.
Thursday, December 12, 2024

Menanti Kepastian Sistem Pemilu 2024

Berita Lainnya

Berita Terbaru

          Pemilu 2024 menjadi sejarah baru bagi negara Indonesia. Dimana, untuk pertama kalinya pemilihan presiden, pemilihan legislatif, dan Pilkada dilakukan secara serentak. Berdasarkan tahapan pemilihan, penyelenggaraan pemungutan suara pemilihan presiden dan pemilihan anggota DPD, DPR RI hingga DPRD akan digelar pada tanggal 14 Februari. Sedangkan Pilkada akan digelar secara serentak pada November 2024.

          Namun, penyelenggaraan tersebut bisa mengalami perubahan. Mengingat sampai saat ini Mahkamah Konstitusi (MK) masih belum memutuskan uji materi Pasal 168 Undang-Undang  No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur sistem proporsional terbuka. 

          Kuasa hukum pemohon memandang sistem proporsional terbuka dianggap rumit dan mengeluarkan anggaran negara yang besar dan mengatakan bahwa pada pemilu 2019 ada 17,5 juta suara tidak sah. Hal tersebut dianggap sebagai salah satu kerumitan dari sistem proporsional terbuka. Menurutnya hal itu dikarenakan ada kerusakan surat suara, salah coblos dan lainnya.

          Di sisi lain anggaran yang dikeluarkan juga cukup banyak, bahkan setiap tahun anggaran pemilu terus mengalami kenaikan. Biaya tersebut dipergunakan untuk pengadaan surat suara, distribusi surat suara, dan rekrutmen petugas pemilu. Alasan lain ialah melemahnya peran partai politik, hal itu bisa dilihat dari menurunnya kualitas anggota legislatif yang diusung.

          Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Prof. Yusril  Ihza Mahendra, bahwa sistem proporsional terbuka melemahkan, mereduksi fungsi partai politik, melemahnya kapasitas pemilih dan menurunnya kualitas pemilihan umum. Selain alasan tersebut, adanya sistem proporsional terbuka menimbulkan terjadinya praktik money politics yang tinggi di tengah masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh adanya persaingan antara calon baik internal maupun di luar partai politik yang sama.

          Praktek money politics lahir atas dasar keinginan kandidat untuk meraih kemenangan dalam pemilihan legislatif, namun money politics bukan satu-satunya cara untuk meraih kemenangan. Bahkan money politics tidak memiliki pengaruh yang signifikan bagi kemenangan kandidat pada pemilihan legislatif.

          Pernyataan tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Burhanuddin Muhtadi, dalam bukunya yang berjudul ‘Kuasa Uang (Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru)’ yang mengungkapkan  bahwa  calon yang menggunakan money politics hanya memperoleh peluang menang 10 persen  dibanding calon lain.

          Terlepas dari pernyataan di atas, banyak masyarakat dan partai politik yang mendesak MK untuk tidak mengabulkan gugatan pemohon untuk kembali ke sistem proporsional tertutup, bahkan hanya PDIP, PBB dan Partai buruh yang mendukung sistem proporsional tertutup. Sementara partai lainnya  menolak untuk kembali pada sistem proporsional tertutup, bahkan isu yang beredar MK akan memutuskan untuk kembali pada sistem proporsional tertutup.

          Merespon hal tersebut, delapan Partai Politik (Parpol) berkumpul untuk membahas mengenai isu tersebut. Adapun delapan Parpol yang bertemu di antaranya ialah Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Gerindra, Golkar, Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN).           Pertemuan tersebut melahirkan keputusan bahwa mereka menolak dengan tegas sistem proporsional tertutup, bagi mereka jika sistem proporsional tertutup diterapkan pada pemilu 2024 maka itu adalah suatu kemunduran demokrasi.

          Pandangan tersebut diperkuat dengan pernyataan ketua Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang menegaskan jangan sampai ada hak rakyat yang dirampas dalam kehidupan demokrasi dan jangan sampai rakyat tidak bisa memilih wakilnya secara langsung. Jika hal itu terjadi maka  sama halnya rakyat membeli kucing dalam karung. Artinya rakyat hanya menunggu keputusan partai siapa yang akan menjadi wakil mereka.

          Dari perbedaan pandangan mengenai penggunaan sistem proporsional tertutup dan terbuka di atas, penulis mencoba mengambil beberapa garis mengenai kerugian yang akan dihadapi jika salah satu sistem tersebut diterapkan. Hal ini sebagai bahan pertimbangan dan analisis kita semua.

          Jika informasi putusan MK kembali pada sistem proporsional tertutup maka ada beberapa dampak yang dirasakan langsung oleh Parpol dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di antaranya ialah Parpol harus bersiap menghadapi konflik intern, para kader pasti akan merebut nomor urut satu demi meraih kursi di legislatif.

          Banyak Bakal Calon Legislatif (Bacaleg) mengundurkan diri, Parpol harus mengeluarkan biaya yang besar untuk mendulang suara pemilih. Para calon tidak bersungguh-sungguh dalam mengikuti pemilihan legislatif, akan terjadi konflik kepentingan elit Parpol, dan praktik jual beli nomor urut di internal Parpol mengalami peningkatan.

          Sedangkan KPU sebagai penyelenggara harus menyusun ulang mekanisme pemilihan serta jadwal yang sudah ditetapkan. Hal tersebut membuat KPU harus mendesain ulang surat suara yang ada,  mengingat KPU tetap mengikuti tahap pemilu sesuai dengan aturan yang masih berlaku yaitu sistem proporsional terbuka.

          Melihat hal tersebut tentu KPU akan mengeluarkan banyak biaya, dikarenakan tahap pemilu sudah dijalankan oleh KPU serta anggaran buat logistik penunjang sudah dirancang, kemungkinan terburuk ialah adanya penundaan pemilu.

          Sedangkan dampak jika MK menolak gugatan termohon mengenai sistem proporsional tertutup atau tetap menggunakan sistem proporsional terbuka, kader di internal Parpol harus bersaing merebut suara pemilih, kandidat tidak peduli terhadap tujuan partai, kepentingan individu lebih diutamakan dibanding kepentingan partai, pragmatisme Parpol dalam melakukan rekrutmen. Sedangkan bagi KPU tidak berdampak begitu besar, hal tersebut dikarenakan KPU sebagai penyelenggara tidak menyusun peraturan dan tahapan pemilihan yang baru.

          Terlepas dari problem di atas, hal yang harus diperkuat ialah bagaimana praktik money politicsdi internal partai maupun di masyarakat harus benar-benar dipikirkan lagi. Mengingat sampai hari ini belum ada regulasi yang kuat untuk menindak praktik tersebut. Bahkan fakta di lapangan baik penyelenggara maupun pengawas pemilu terlibat dalam praktik tersebut.

          Semua elemen masyarakat sedang menanti kepastian sistem pemilu 2024 yang akan diputuskan MK. Para pengamat, politisi, akademisi dan masyarakat umum mempunyai spekulasi masing-masing terkait keputusan yang akan diambil oleh MK. Kita berharap apapun keputusan yang diambil oleh MK tidak membuat kegaduhan di tengah masyarakat.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img