Malang Posco Media – “Kami bingung Pak dengan kebijakan ini.” Itulah ungkapan yang mencuat dari sebagian besar sejawat guru saat Kepala Sekolah menyampaikan paparan Workshop di pengantar rapat dewan guru jelang masuk tahun pelajaran baru. Pernyataan yang dilanjutkan dengan kata lebih meyakinkan, mari kita sambut Kurikulum Merdeka dengan senang hati dan lapang dada. Ayo laksanakan tugas mulia ini bersama-bersama, karena merupakan tugas negara.
Pilihan untuk untuk ‘menolak’ tampaknya tidak akan berlaku. Apapun alasannya Kurikulum Merdeka sebagai ‘sesuatu’ yang baru untuk guru sedapat mungkin dijalankan. Guru-guru dan siswa-siswanya diasumsikan pasti dapat dengan cepat beradaptasi dengan kebijakan dan akan menerima perubahan.
Padahal keadaan di lapangan, mereka dilanda kecemasan dan kebingungan. Mulai dari mana menjalankan atau mengimplementasikan kurikulum merdeka ini. Trauma penundaan penerapan K.13 yang baru sepenuhnya diimplementasikan tahun 2016 belum sepenuhnya berakhir. Ditambah dengan kondisi keterpurukan pembelajaran karena pandemi (Covid-19) yang juga belum sepenuhnya sirna.
Saat ini kita (guru) sebagai pelaksana pembelajaran yang notabene baru saja ‘fasih dan familiar’ dengan kurikulum 2013 ujung-ujungnya sudah dihadapkan dengan pilihan lain.
Opsi Menjerumuskan
Indah bahasa yang digunakan KemendikbudRistek dalam membalut kebijakan, namun terkesan bersayap. Kalau kita pelajari dan cermati keputusan Kepala BSKAP KemendikbudRistek Nomor 034/H/KR/2022 tentang Satuan Pendidikan Pelaksana Implementasi Kurikulum Merdeka pada Tahun Ajaran 2022-2023. Setidaknya ada tiga pilihan Implementasi Kurikulum Merdeka Jalur Mandiri yang memungkinkan diaplikasikan.
Pertama, jalur mandiri belajar. Jalur ini dapat dikatakan sebagai jembatan penghubung antara kurikulum 2013, kurikulum darurat (saat pandemi Covid-19) dengan kurikulum merdeka. Pilihan Mandiri Belajar memberikan kebebasan kepada satuan pendidikan (sekolah) saat menerapkan dan mengaplikasikan Kurikulum Merdeka lebih mengutamakan pola ajar lama.
Artinya beberapa bagian dan prinsip di Kurikulum Merdeka belum sepenuhnya diterapkan dan dapat memilih kurikulum 2013. Dengan pilihan pilihan rasional ini diharapkan sekolah tidak kaget, tidak dituntut langsung ‘tancap gas’, tetapi dilakukan secara bertahap.
Kedua, jalur mandiri berubah. Jalur ini adalah transformasi atau tingkatan kedua menuju perubahan kurikulum, dimana sekolah sudah memakai Kurikulum Merdeka. Jalur Mandiri Berubah memberikan keleluasaan kepada satuan pendidikan (sekolah) saat menerapkan Kurikulum Merdeka dengan memakai perangkat ajar yang sudah disediakan oleh KemendikbudRistek.
Penerapan yang ditujukan ini diibaratkan seperti lagu lama di dunia pendidikan kita, kurikulum dijadikan semacam proyek ‘manis’, dan lahan basah bagi para pemangku kebijakan. Disiapkan perangkat ajar, modul ajar, sumber belajar, guru dan peserta didik tinggal pakai jalankan kebijakan. Meskipun diimplementasinya bermasalah, karena banyaknya perubahan konten dan isi.
Ketiga, jalur mandiri berbagi. Inilah jalur tertinggi, dimana sekolah yang sudah harus mengimplentasikan Kurikulum Merdeka dan tidak bergantung pada kebijakan. Sekolah diberikan keleluasaan untuk membuat dan mengembangkan perangkat pembelajaran sendiri.
