Intolerasni antar umat beragama di Indonesia bagaikan mimpi buruk yang tidak berkesudahan. Kendati bukan hal baru, intoleransi keberagamaan bagai gajah di pelupuk mata yang tidak tampak. Bahkan, intoleransi keberagamaan seperti angin lalu yang tidak pernah tuntas dibahas.
Jika intoleransi keberagamaan menjadi budaya di negeri ini, maka kemunduran adalah suatu keniscayaan. Budaya intoleransi keberagamaan akan menyebabkan pemerintah sulit untuk membangun kebijakan. Lebih mengkhawatirkan ketika kondisi terus berulang, orang-orang akan menganggap intoleransi keberagamaan merupakan hal yang lumrah.
Sebuah fakta, peristiwa intoleransi keberagamaan di kalangan umat beragama masih terus berlangsung sampai detik ini. Berbagai kasus keberagamaan yang intoleran sangat memprihatinkan dan membuat komitmen bangsa Indonesia untuk mewujudkan kedamaian dan rasa ke-bhinneka-an mengalami gangguan.
Sebab Intoleransi Keberagamaan
Konflik antarumat beragama kerap terjadi gegara sikap intoleran terhadap perbedaan. Sekadar contoh, beberapa waktu lalu, ada insiden konsumen muslim yang memesan daging sapi, namun justru disajikan daging babi oleh sebuah restoran Italia di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Ada pula guru di SMA Negeri 58 Jakarta berkampanye atau mengajak murid-muridnya untuk memilih ketua OSIS seagama, juga ada penolakan renovasi tempat beribadah di Karimun, Kepulauan Riau, dan lain sebagainya.
Terlebih hari-hari menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, kelompok beragama minoritas di Indonesia rentan menanggung beban diskriminasi dan intoleransi. Saat kampanye, para politisi sering benar mengusung isu minoritas untuk mencari popularitas demi mendulang suara dari kaum mayoritas. Tak jarang, isu tersebut kemudian dikemas dengan ujaran kebencian beraroma SARA dan identitas lainnya, yang selama ini menyasar kaum keberagamaan minoritas.
Penyebaran ujaran kebencian di media turut berpotensi besar di musim kampanye Pemilu 2024. Adanya regulasi, sumber daya, dan infrastruktur penyelenggaraan Pemilu yang masih kurang memadai, dapat memantik peredaran ujaran kebencian di dunia nyata maupun jagad maya. Ironisnya, pemerintah malah terlihat canggung ketika berhadapan dengan kelompok-kelompok intoleran.
Setara Institute mencatat terjadi kenaikan kasus intoleransi di Indonesia selama awal tahun 2023. Setara menduga eskalasi ini berkaitan dengan persiapan musim politik, yaitu Pemilu 2024. Dalam analisis Setara Insitute, upaya konsolidasi kelompok-kelompok intoleran dan mobilisasi massa dengan memainkan sentimen pemilih mayoritas untuk menekan kelompok-kelompok minoritas.
Menurut peneliti Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Syamsurijal, ada beberapa hal yang membuat perilaku intoleransi masih merebak di masyarakat. Salah satunya karena toleransi beragama yang kerap diwacanakan di ruang publik masih sebatas narasi. Toleransi belum membudaya (Alinea.id. 27/3).
Petakanya lagi, publik masih kerap bersikap permisif terhadap peristiwa-peristiwa intoleran. Di sisi lain, kelompok-kelompok intoleran juga sering memanfaatkan momentum politik elektoral sebagai panggung untuk unjuk gigi dan menekan kelompok minoritas. Memang, sikap intoleran tak semata terkait agama. Di kota-kota yang indeks toleransinya rendah, ada banyak kasus yang dilatari persoalan di luar agama, semisal ekonomi, kemiskinan, dan politik.
Signifikansi Sosiologi Agama
Tak pelak, pemahaman terhadap sosiologi agama di kalangan antarumat beragama sangat penting sebagai langkah merekonstruksi pondasi persatuan dan kesatuan bangsa. Kajian atas berbagai kasus intoleransi keberagamaan melalui perspektif sosiologi agama kiranya dapat diikhtiarkan menjadi jalan tengah demi mewujudkan harmoni sosial di tengah praktik keberagamaan.
