Memperingati HUT ke 4 Malang Posco Media 1 Agustus 2024
Oleh Maksum
Wartawan senior, pengajar jurnalistik di beberapa perguruan tinggi, dan founder Inti Media Utama Local Brand
Majalah Gatra mengumumkan, terhitung tanggal 31 Juli 2024 pamit. Tidak terbit lagi. Majalah Gatra mengaku kesulitan menghadapi dinamika dan tantangan perubahan bisnis media dan perilaku pembaca media di era eko sistem digital saat ini. Maksud manajemen PT Era Medika Informasi, penerbit Gatra, adalah majalahnya saat ini tidak bisa lagi eksis sebagai perusahaan media, lantaran, pertama, omset iklan turun drastis. Pemasang iklan turun serta pembeli Gatra edisi cetak anjlok, sehingga tidak bisa menghidupi bisnisnya.
Kedua, perilaku pembaca media sebagian besar berubah total. Pembaca saat ini tidak lagi ramai-ramai menunggu media cetak terbit untuk mengakses informasi hasil liputan yang ingin diketahui. Jangankan membeli atau berlangganan. Melihat atau menyimak halaman demi halaman media cetak seperti di masa lalu aja pembaca ogah. Tidak mau. Apalagi harus membaca dengan mengeluarkan recehan dari kantong. Tidak sudi.
Jauh sebelum Gatra stop terbit, ada banyak media cetak yang juga berhenti terbit. Salah satu di antaranya, dua bulan lalu Malah Intisari juga stop terbit. Masalah yang dihadapi kurang lebih sama dengan Gatra. Perubahan perilaku membaca untuk akses informasi masal yang tidak lagi ke media cetak. Akan tetapi pindah total ke media digital.
Pembaca media di era ekosistem digital saat ini, khususnya generasi milenial dan Gen Zi (generasi zelenial) ramai-ramai, asyik, dan ketawa gembira mengutak-atik keypad gadget atau Ipad-nya. Mereka ramai-ramia mengakses informasi yang di media sosial (medsos), Face Book, Instagram, Tiktok, atau portal-portal media online. Gratis lagi. Tidak perlu beli atau bayar.
Apa Yang Terisa dari Media Cetak?
Jika media cetak sudah sangat old untuk era ekosistem digital. Sudah ditinggal ramai-ramai para pembaca, khususnya pembaca Gen Zi, masih adakah yang tersisa dari substansi jurnalistik media cetak? Jika parameternya adalah akses informasi aktual terbaru (news update) maka tidak lagi yang tersisa dari jurnalistik media cetak. Sebab media cetak tidak mungkin main update dengan rentang waktu per menit atau bahkan per sekian detik. Dari sisi update ini, habis dan tamat sudah ekosistem jurnalistik media cetak konvensional. Updating news harian untuk saat ini sudah old semua. Dilibat updating mews media digital dengan berbagai kontentnya.
News Worthy Media Cetak yang Perlu Dipelihara
Akan tetapi masih ada yang perlu terus dipelihara dan dipertahankan dari jurnalistik media cetak. Apa saja? Antara lain, standarisasi (kelayakan) liputan dalam konteks informasi jurnalistik yang edukatif bagi para pembaca.
Meski demikian, bukan berarti jurnalistik era digital tidak memiliki substansi jurnalistik yang edukatif bagi pembaca. Hanya saja, jurnalistik media cetak lebih standar makna edukatif. Sebab dalam proses liputan, penulisan berita, dan editorial memiliki ruang waktu yang lebih terbuka. Bahasa sederhananya tidak diburu waktu dalam ukuran detik dan menit per menit.
Dalam hal itu, jurnalistik media cetak memiliki ruang waktu lebih terbuka untuk produksi konten-konten berita yang tidak berpotensi bersifat sepihak. Jurnalistik media cetak memiliki jeda waktu untuk memperkecil kecenderungan produksi konten berita yang berpotensi trial by the press. Tidak seimbang. Jeda waktu cukup untuk melakukan liputan dari dua belah pihak atau dua sisi yang berbeda (cover both sides).
Jurnalistik media cetak memiliki kesempatan lebih lama untuk menghindari konten berita tidak akurat. Ada dua implikasi berita yang tidak akurat. Pertama, berita itu menjadi blank journalism (jurnalisme kosong). Menjadi berita palsu. Mengada-ada. Atau informasi bohong. Atau dalam bahasa populer saat ini hoax.
