Wednesday, October 8, 2025
spot_img

Mengakui Palestina

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Ada sebuah adagium pahit di dunia diplomasi dan politik luar negeri, bahwa kadang yang paling sulit bukanlah berperang, melainkan mengakui keberadaan tetangga sendiri. Itulah yang dialami selama puluhan tahun oleh Palestina. Puluhan kali perundingan, ratusan resolusi PBB, bahkan jutaan warga menjadi korban dan terusir dari tanahnya tidak cukup membuat sebagian dunia berani untuk mengatakan bahwa Palestina adalah sebuah negara yang merdeka.

Namun sejarah bergerak. Sidang Umum PBB ke-80 (23/9) menjadi panggung yang berbeda. Negara-negara yang selama ini dikenal sebagai sekutu dekat Israel dan tentu saja Amerika Serikat, seperti Inggris, Kanada, Australia, Portugal, hingga Prancis akhirnya bergabung dalam barisan yang mengakui Palestina.

-Advertisement- HUT

Disusul pula oleh negara Eropa lain seperti Belgia, San Marino, Luksemburg, Malta, dan Andorra. Jumlah negara yang mengakui Palestina kini melonjak, dari sekitar 147 menjadi 159 negara dari 193 total negara anggota PBB. Jumlah ini tentu bukan sekadar angka, ini bisa kita sebut sebagai gempa diplomasi.

Bukan Sekadar Simbolis

Bagi sebagian pihak, pengakuan ini memang hanyalah simbolis. Sebab, Israel masih tetap memblokade Gaza, Tepi Barat tetapi dipenuhi pemukiman, dan pemerintah Palestina sendiri masih terpecah. Apalagi, Amerika Serikat, punya hak veto di Dewan Keamanan PBB yang bisa saja menghalangi harapan Palestina. Untuk menjadi anggota penuh PBB, Palestina butuh rekomendasi Dewan Keamanan, dan di sana Amerika Serikat sudah berkali-kali menggunakan hak vetonya.

Tetapi, simbol itu penting. Dengan pengakuan resmi negara-negara Barat, atau dalam literatur terbaru disebut Global-North, Israel paling tidak menghadapi kenyataan pahit. Apalagi selama ini, pengakuan Palestina dianggap domain negara-negara Global-South, tetapi kini suara itu juga datang dari jantung dunia Barat. Pengakuan dari Barat punya daya simbolik yang lebih besar, karena selama ini justru mereka yang banyak menjadi benteng politik Israel.

Pertanyaannya, mengapa pengakuan dari banyak negara itu baru sekarang? Butuh waktu puluhan tahun, ratusan ribu korban, dan perang yang tak berkesudahan untuk mengakui keberadaan sebuah negara yang warganya jelas ada, tanahnya ada, benderanya berkibar, dan pemerintahannya berfungsi.

Jawabannya adalah gambar-gambar dari Gaza. Dalam lanskap politik global yang terus berubah, dunia tidak bisa lagi menutup mata atas kekejaman dan pembantaian yang dilakukan oleh Israel. Narasi bahwa Israel hanya membela diri dan yang diserang adalah teroris semakin sulit dicerna ketika korban sipil setiap hari berguguran, anak-anak tewas, rumah sakit dibom, dan seterusnya yang menampilkan kejahatan kemanusiaan Israel.

Lebih lanjut, jika prinsip self-determination (hak untuk menentukan nasib sendiri) berlaku untuk puluhan negara pasca-kolonial di abad ke-20, mengapa Palestina harus menunggu setengah abad? Jawabannya karena kekuasaan lebih menentukan daripada keadilan dan kemerdekaan asasi. Pengakuan Palestina oleh negara-negara Barat adalah bukti bahwa pada akhirnya kekuasaan dan dominasi akan kalah oleh tekanan moral dan politik dari banyak mata di dunia.

Solusi Dua Negara

Meski begitu, ada satu catatan yang harus menjadi perhatian bersama. Banyak negara memberi “catatan kaki” pada pengakuan ini. Palestina harus melakukan reformasi kelembagaan, menegaskan komitmen pada perdamaian, dan menjauhkan Hamas dari kekuasaan. Hanya dengan begitu, katanya, opsi solusi dua negara (two state solutions) ini bisa menjadi kenyataan.

Tuntutan ini bisa kita terima, di satu sisi. Sebab, setiap negara memang membutuhkan pemerintahan yang stabil dan bisa dipercaya sebagai mitra diplomatik yang bersahabat. Tetapi di sisi lain, syarat seperti ini seringkali menjadi dalih untuk menunda tindakan nyata. Ironisnya, pada saat yang sama, dunia tidak memberikan syarat serupa kepada Israel, seperti hentikan membangun pemukiman ilegal, hentikan blokade, dan akhiri pendudukan.

Gaza telah porak-poranda, Tepi Barat tercabik pemukiman, dan Palestina terfragmentasi secara politik. Menggambar peta Palestina hari ini mungkin lebih mirip menyusun puzzle dengan banyak potongan yang telah hilang. Karena itulah pengakuan ini penting, sebagai investasi politik pada sebuah kemungkinan akan berdirinya sebuah negara merdeka yang disebut Palestina. Tanpa pengakuan itu, Palestina akan terus disebut sekadar sebagai entitas, otoritas, atau pihak, alih-alih berdiri di atas panggung yang sama sebagai sebuah negara.

Dengan semakin banyak negara yang mengakui, akan semakin sulit bagi Israel dan sekutunya untuk terus menutup pintu perundingan. Dunia mungkin terlambat, tetapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Kita semua berharap, Palestina segera bisa benar-benar berdiri sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, dan perang yang telah berlangsung dua tahun sejak 7 Oktober 2023 benar-benar berakhir. Semoga.(*)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img