Kasus perceraian di Jawa Timur dewasa ini menunjukkan tren peningkatan. Hingga bulan akhir tahun 2021 lalu saja tercatat sebanyak 2,79 juta perempuan menjadi janda karena bercerai. Tercatat kasus perceraian tertinggi di Jawa Timur terjadi di 4 Kabupaten/Kota, yakni Kota Surabaya, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Jember, dan Kabupaten Malang.
Di Kota Surabaya tercatat hingga akhir tahun 2021 jumlah kasus perceraian sebanyak 5.198 kasus, Kabupaten Banyuwangi tercatat 7.405 kasus perceraian, Kabupaten Jember tercatat 4.500 kasus perceraian, dan Kabupaten Malang seperti dilansir dari sumber berita Kompas.Com (12/8/2022) tercatat angka perceraian pada semester pertama tahun 2022 sebanyak 3.437 kasus.
Tingginya tingkat perceraian di Jawa Timur ini memang sangat memprihatinkan sebagai indikasi bahwa telah terjadi kegagalan dalam membangun keluarga. Disadari bahwa peran keluarga sebagai lembaga primer sangat penting dan fundamental dalam membemtuk karakteristik generasi masa depan yang tangguh. Salah satu dampak dari perceraian, misalnya akan mendorong anak untuk menjadi broken home yang cenderung menunjukkan perilaku anti-sosial.
Secara konstitusional, Negara Indonesia memberikan jaminan dalam membentuk keluarga. Sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, pasal 28B ayat (1) dan ayat (2), yakni: (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah; dan (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Dalam UU Perkawinan, disebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia, dimana ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya termasuk pembentukan norma-norma sosial, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia di dalam hubungan dengan interaksi dengan kelompoknya.
Keluarga adalah kelompok kecil yang memiliki pemimpin dan anggota, mempunyai pembagian tugas dan kerja serta hak dan kewajiban bagi masing-masing anggota. Keluarga adalah tempat pertama dan yang utama dimana anak-anak belajar. Dalam keluarga, mereka mempelajari sifat-keyakinan, sifat-sifat mulia, komunikasi dan interaksi sosial, serta keterampilan hidup.
Keluarga merupakan lembaga sosialisasi yang pertama dan utama bagi seorang anak. Melalui keluarga anak belajar berbagai hal agar kelak dapat melakukan penyesuaian diri dengan budaya di lingkungan tempat tinggalnya.
Konsep keluarga setidaknya dapat dikaji dalam tiga perspektif yakni struktural, fungsional, dan transaksional. Perspektif struktural, keluarga didefinisikan berdasarkan kehadiran dan ketidak hadiran anggota keluarga, seperti orang tua, anak dan kerabat lainnya. Definisi ini memfokuskan pada siapa yang menjadi bagian dari keluarga. Perspektif ini dapat muncul pengertian tentang keluarga sebagai asal usul (families of origin), keluarga sebagai wahana melahirkan keturunan (families of procreation) dan keluarga batih (extended family).
Perspektif fungsional keluarga didefinisikan dengan penekanan pada terpenuhinya tugas-tugas dan fungsi-fungsi psikososial. Fungsi-fungsi tersebut mencakup perawatan, sosialisasi pada anak, dukungan emosi dan materi dan pemenuhan peran-peran tertentu. Definisi ini memfokuskan pada tugas-tugas yang dilakukan oleh keluarga.
Perspektif transaksional keluarga didefinisikan sebagai kelompok yang mengembangkan keintiman melalui perilaku-perilaku yang memunculkan rasa identitas sebagai keluarga (family identity), berupa ikatan emosi, pengalaman historis, maupun cita-cita di masa depan. Definisi ini memfokuskan pada bagaimana keluarga melaksanakan fungsinya.
Keluarga juga memiliki fungsi Edukasi dan Sosialisasi bagi anak. Fungsi Edukasi adalah fungsi keluarga yang berkaitan dengan pendidikan anak khususnya dan pendidikan moral dan akhlak. Sedangkan fungsi keluarga sebagai lembaga sosialisasi dimaksudkan bahwa dalam keluarga nilai-nilai soail bagi anak mulai ditanamkan.
Melalui keluarga anak diperkenalkan dengan lingkungan sosialnya. Karena hubungan sosial dalam keluarga itu bersifat relatif tetap, orang tua memainkan peran sangat penting terhadap sosialisasi anak ini.
Selain fungsi Edukasi dan Sosialisasi, keluarga juga berfungsi sebagai lembaga proteksi (perlindungan), yakni perlindungan atau proteksi adalah fungsi keluarga dalam melindungi anak dari ketidakmampuannya bergaul dengan lingkungannya.
Fungsi Afeksi dan Perasaan, terjadinya hubungan sosial antara anak dan orang tuanya yang didasari dengan kemesraan. Fungsi Religius, Keluarga berkewajiban memperkenalkan dan mengajarkan anak dan anggota keluarganya kepada kehidupan beragama.
Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga dalam mencari nafkah, perencanaan, pembelanjaan dan pemanfaatannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan para anggotanya. Fungsi Rekreasi Keluarga memerlukan suasana akrab, rumah yang hangat di antara anggota-anggota keluarga dimana hubungan antar keluarga bersifat saling mempercayai bebas tanpa beban dan diwarnai suasana santai; dan Fungsi Biologis adalah fungsi keluarga dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologis anggotanya.
Namun dalam kenyataanya banyak pasangan suami-istri yang tidak mampu membangun dan mempertahankan keluarganya dengan baik. Banyak keluarga yang kandas karena mereka terpaksa harus bercerai. Dalam beberapa studi yang dilakukan, misalnya penelitian yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa Program Studi Kesejahteraan Sosial, FISIP-UMM yang dibimbing dan diuji penulis, menunjukkan terdapat faktor-faktor yang secara umum menjadi alasan terjadinya perceraian.
Hasil studi di Kabupaten Malang, Probolinggo, Lamongan, Tulungagung, dan wilayah lainnya, menunjukkan bahwa sebagian besar kasus gugatan perceraian di ajukan oleh pihak istri. Secara umum faktor-faktor penyebab perceraian tersebut, yakni: Suami meninggalkan kewajiban sebagai kepala rumah tangga. Suami tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonomi, Terus menerus berselisih karena tidak ada keharmonisan, Gangguan pihak ketiga, Suami mengalami krisis akhlak (judi, selingkuh), dan Suami menikah lagi (berpoligami).
Khusus di Banyuwangi, misalnya hasil studi Harjianto dan Jannah (2019) menunjukkan faktor penyebab perceraian di kabupaten Banyuwangi disebabkan oleh faktor ekonomi (37.5 persen), kurangnya tanggung jawab suami (15 persen), ketidakharmonisan (17.5 persen), dan perselingkuhan (30 persen).
Membangun keluarga yang harmonis merupakan fundamen penting dalam membangun bangsa yang tangguh. Karena dari keluarga yang harmonislah akan lahir generasi-generasi penerus bangsa yang tangguh. Mari kita perkuat lembaga keluarga untuk membangun Negara yang tangguh. (*)