Bagi institusi media pers, berita yang tidak akurat bukan tanpa persoalan. Bukan karena telah menulis berita yang dapat dikategorikan blank journalism atau hoax melainkan karena –apalagi jika blank journalism itu sering terjadi— dapat meruntuhkan kredibilitasnya di mata pembaca. Para pembaca menjadi tidak percaya pada institusi media pers yang bersangkutan.
Sejatinya, tidak hanya di Indonesia. Di negara-negara maju yang institusi media persnya sudah mapan pun blank journalism sering terjadi. Hanya saja karena di sana telah tertanam komitmen yang kuat bahwa institusi media pers harus dilindungi sebagai salah satu representasi kebebasan publik untuk berpendapat maka tidak mudah muncul sengketa akibat pemberitaan hoax berujung di pengadilan.
Kurang Empati
Persoalannya ialah mengapa media pers –bahkan dengan institusinya yang sudah mapan pun—masih sering hoax di era jurnalistik ekosistem digital saat ini? Masih sering tidak akurat dalam menulis berita. Pertama, karena di era jurnalistik ekosistem digital tidak memiliki ruang waktu yang memadai dalam produksi konten berita sehingga tidak standar dalam indepth reporting. Ruang waktu liputan dan proses produksi konten berita hanya ukuran menit atau bahkan detik.
Itu sebabnya, dalam beberapa identifikasi, media digital online masih sering eror dalam penulisan. Tiada titik koma, kurang satu atau dua huruf dalam penulisan kata atau kalimat masih sering ditemui.
Kedua, dalam salah satu seminar Freedom Forum yang pernah saya ikuti di Virginia, AS, beberapa waktu lalu, muncul sejumlah pendapat, namun bermuara pada pemahaman kurang lebih serupa. Yakni, media pers sering hoax atau tidak akurat karena sulit menumbuhkan sikap empati.
Ironisnya, kesulitan menumbuhkan sikap empati di internal institusi pers sering tidak berhubungan dengan rendahnya skil dan penguasaan teknik berjurnalistik yang benar. Akan tetapi sering disebabkan proses mencari, dan penulisan berita kurang menumbuhkan sikap empati yang baik.
Lalu di mana letak kesulitan menumbuhkan sikap empati itu? Rober J Haiman dalam Practices for Newspaper Journalist (2001) menyebut, pertama, kru media pemberitaan sering kurang mendengarkan pendapat publik. Hal yang sama diulangi redaktur saat menulis kembali (rewrite) berita di newsrooms.
Sikap seperti itu –kurang mendengarkan pendapat publik—sering menjadi awal terbentuknya rasa kurang empati pada orang lain. Pada sumber berita, pada pembaca, dan pada kalangan yang mungkin bakal terkena imbas pemberitaan.
Ketiga, menolak mengakui kesalahan (refuse to admit errors). Melakukan kesalahan penulisan berita, tidak akurat menggali fakta, dan menggunakan sumber berita yang tidak kredidel bisa saja terjadi. Tetapi, tidak semua media pers sportif mau mengakui kesalahan yang dilakukannya.
Keempat, sering media pemberitaan merasa paling tahu mengenai persoalan dan paling benar memahami persoalan. Kecenderung demikian sangat berbahaya. Sebab, selain dapat menumbuhkan sikap tidak mau mengakui kesalahan, juga tidak peduli atau tidak peka terhadap perasaan publik (the public feels), terutama yang mungkin jadi korban pemberitaan.
Mem-blow up peristiwa pembunuhan, terorisme, dan aksi-aksi kekerasan lain dengan standar jurnalistik yang baku adalah keharusan. Mungkin saja berita-berita tersebut telah memenuhi teknik cover both sides, sudah cross check, recheck, konfirmasi, dan dengan fakta-fakta di lapangan disertai investigasi yang benar.
Namun, mungkin saja liputan yang sudah standar itu masih berakibat buruk juga terhadap orang lain. Bagi keluarga pelaku, keluarga korban, dan terutama bagi anak-anak mereka lantaran teknik penyajian berita tersebut tidak cukup peka terhadap penderitaan mereka.
Perlu dipahami bahwa trial by the press tidak selalu disebabkan liputan yang tidak cover both sides. Trial by the press tidak senantiasa disebabkan teknik-teknik liputan dan penulisan berita yang menyimpang dari standar jurnalistik yang baku. Namun, sering pula terjadi karena media pemberitaan dan kru-nya kurang peka atau kurang peduli terhadap masalah, penderitaan, dan psikologi publik.(*)