Oleh: Ahmad Fatoni
Dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Malang
Korupsi merupakan persoalan akut kebangsaan yang hingga saat ini belum terselesaikan. Pelbagai upaya telah, sedang, dan akan dilakukan untuk mengurai silang sengkarut korupsi, namun hasilnya belum juga maksimal. Kenyataannya, berita tentang perilaku koruptif terjadi nyaris di semua daerah di Tanah Air, di semua level, dan di setiap lini kehidupan dengan beragam jenis dan modus.
Di satu sisi bangsa kita memiliki kelemahan perilaku yang diwariskan sebagai hasil penjajahan. Mental menerabas, tidak menghargai proses, meremehkan aturan, kurang percaya diri, dan banyak lagi.
Sementara di sisi lain, dunia pendidikan yang diharapkan menjadi penguat budaya antikorupsi makin dirasakan tidak konsisten dalam menjalankan fungsinya. Proses pendidikan seperti mementingkan penguasaan pengetahuan semata ketimbang membudayakan perilaku jujur.
Oleh karena itu, inilah saatnya untuk mengembalikan lembaga pendidikan sebagai lokomotif penguatan budaya antikorupsi untuk jangka panjang.
Jejak Korupsi dalam Sejarah Islam
Islam sebagai agama yang rahmatan lilâlamin, mengutuk keras tindakan korupsi. Bahkan, Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan, “Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri niscaya aku memotong tangannya.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Hadis ini mengisahkan ada seorang perempuan dari keluarga bangsawan Quraisy dari Bani Makhzum, bernama Fatimah al-Makhzumiyah kedapatan mencuri bokor emas. Syahdan, pencurian tersebut membuat jajaran Suku al-Makhzumiyah gempar dan sangat terpukul. Lebih-lebih, jerat hukum saat itu sangat ketat dan mustahil dihindarkan, sebab Nabi Muhammad SAW sendiri yang menjadi hakimnya.
Fatimah al-Makhzumiyah pun terancam hukuman potong tangan. Jika hukuman potong tangan itu benar-benar terjadi, mereka akan menanggung aib maha dahsyat. Dalam pandangan Suku al-Makhzumiyah, seorang keluarga bangsawan tidak layak memiliki cacat fisik apa pun.
Upaya lobi-lobi politis pun dilakukan, dengan tujuan agar hukuman potong tangan bisa diringankan, bahkan dihindarkan dari Fatimah al-Makhzumiyah. Uang berdinar-dinar emas pun ‘disiapkan’ untuk upaya itu. Puncaknya, Usamah bin Zaid, cucu angkat Nabi Muhammad SAW dari anak angkatnya yang bernama Zaid bin Haritsah, dinobatkan sebagai ‘pelobi’ oleh Suku al-Makhzumiyah.
Alih-alih, upaya lobi Usamah bin Zaid berhasil, justru menuai peringatan keras dari Nabi Muhammad SAW. Ketegasan beliau dalam menetapkan hukuman tak dapat ditawar sedikit pun, walau oleh orang terdekat dan kesayangannya. Lantas Nabi SAW bersabda, “…seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri niscaya aku memotong tangannya.”
Poin terpenting yang harus dipahami, bahwa kasus pencurian atau korupsi di masa Nabi Muhammad SAW sudah ada, bahkan dilakukan oleh sahabat-sahabat Nabi SAW. Kekalahan perang Uhud, yang menyebabkan paman Nabi Muhammad SAW, Hamzah bin Abdul Muthalib gugur di medan pertempuran akibat dari mentalitas yang rakus dan korup. Padahal, kaum muslimin pada waktu itu sudah hampir menang, tetapi dikarenakan kalangan muslimin tergiur, dan tamak atas harta rampasan, kemenangan tersebut sirna begitu saja.
Dengan kata lain, mentalitas tamak yang menjadi anak kandung dari korupsi sudah ada sejak dulu, di masa-masa Islam. Lebih dari itu, gambaran korupsi pun tergambar secara jelas pada saat Nabi Muhammad SAW melakukan isra’ dan mi’raj. Pada saat itu, beliau ditunjukkan bagaimana gambaran perilaku para pencuri atau koruptor yang disiksa di akhirat.
Praktik korupsi pun berlangsung di masa al-khulafa’ ar-rasyidin. Tepatnya, di masa pemerintahan khalifah Usman bin Affan. Faktor usia lanjut, sikap lemah lembut, dan bersahaja sang khalifah Usman dimanfaatkan oleh golongan bani Umayyah untuk memperkaya diri, nepotisme, dan korupsi. Runtuhnya Umayyah dan Abbasyiah, salah satunya adalah faktor ketamakan dan praktik koruptif, selain adanya berbagai faktor eksternal lainnya.
