spot_img
Sunday, December 22, 2024
spot_img

Membiasakan Berkata Santun Itu Keren

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Uswatun Hasanah, S.Pd
Guru Bahasa Indonesia Sekolah Pesantren
MTs. Muhammadiyah 1 Malang

Mendengar kata anjir tentu sudah sangat akrab di telinga kita. Kata anjir sebenarnya hampir mirip dengan anjay. Hanya saja ada sedikit perbedaan antar kedua kata tersebut yang kini termasuk bahasa gaul populer. Kata anjir seringkali digunakan untuk mengekspresikan perasaan karena mengalami dan melihat kejadian sesuatu. Pasalnya apa arti anjir dalam bahasa gaul berasal dari sebuah plesetan.

Sejumlah sumber menyebutkan kalau apa arti anjir dalam bahasa gaul adalah plesetan dari kata anj**ng. Kata-kata itu menjadi hal yang biasa digunakan oleh siswa entah kepada orang tua maupun teman sebayanya. Penggunaan bahasa yang kurang santun juga diperlihatkan oleh siswa saat ini kepada guru, mereka cenderung mengangap guru sebagai bestie.

Kedekatan yang terbangun seakan tidak ada sekat antara guru dan siswa ini menyebabkan siswa mengindahkan kesantunan berbahasa. Bahkan kita juga seringkali mendengar kata-kata kasar atau misuh (Bahasa Jawa) merupakan hal yang lumrah diucapkan oleh siswa. Mulai dari umpatan binatang sampai pada umpatan makhluk halus.

Hal ini juga sering kali kita lihat dari berbagai podcast seorang politikus seringkali menggunakan kata-kata kasar seperti kata Dungu, Bodoh, dan Tolol. Bahkan demo yang dilakukan oleh kalangan akademis juga menggunakan kata-kata yang vulgar, contoh “Lebih Baik Bercinta 3 Ronde daripada harus 3 periode.”

Dalam permainan game juga seringkali penggunaan kata-kata kasar juga digunakan. Sederhananya mengumpat adalah bahasa tabu. Mengumpat mengacu pada penggunaan istilah spesifik, bermuatan negatif, dan sering bermuatan emosional, yang tabu dalam bahasa/ budaya tertentu dan karenanya memiliki potensi kuat untuk menyebabkan pelanggaran.

Bagi sebagian orang, mengumpat memang terasa menyenangkan, terlepas dari apa maksudnya dan bahkan saat orang tersebut tahu konsekuensi sosial dari perkataan kotornya. Setidaknya kita tahu bahwa para peneliti (yang sebagian besarnya ilmuwan psikologi) telah repot-repot menelusuri kata-kata kotor. Bahwa setiap budaya memproduksi kata-kata tersebut secara berbeda.

Mereka juga tahu bahwa fase remaja merupakan fase puncak mulut manusia fasih dan intens mengucapkan umpatan. Seorang remaja bisa mengucapkan satu kata kotor dalam setiap 200 ucapan kata, dan laki-laki disebut lebih sering mengeluarkan umpatan dibandingkan perempuan.

Salah satu seni dalam bersosial sebenarnya yang sangat penting keberadaannya adalah bagaimana cara kita berkomunikasi dengan lawan bicara. Berbagai macam atau istilah yang kita gunakan bisa membuat percakapan, atau bahkan hubungan menjadi lebih harmonis.

Berbicara salah satu cara berkomunikasi, misuh adalah salah satu bagian dari komunikasi masyarakat Jawa yang tidak bisa dihindarkan. Beberapa kalangan menganggap misuh sebagai suatu hal yang biasa, namun beberapa kalangan juga ada yang menganggap bahwa misuh adalah bagian yang tidak boleh dilakukan, khususnya anak kecil.

Misuh dalam Bahasa Jawa

          Misuh adalah sebuah umpatan atau kata kotor yang diucapkan seseorang untuk merespon suatu hal. Karena misuh adalah sebuah respon, maka tentu saja ada makna khusus di balik umpatan atau kata kotor tersebut. Terkadang misuh memang memperlihatkan si komunikan dalam keadaan marah dan jengkel karena sesuatu. Namun tidak semuanya demikian.

          Terkadang misuh juga digunakan sebagai salah satu seni dalam percakapan. Ada sebuah stereotipe dalam anak muda bahwa menggunakan kata kotor dalam sebuah percakapan akan membuat hal itu tampak lebih keren. Namun pandangan seperti ini biasanya hanya berlaku pada mereka yang baru saja dewasa dan masih labil.           Seiring berjalannya waktu, misuh dianggap sebagai hal biasa saja, bukan untuk keren-kerenan semata. Karena misuh adalah kategori kata bermakna negatif, atas dasar inilah beberapa daerah menganggap misuh sebagai bagian dari kata-kata tabu dan tidak boleh diucapkan, terlebih oleh anak kecil. Namun ada juga daerah lain yang menganggap misuh atau pisuhan sebagai salah satu seni dalam berdialektika.

          Misalnya masyarakat Surabaya yang sering menggunakan Jancuk, Cuk, atau Coeg untuk berkomunikasi dengan orang lain. Meskipun di beberapa daerah kata jancuk masuk pisuhan, namun tidak dengan masyarakat Surabaya. Ini sudah menjadi kata yang memperlihatkan keakraban dengan orang-orang tersebut.      Akan tetapi alangkah baiknya kita harus santun dalam berkomunikasi.           Sebagai masyarakat Indonesia yang menjunjung kesopanan dan memiliki aturan, agama maupun aturan yang berlaku di masyarakat maka sebaiknya kita lebih santun dalam berbahasa. Karena akhlak seseorang bisa dilihat dari bagaimana berbahasa dengan santun.

          Seperti falsafasah ‘Jawa Ajining Diri Saka Lathi, Ajining Raga Saka Busana.’ Mengubah kebiasaan buruk bisa dimulai dari diri sendiri. Mari belajar bertutur kata halus dan sopan atau lebih baik diam. Karena di zaman sekarang, orang yang keren itu adalah orang yang tidak bicara dengan kasar.

          Lebih baik kalau lagi kesel, marah atau sejenisnya, tarik napas, simpan energi untuk hal-hal yang baik supaya bisa berpikir jernih. Misuh boleh, mengeluh boleh, menangis juga boleh. Atau kala mau teriak, teriak saja dengan keras sekali. Menahan diri untuk tidak misuh dan membiasakan dengan kata-kata yang santun itu keren sekali.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img