spot_img
Thursday, May 9, 2024
spot_img

Memorandom

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Cerpen Oleh: Pratiwi Nur Zamzani

“Permisi, Bu. Ini berkas yang harus Anda periksa,” terang perempuan muda dan belia yang tengah berdiri dengan menggunakan setelan jas hitamnya dan rok yang memiliki panjang selutut itu.

Sedangkan perempuan yang biasa dipanggi Bu oleh perempuan itu, memiliki usia yang tak jauh darinya. Dengan setelan jas oversize-blazer dengan warna senada miliknya. Jangan bertanya perihal kerapiannya. Dia hanya berpakaian selayaknya ia merasa pantas untuk menunjukkan kekuasaannya atas dirinya sendiri. Parlente? Tentu saja tidak. Dia lahir dari keluarga yang tidak berkecukupan. Kejayaan? Tentu saja ia mencapai itu pada titik puncaknya di akhir usia 23 tahun. Dia, Gloria.

“Apakah ada telfon penting hari ini?” tanya perempuan berjas putih itu seraya melonggarkan knit-shirt dengan tone warna putih tulang yang senada dengan tone setelan jas miliknya. Ia juga melepaskan kaitan rambutnya yang masih menempel di kepalanya yang tengah penuh dengan pekerjaan beberapa waktu yang lalu, dan kini telah berakhir di seluruh rangkaian kata yang ada di depannya dan terkemas rapi di dalam map kulit berwarna hitam yang ia pegang.

“Tante Rini,” ucap perempuan berjas hitam itu.

Seketika kedua bola mata Gloria berhenti untuk membaca deretan angka dan tulisan yang ada di depannya. Kemudian, dengan tanggap dan cepat, ia juga menutup map berwarna hitam itu, dan berjalan lamban ke arah kursi kebesaran yang mampu merengkuh tubuhnya yang semampai. Ketukan heels hitam yang terdengar tatanan iramanya.

“Apa yang dibicarakan olehnya, Lidia?” tanya Gloria kepasa perempuan yang tengah menjadi asisten pribadinya tersebut.

“Beliau, ingin menemui Anda Bu. Jika bisa sore ini,” terang Lidia dengan menundukkan kepalanya.

“Apakah kamu menyetujuinya?” tanya Gloria.

“Tentu saja belum, Bu. Karena jika tidak…,” suaranya terputus saat Gloria menyelanya terlebih dahulu.

“Mengapa kamu begitu takut untuk mengambil keputusan perihal keluargaku, Lidia. Bukankah kamu sudah pernah mengetahui sedikit ceritaku dengan orang tersebut dua tahun yang lalu?” terang Gloria seraya memutar kursinya untuk menghadap ke jendela kaca yang begitu lebar selebar ia bisa melihat banyaknya ruamh kecil yang mungkin saja itu adalah rumah besar saat Gloria ada di depannya. Namun, kali ini Gloria tidak dapat memungkiri dimana ia melihat rumah-rumah kecil itu seperti sebuah kepala yang penuh dengan penyakit koreng.

“Saya mengerti dan memahami, Bu. Namun…”

“Bukankan kamu sudah mengetahui resiko saat kamu tidak bisa memutuskan apa yang seharusnya menjadi keputusan yang sangat mudah untukmu, Lidia? Itulah mengapa aku memilihmu sebagai asisten pribadiku, sebab aku melihat betapa mudahnya mulutmu dulu untuk membunuh seseorang sebagaimana mudahnya aku menghukummu seperti saat ini sebab kamu lalai dalam pekerjaanmu, Lidia,” terang Gloria kembali memutus apa yang hendak dibicarakan oleh Lidia.

Lidia terdiam mematung. Ia mengetahui betul dengan apa yang ia lakukan adalah hal yang jauh dari apa yang biasa dilakukan oleh Gloria. Gloria Lavinte. Dua nama itu begitu terdengar jela dua tahun yang lalu. Tangis isaknya terdengar sekalipun gadis belia itu bersembunyi di kegelapan ruangan kamar dan cuaca hujan yang begitu deras. Gloria mengira, tembok adalah sahabat terbaiknya disaat-saat seperti itu. Tapi, ia baru menyadari bahwa ada seseorang yang selalu mendengar isak tangisnya dalam diam tanpa melakukan apapun. Lidia.

Dua tahun yang lalu, Lidia adalah orang yang menyaksikan bagaimana Gloria kembali ke rumah dengan koper pink setelah ia melakukan perjalanan dari kota Malang. Setelah beberapa bulan ia baru saja menyelesaikan perjalanannya dari Yogyakarta dan meninggalkan kota itu. Tentu saja setelah ia menyelesaikan urusannya dengan Psikiater dan dua rekan sahabatnya yang menolongnya saat ia terus ada pada masa cemas yang begitu berlebihan di beberapa waktu, dan bipolar dalam beberapa waktu. Padahal, esoknya ia harus mengisi sebuah seminar dan bertingkah seolah semuanya baik-baik saja.