Korupsi dalam Persepsi Islam
Korupsi dalam persepsi Islam kerap dikaitkan dengan kata ghulûl. Secara bahasa, ghulûl dimaknai akhdh al-shay’ wa dassuhû fî matâ‘ihi, yang artinya mengambil sesuatu dan menyembunyikan dalam hartanya. Secara historis, ghulûl muncul karena ada penggelapan harta rampasan perang sebelum dibagikan.
Selain konsep ghulûl, ada istilah rishwah yang bermakna komisi, hadiah, upah, dan pemberian yang dapat pula diberikan arti sebagai uang sogok, sementara dalam QS. Al-Mâi’dah [5]: 38, menyinggung masalah gasab dan sariqah. Dengan kata lain, agama Islam secara tegas melaknat para pencuri dan perampas harta benda orang lain, tak kecuali koruptor.
Dalam Al-Quran, Allah SWT secara terang benderang melarang perbuatan koruptif dan manipulatif: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” [QS. Al-Baqarah: 188].
Nabi Muhammad SAW pun menegaskan pentingnya kesucian material pemberian, sebagaimana sabdanya, “Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu shalat tanpa bersuci dan tidak menerima sebuah sedekah yang berasal dari ghulûl (hasil curang).” [HR. Abu Dawud].
Fakta yang tak terbantahkan, praktik koruptif di negeri ini masih sering terjadi. Parahnya lagi, para pelakunya kebanyakan orang muslim dibandingkan orang non muslim yang terlibat korupsi. Hal ini tak mengherankan, tatkala dilihat secara kuantitas penduduk di Indonesia mayoritas beragama Islam.
Namun sebagai otokritik, ternyata mentalitas dan keimanan kaum muslim mudah rapuh, jika ada peluang dan kesempatan untuk korupsi. Kondisi yang demikian, tentu perlu dijadikan refleksi kritis perbaikan kaum muslim. Utamanya, dalam area pendidikan Islam, baik dalam bentuk formal (dunia persekolahan), non formal (dunia pondok pesantren), maupun informal (lingkungan rumah tangga).
Urgensi Pendidikan Antikorupsi Sejak Dini
Urgensi pendidikan antikorupsi senyatanya diterapkan oleh setiap individu, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Maka, pendidikan anti korupsi harus dikenalkan kepada anak-anak sejak mereka belajar tentang kehidupan.
Pendidikan anti korupsi ini dapat dilaksanakan secara formal maupun informal. Secara formal yaitu dengan dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan dalam setiap pelajaran. Sedangkan pada tingkatan informal dapat dilakukan dalam kegiatan ekstrakurikuler. Dengan memasukkan nilai-nilai pendidikan anti korupsi seperti kejujuran, kepedulian terhadap sesama, kesederhanaan, keadilan, disiplin, keberanian, kerja keras, dan sikap tanggung jawab.
Intinya, pencegahan korupsi dapat diterapkan dengan pelbagai langkah. Ambil misal, pemberantasan korupsi bisa dilakukan melalui tiga langkah; pertama, hukuman bagi koruptor harus diperberat sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi para pelakunya.
Kedua, hukuman sosial masyarakat harus diberlakukan sehingga para koruptor berpikir seribu kali untuk melakukan korupsi. Ketiga, pandangan sebagian masyarakat bahwa korupsi “bisa dimaafkan” dan “diampuni” Allah, asal sebagian uang hasil korupsi itu disumbangkan untuk kegiatan ibadah dan sosial, harus diluruskan. Sebab, tak satu pun agama di muka bumi ini yang membenarkan praktik kejahatan korupsi, tak kecuali Islam.
Lebih dari itu, pendidikan anti korupsi perlu mengintegrasikan antara domain pengetahuan (kognitif), sikap dan perilaku (afektif), serta keterampilan (psikomotorik). Ketiga domain ini harus seiring sejalan.
Meminjam istilah Ki Hadjar Dewantara, ketiga domain di atas dapat diwujudkan secara simultan melalui tri pusat pendidikan. Tri pusat tersebut mencakup tiga ranah, yakni pendidikan anti korupsi yang dipraktikkan di rumah, di sekolah, dan di masyarakat.
Dengan menanamkan pendidikan anti korupsi sejak dini, baik di rumah, sekolah, dan lingkungan masyarakat, berarti sama halnya dengan membiasakan akhlak yang baik kepada generasi bangsa Indonesia agar kelak mereka tidak menjadi penerus tindak pidana korupsi di negeri ini.(*)