Pilihan jalur mandiri berbagi memungkinkan setiap satuan pendidikan (sekolah) dalam menerapkan dan mengembangkan Kurikulum Merdeka dengan optimal. Arti mengembangkan dan mengoptimalkan di sini tentu tidak sekadar mengganti judul/ kop perangkat ajar saja, sedangan isinya masih yang lama.
Diharapkan, mengembangkan dan mengoptimalkan bahan ajar sesuai tujuan dan muara implementasi Kurikulum Merdeka. Tujuan dari implementasi Kurikulum Merdeka adalah untuk mempahamkan konsep terbarukan kepada peserta didik. Sehingga guru tidak lagi dihadapkan pada terbatasnya alokasi waktu dengan banyaknya materi yang dipelajari.
Sinergitas dan Kontinuitas
Ungkapan bahwa ganti menteri (pendidikan) ganti kurikulum sudah bukan hal luar biasa, namun kita (guru) berharap perubahan kebijakan yang dibuat itu seharusnya keberlanjutan, bersinergi, dan kontinu. Mudahnya mengganti ‘baju’ kurikulum harus disertai pula dengan keberlanjutan sistem pembelajaran itu.
Jangan sampai desain yang dibuat begitu apik dan mengikuti pembelajaran kekinian menambah dan mempersulit banyak pihak. Harus kembali mulai dari nol lagi ketika ganti menteri, sudahi kebijakan yang dibuat siapapun menteri yang melanjutkan, dan siap melanjutkan kebijakan yang ada.
Tentunya dengan tetap mengevaluasi konsep kebijakannya serta kekurangan yang ada dengan memperhatikan perubahan dan perkembangan peradaban.
Belajar dari Kegagalan
Mulailah kita belajar dari keterpurukan pendidikan dengan mengevaluasi dengan cermat hal mendasar tersebut. Evaluasi kebijakan tersebut di antaranya: Pertama, jangan sampai kebijakan baru tersebut menjadi proyek ‘mangkrak’ yang sia-sia karena tidak adanya sustainability, dan keberlanjutan program kurikulum sampai tuntas.
Kita musti belajar pada negara Jepang dan Finlandia, dimana kedua negara itu tidak gemar gonta ganti kurikulum pendidikan. Bahkan, di Finlandia, kurikulum nasional yang telah ditetapkan di sana akan berlaku selama 10 tahun dan tidak akan berubah meskipun pemegang tampuk pemerintahan dan kebijakannya berganti.
Kedua, fokus penanganan kegiatan pembelajaran untuk guru dan peserta didik. Selama ini hampir semua kurikulum diklaim berpusat pada aktivitas peserta didik dan guru sebagai fasilitator. Namun, harus diakui justru peserta didik dan guru sebagai kelinci percobaan dari ego sektoral pengubah kurikulum.
Sudah saatnya, kalau memang Kurikulum Merdeka mampu memberikan benefit pada kemajuan pendidikan kita ke depannya, maka perlu beberapa catatan untuk pemerintah, dalam hal ini mas menteri Nadiem Makarim beserta jajarannya. Harus sabar dan detail dalam memberikan semua informasi terkait perangkat ajar dan modul ajar yang sudah disiapkan.
Ketiga, hindari kebijakan pemerintah tentang pemberlakuan kurikulum baru menambah beban orang tua dengan pengeluaran anggaran yang semakin banyak. Jamak terjadi kurikulum baru selalu diiringi dengan buku baru. Pernah pemerintah membuat kebijakan untuk memakai buku yang ada, namun itu juga gagal dijalankan dengan beragam alasan yang dilakukan penerbit.
Keempat, pikir berulangkali sebelum bertindak dan menentukan kebijakan. Contoh kebijakan rekrutmen guru penggerak yang ditunjuk menjadi corong dari implementasi Kurikulum Merdeka. Jangan sampai kebijakan yang dibuat berdampak pada terbengkalainya proses pembelajaran peserta didik, terabaikan belajar di kelasnya, karena beban tugas yang harus dituntaskan.
Akhirnya, semua kebijakan perlu dikomunikasikan dengan bijak. Sehingga bila nanti ada pergantian estafet kepemimpinan, agar semua yang sudah dirancang, disiapkan, tidak sia-sia dan berhenti di tengah jalan. Semoga.(*)