Namun, kepulangannya tidak disambut dengan baik oleh beberapa saudaranya. Banyak dari mereka yang merendahkan hasil pendidikannya sebagai seorang Sarjana Pendidikan. Banyak juga saudara dari Ayahnya yang menertawakan prosesnya untuk menjadi seorang pendidik.

***

“Ngapain sih Kak, jauh-jauh harus ke Malang. Kan gajinya Guru kecil,” Ucap Tante Nianca yang merupakan bagian dari adik terakhir Ayahnya.

Gloria terdiam saat itu, ia terus berpikir dalam pikirannya yang penuh terus berkecamuk dalam sebuah rancangan karir yang masih belum pasti apakah ia diterima sebagai pengajar dalam suatu lembaga tersebut, atau hanya berhenti pada titik dimana ia belum sepenuhnya siap dan mampu untuk menanggung hidupnya sendiri. Memang, saat itu ia tinggal di rumah Tante Nianca hanya untuk sebagai batu loncat sebelum ia menemukan tempat tinggal di luar.

Belum lagi, ia mengingat betul bahwa Tante Rini memperburuk keadaannya dengan menjatuhkan semangat dan planning Gloria untuk menempuh pendidikan selanjutnya yaitu pendidikan Magister sembari ia bekerja sebab tidak memungkinkan ia menggunakan uang dari kedua orangtuanya yang terkadang untuk makan saja mereka harus berpikir begitu keras bahwa besok akan tersedia makanan yang layak untuk mereka.

Tante Rini mengirimkan beberapa chat pribadi dan menyinggung beberapa hal yang cukup lancang dimana tidak seharusnya seorang Tante menyebutkan hal tersebut kepada sepupunya. Tidak seharusnya pula, seorang Tante berkata yang tidak senonoh yang cukup layak untuk membuat sepupunya Gloria Lavinte mengingat dengan jelas setiap kata yang ada di layar ponselnya kala itu hingga Gloria tak lagi menginginkan sebuah pertemuan yang entah disengaja atau tidak dengan kedua Tante yang sudah jelas adalah adik kandung dari Ayahnya.

***

“Sumpah Kakak cantik banget,” ucap Icha. Adik sepupu Gloria. Anak dari Tante Nianca.

“Cantik aja nggak cukup untuk membuat seseorang tidak menghinamu, Icha.”

Seketika Icha terdiam. Kemudian menatap kedua bola mata Gloria, dengan begitu dalam seolah ia berusaha menemukan sesuatu yang tengah Gloria sembunyikan kepadanya. Namun dalam beberapa menit, Gloria menghiraukan tatapan mata Icha. Ia meraih gelas yang tak jauh dari jangkauannya untuk menyesap ice tea. Kemudian, Gloria menggerakkan jarinya untuk meraih dimsum dan mengunyahnya dengan benar.

Icha masih tetap menunggu Gloria sampai siap dengan apa yang seharusnya Icha ketahui sebagaimana mestinya. Dan Gloria menyadari hal tersebut. Tanpa berbicara apapun, Gloria menyodorkan ponselnya dan memberitahukan semuanya kepada Icha sebagaimana apa yang ingin diketahui oleh Icha.

“Mengapa wajahmu begitu tercengang, Icha? Bukankah dari sini kamu mengetahui bagaimana watak dan lakon?” tanya Gloria dengan senyumannya yang dalam. Tentu saja tatapan matanya nanar dan terpendar cahaya lampu yang tidak dapat disembunyikan lagi bahwa rongga mata yang tajam layaknya singa itu tengah berair.

“Kalau kayak gini ceritanya sama aja kek gendang ditepuk sebelah, Kak.”

Senyuman Gloria, mengakhiri pertemuan mereka. Esok malam, Gloria pergi meninggalkan rumah Icha dan tidak lagi tinggal di sana. Gloria kembali ke rumahnya dengan tangisan yang tidak pernah ia sangka bahwa keluarga bisa dan mampu untuk menghancurkan keluarganya sendiri. Sejak saat itu juga, Gloria tidak lagi menemukan kata keluarga dalam bentuk apapun, dan situasi apapun.

