dalam menyongsong SDGs, banyak kampus berlomba mendeklarasikan program-program unggulan. Misalnya dengan deklarasi kampus bebas narkoba, kampus bebas kekerasan seksual dan sebagainya. Sayangnya, belum ada kampus yang mendeklarasikan sebagai kampus bebas gratifikasi.
Melalui langkah dan model alternatif pencegahan serta penindakan tersebut, diharapkan gratifikasi di PT bisa di atasi. Sinergi antar sektor menjadi kunci keberhasilan implementasi ide dan gagasan tersebut. membasmi gratifikasi memang bukan sekadar mimpi, tapi harus segera kita mulai, dari hal yang kecil, dari diri kita sendiri dan mulai saat ini.(*)