spot_img
Wednesday, August 13, 2025
spot_img

Mengatasi Distraksi Digital

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Tidak ada yang salah dengan jempol yang lincah berselancar di layar ponsel. faktanya, itulah rutinitas harian generasi digital. Namun ketika durasi scroll lebih lama dari pada waktu membaca buku atau mencatat materi, kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: apa tujuan awal kita memegang gadget? Apakah sekadar mengejar hiburan instan, atau mengoptimalkannya sebagai pintu menuju lautan pengetahuan?

          Para peneliti menyebut fenomena ini dengan “attention fragmentation.” Yaitu ketika rentang konsentrasi menyusut karena pikiran terbiasa dengan stimulasi singkat nan beruntun. Jika tidak diantisipasi, kebiasaan ini menular ke ruang kelas: mendengarkan guru lima menit saja terasa membosankan. Padahal mata baru saja kuat menatap layar dua jam penuh.

          Sebagian orang berkilah, “Kan Aku belajar lewat YouTube juga.” Benar, platform digital memang menghadirkan ribuan video edukasi gratis. Akan tetapi, algoritma tidak selalu memihak proses belajar, ia memihak durasi tonton. Begitu selesai satu video tutorial, rekomendasi berikutnya bisa saja vlog liburan atau prank konyol.

          Ingat, teknologi itu netral, kita lah yang menentukan arahnya. Niat adalah kompas batin yang menuntun fokus. Ketika niat belajar jelas misalnya lulus ujian, mengejar beasiswa, atau sekadar paham topik tertentu maka setiap swipe dan klik memiliki tujuan.

          Sebaliknya, tanpa niat, aktivitas online hanyalah pengisi waktu luang yang sulit diukur manfaatnya. Karenanya, sebelum duduk di depan laptop, coba tuliskan target harian: berapa halaman yang harus dibaca, konsep apa yang mau dipahami, soal apa yang hendak diselesaikan. Target itu akan menjadi pengingat ketika timeline mulai menggoda.

          Manajemen waktu adalah kunci. Teknik Pomodoro, misalnya, membagi sesi belajar menjadi 25 menit fokus penuh diselingi 5 menit istirahat.  Saat timer berjalan, ponsel di-silent atau diposisikan jauh dari jangkauan. Ketika waktu rehat tiba, barulah memeriksa pesan. Kebiasaan kecil ini melatih otak membedakan “mode belajar” dan “mode santai”, alih-alih membiarkan keduanya bercampur tanpa batas.

          Kita juga perlu memanfaatkan fitur bawaan perangkat: mode fokus, app-limiter, atau timetracking. Laporan mingguan yang menunjukkan berapa jam dihabiskan di media sosial bisa menjadi cermin jujur. Jika durasinya melebihi waktu belajar, saatnya menata ulang prioritas.       Ingat pepatah digital, “What gets measured gets managed.” Tanpa data, kita sering meremehkan seberapa banyak waktu yang sebenarnya hilang. Namun, fokus bukan berarti anti-hiburan. Otak butuh relaksasi agar tidak burnout. Prinsipnya adalah proporsional. Setelah menuntaskan bab sulit matematika, hadiahkan diri dengan satu episode seri favorit bukan sebaliknya.

          Dengan demikian, dopamin yang muncul dari hiburan menjadi penguat perilaku produktif, bukan pengganti aktivitas belajar. Di sisi lain, institusi pendidikan mesti beradaptasi. Kurikulum harus memasukkan literasi digital, bukan sebatas kemampuan memakai aplikasi, melainkan juga etika daring, verifikasi informasi, dan kesehatan mental. Ruang kelas hibrida menggabungkan tatap muka dan pembelajaran daring perlu dirancang agar interaktif, bukan sekadar guru berbicara di depan kamera. Saat siswa merasa terlibat, mereka cenderung bertahan di jalur fokus lebih lama.

          Kita pun tidak boleh lupa aspek sosial-emosional. Interaksi fisik berdiskusi tatap muka, kerja kelompok di perpustakaan, atau sekadar bercengkerama di kantin membangun empati dan ketrampilan komunikasi yang sulit tergantikan oleh emoji. Karenanya, walau teknologi memudahkan kolaborasi jarak jauh, sekolah tetap perlu menjadi ruang pertemuan nyata agar karakter tumbuh seimbang.

          Mengatasi distraksi digital memerlukan pendekatan holistik: kesadaran individu, dukungan keluarga, inovasi guru, dan kebijakan sekolah. Tidak cukup hanya menegur siswa yang ketahuan bermain gim saat kelas daring. Harus ada sistem pendukung yang mengedukasi kenapa fokus itu penting dan bagaimana cara mencapainya.

          Program mentoring, pelatihan manajemen waktu, hingga konseling psikologis perlu disediakan. Pada akhirnya, perjalanan belajar di era digital mirip menavigasi sungai deras. Gadget adalah perahu yang cepat dan canggih, tetapi nahkoda sejatinya adalah niat dan fokus. Tanpa keduanya, kita mudah terseret arus konten tak berujung.

          Maka, sebelum membuka aplikasi apa pun, tanyakan pada diri: “Apakah ini mendekatkan atau menjauhkan dari tujuan belajar?” Pertanyaan sederhana tersebut dapat menjadi rem yang efektif. Mari jadikan ungkapan “Stay Cus, Stay Fokus” lebih dari sekadar jargon media sosial. Biarkan ia menjadi mantra harian setiap kali jari tergoda membuka notifikasi.

          Scroll boleh karena dunia digital menawarkan banyak hal bermanfaat. Tetapi, lupa niat jangan karena masa depan dibangun dari fokus hari ini. Dengan kompas niat yang terjaga, kita bisa menaklukkan lautan informasi, menemukan mutiara ilmu, dan tetap waras di tengah badai distraksi.

          Generasi yang mampu menyeimbangkan scroll dan fokus akan tumbuh menjadi pembelajar seumur hidup (lifelong learners). Mereka tidak panik menghadapi perubahan teknologi, karena sudah terbiasa menyesuaikan diri. Mereka juga tidak mudah termakan hoaks, karena terbiasa memverifikasi.

          Dan yang terpenting, mereka tidak kehilangan jati diri, karena niat belajar selalu lebih kuat daripada dorongan konsumsi konten. Jadi, kembalikan kendali ke tangan kita sendiri. Jadikan gadget sahabat, bukan jurang. Buat rencana belajar yang realistis, ukur progres, rayakan capaian, dan perbaiki kekurangan.           Libatkan orang-orang terdekat agar perjalanan tidak terasa sepi. Dan bila suatu saat langkah mulai goyah, ingat kembali “Scroll Boleh, Lupa Niat Jangan.” Tetap semangat, tetap adaptif stay cus, stay fokus!(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img