***

Lamunannya buyar saat telfon di atas meja kaca yang begitu lebar dan tebal berdering dengan nyaring. Gloriapun berdiri dan memencet tombol telfon kantor itu dan mendengarkan suara yang tidak asing. Tante Rini. Saat Tante Rini memberikan suatu penjelasan, kedua mata Gloria sampai pada titik menatap Lidia seolah bersiap untuk membunuh Lidia saat itu juga. Asisten pribadi yang Ia percaya sejak ia membangun Yayasan pendidikan pribadi miliknya. Yayasan pendidikan dengan biaya total masuk 100.000$ dalam sekali masuk. Yayasan SMA International Bungrhoth yang berhasil menerapkan lima kurikulum dalam satu sekolah. Dan semua panduannya, dikerjakan oleh Gloria sendiri saat ia masih merintis dua tahun yang lalu bersama dengan timnya. Kini, semua orang berebut kursi untuk memasuki sekolah Yayasan miliknya. Termasuk keponakannya sendiri. Anak dari Tante Rini.

“Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Lidia?” ucap Gloria dengan wajahnya yang begitu datar dan dingin. Tatapan matanya yang tajam namun penuh dengan luka yang terus ditahan, adalah hal yang Lidia saksikan sama persis dua tahun lalu.

Dua tahun silam, adalah waktu yang begitu berat untuk Gloria. Ia melewati pendidikan magisternya dengan begitu banyak hal yang tidak manusiawi, namun Gloria berusaha untuk memanusiakan dirinya sendiri. Sejak saat itu juga, Gloria tak lagi takut untuk berhadapan dengan dirinya sendiri sekalipun baru saja mempermainkan kehidupan seseorang.

“Bisa kau jelaskan apa yang seharusnya kau lakukan Lidia?” tanya Gloria saat telfon Tante Rini sudah memutuskan sambungannya.

“Mengembalikan nama Kina dari kementrian agar tetap terdaftar setelah Ms. Gloria memblokirnya dari rangka pendidikan sebagai bentuk Ms. Gloria mempersulit jalan Kina dan membuktikan bahwa kemenangan atau prestasi tidak menjamin kemudahan. Melainkan, koneksi dan relasilah yang menjamin kemudahan itu. Lalu, langkah kedua menerima Kina masuk ke sekolah ini, namun sengaja menggugurkannya seolah nilainya tidak sesuai dengan standar sekolah ini dan kembali mempersulit Kina agar tidak diterima di sekolah yang lainnya. Langkah terakhir, memberikan saran kepada Tante Rini secara pribadi untuk berbicara kepada Ms. Gloria dan memohon kepada Ms. Gloria agar Kina diterima di sekolah ini melalui jalur orang dalam. Kemudian, sisanya saya serahkan keputusannya kepada Ms. Gloria,” jelas Lidia panjang lebar.

“Kenapa sisanya kau serahkan kepadaku Lidia? Tuntaskan dengan cara atur jadwalku sedemikian rupa agar keluargaku tidak lagi bisa menemui aku baik dalam keadaan sengaja atau tidak. Sehingga aku tidak perlu repot untuk melihat wajahnya yang menjijikkan bersujud padaku. Cukup melalui telfon saja mereka mengemis padaku,” tegas Gloria.

Lidia hanya menganggukkan kepalanya menyetujui apa yang diperintahkan oleh Gloria kepadanya. Tak lama dari itu, Lidia bertanya kepada Gloria sebelum Gloria pergi meninggalkan ruangan kerjanya.

“Mengapa Nona melakukan itu? Sedangkan Kina tidak tahu menahu tentang kesalahan orangtuanya? Bukankah tidak adil jika demikian Nona memutuskan?” tanya Lidia memberanikan diri dengan nadanya yang rendah dan dalam.

“Sombong di depan orang yang sombong adalah sedekah Lidia. Dan, mengajarkan seseorang melalui nasab dan nasib adalah cara terbaik untuk membuka halaman cerita lama agar tidak lagi terulang di halaman selanjutnya dan tentu saja keturunan setelahnya. Aku tidak sedang mengajarkan sesuatu, aku hanya bertahan dari seni kehidupan, Lidia.”

Lidia terdiam dan termangu atas apa yang diucapkan oleh Gloria. Tubuhnya masih tetap mamtung di tempat sekalipun Gloria telah meninggalkan ruangan kerjanya dan bangunan pendidikan yang megah itu. Awalnya, ia mengira bahwa Gloria akan balas dendam melalui pendidikan. Tapi ia menyadari satu hal. Bahwa memanusiakan manusia tidak hanya dengan cara yang baik. Cara yang buruk juga layak untuk memanusiakan manusia sekalipun dalam bentuk yang buruk pula. Dan benar adanya, kata impas dalam sebuah perbuatan tidak terkait dengan karma. Impas hanya kata tunggal yang setara dengan kata impas. Tidak dengan dendam dan juga pembalasannya. Itulah mengapa, Lidia masih tetap betah untuk berkerja di bawah tekanan Gloria. Sebab sejahat apapun Gloria dalam mengambil keputusan, Gloria tidak pernah mengesampingkan cara memanusiakan manusia sesuai dengan karakter dan keinginan lawan sosialnya. (*/cerpenmu/bua)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img