Sebagai bangsa yang memiliki keragaman dalam pelbagai aspek, konflik keagamaan merupakan fenomena sosial yang memang sering berlangsung. Konflik antar pemeluk agama yang kemudian menjurus ke arah kekerasan, perlu dicari kaitannya dengan keragaman dalam masyarakat Indonesia.
Pelibatan faktor agama dalam kekerasan, tentu mengundang keprihatinan sebab agama yang senyatanya memiliki misi menciptakan perdamaian, justru terlibat dan dilibatkan dalam konflik dan kekerasan. Padahal, secara normatif-teologis, semua agama di dunia sebenarnya dipertemukan dengan misi universal yang sama. Kendati agama-agama tetap memiliki partikularitas, pada agama-agama terdapat pula aspek universalitas.
Setiap agama sejatinya membawa dua misi universal yang dapat mempertemukan pelbagai macam agama. Pertama, agama memiliki misi memberikan afirmasi terhadap kebutuhan spiritual manusia sebagai kelanjutan dari potensi sensus religius yang melekat dalam diri manusia. Kedua, agama menjadi wadah terimplementasinya amal-amal sosial dan kemanusiaan.
Dengan demikian, kedekatan hubungan manusia dengan Tuhan tidak hanya dilakukan melalui praktik ritual yang ketat, melainkan juga melalui penciptaan harmoni sosial, pembelaan terhadap kaum marjinal, dan pengentasan manusia dari ketertindasan. Inilah esensi misi penyelamatan agama-agama.
Jika agama secara normatif-teologis memiliki misi yang demikian luhur, namun mengapa konflik dan intoleransi keberagamaan mudah terjadi di negeri ini? Adanya sakralisasi kekerasan tampaknya telah menjadi salah satu biang praktik kekerasan dalam keberagamaan.
Suatu kelompok yang terjangkit gejala sakralisasi kekerasan biasanya tidak mau dipersalahkan dan sulit diatasi. Kelompok ini cenderung memahami doktrin agama secara monolitik dan jauh dari sikap dialogis.
Intoleransi dan kekerasan beraroma agama menjadi konsekuensi logis jika memahami agama hanya berdasarkan pendekatan teologis. Itu sebabnya, agar fenomena keberagamaan dapat melahirkan kedamaian dan persaudaraan, setiap penganut agama perlu memahami keyakinan agama yang lain melalui pendekatan sosiologi agama tanpa harus mempertukarkan keimanan.
Sosiologi agama merupakan ilmu yang memiliki peran penting dalam menjawab berbagai realitas sosial kekinian. Toh tafsir atas fenomena keberagamaan di tengah arus pluralitas perlu dipahami dari berbagai perspektif. Salah satu perspektif yang mampu meredam gejolak konflik dan sikap intoleransi keberagamaan adalah sosiologi agama. Perspektif ini menawarkan sentuhan baru tentang realitas keberagamaan.
Dalam wacana studi agama, sosiologi agama setidaknya menawarkan dua model pendekatan. Pertama, pendekatan Empirical Research Approach. Pendekatan ini mencoba melihat agama dari empat aspek dasar, yakni fungsional, struktural, konflik, dan significant impact. Kedua, pendekatan Social Construction of Reality. Pendekatan ini mencoba melihat agama dalam realitas majemuk sebagai sebuah produk refleksi kemanusiaan.
Memotret fenomena keberagamaan melalui pendekatan sosiologi saat ini betul-betul dibutuhkan dalam realitas masyarakat plural seperti Indonesia. Melalui sosiologi agama, masyarakat akan lebih dipahamkan bahwa ragam perbedaan itu seni hidup yang jika dikelola secara bijak akan menciptakan keharmonisan. Sosiologi agama tentunya menuntut cara pandang yang global dan holistik.
Tuntutan seperti itu dapat terwujud tatkala pemahaman agama yang selama ini dengan pendekatan teologis normatif juga didukung dengan pendekatan lain yang secara operasional dapat memberikan jawaban atas persoalan keagamaan, salah satunya yaitu pendekatan sosiologis. Melalui pendekatan sosiologis, agama akan mudah dipahami sebagai media untuk melahirkan, meminjam istilah Erich Fromm, being religious people (manusia yang benar-benar agamis).(*)