Dalam percakapan ringan di atas mobil pikap bersama rekan kerja, tiba-tiba saja terlontar pertanyaan sederhana namun perlu perenungan mendalam. “Sepuluh sampai dua puluh tahun ke depan, Kota Batu bentuknya seperti apa ya?”. Sebuah pertanyaan yang menggelitik, akan tetapi sekaligus menuntut jawaban serius dari berbagai elemen di kota ini.
Pertanyaan itu muncul bukan tanpa dasar. Jika kita perhatikan perkembangan Kota Batu beberapa tahun terakhir, maka akan menyadari adanya transformasi yang cukup besar. Sawah yang dulu menjadi ikon sekaligus sumber kekuatan ekonomi, kini mulai terdesak oleh bangunan dan destinasi wisata modern. Petani yang dulu menggantungkan hidup pada hasil tanah, kini mulai beralih menjadi pelaku usaha kreatif, jasa wisata, atau pengelola penginapan.
Perubahan ini tentu bukanlah hal yang sepenuhnya buruk. Hanya saja hal tersebut akhirnya membawa konsekuensi tersendiri bagi arah pembangunan kota yang mengandalkan industri pariwisata sebagai nadi ekonominya.
Dalam perjalanan usia ke 24 tahun, Kota Batu seolah sedang berada di persimpangan jalan antara nostalgia masa lalu dan tuntutan di masa depan. Kota yang dulu terkenal sebagai sentra buah apel dan sayur itu, kini berubah menjadi kota wisata dengan berbagai wajah baru. Seperti cafe tematik di lereng perbukitan, villa-villa yang menjamr, dan lahan pertanian yang perlahan mulai berubah orientasi dari perolehan hasil komoditas menjadi destinasi kreatif.
Sebagai kota wisata, Batu sedang menghadapi dilema, bagaimana mempertahankan daya tarik alam dan ketenangan kota di tengah tuntutan modernitas. Setiap kali saya mengantar tamu atau teman yang berlibur di Kota Batu, pertanyaan yang sama selalu saya ajukan.
“Apa yang ingin Anda cari di Batu?” Jawabannya hampir sama yakni alam dan ketenangan. Dari jawaban sederhana itu sebenarnya sangat jelas bahwa kekuatan Kota Batu bukan sekadar bangunan megah atau destinasi buatan, melainkan suasana dan pengalaman yang diberikan oleh alamnya.
Program Prioritas
Di tengah tuntutan efisiensi anggaran dan target Pendapatan Asli Daerah (PAD), pemerintah tentu akan berpikir lebih strategis. Dalam konteks inilah, keputusan pemerintah untuk membatalkan pembangunan gedung DPRD menjadi langkah yang harus diapresiasi.
Langkah itu menunjukkan kepekanaan terhadap prioritas pembangunan yang lebih menyentuh kepentingan masyarakat luas. Gedung dewan betapapun megahnya tidak akan berdampak langsung pada kesejahteraan warga maupun peningkatan jumlah wisatawan.
Daripada membangun gedung DPRD, lebih baik pemerintah mencari strategi untuk menghidupkan kembali denyut ekonomi di titik-titik strategis. Seperti, pasar induk yang hingga kini masih mencari bentuk untuk benar-benar hidup dan menarik pengunjung di tengah bangunan yang besar dan megah dari luar. Begitu pula dengan pengusaha villa yang mulai merasakan penurunan pendapatan karena sulit bersaing.
Kegiatan-kegiatan yang diadakan tidak bisa lagi sekadar seremonial atau formalitas tahunan yang hanya menyentuh segmen kecil masyarakat. Batu membutuhkan agenda besar yang inklusif. Tidak hanya menguntungkan pelaku wisata besar, tetapi juga membuka ruang bagi masyarakat kecil mulai dari pelaku UMKM, seniman lokal, hingga komunitas kreatif. Tanpa inovasi, Batu bisa kehilangan keunggulan dibandingkan dengan kota lain yang mulai tumbuh dengan konsep wisata alam dan budaya yang lebih berkelanjutan.
Pengalihan fokus pembangunan ke arah sport center atau pengembangan sport tourism merupakan strategi yang jauh lebih visioner. Konsep sport tourism sesungguhnya sangat sesuai dengan karakter Kota Batu. Alam perbukitan dan udara yang sejuk menjadi modal utama untuk menggelar berbagai event olahraga berbasis wisata. Seperti, trail run, paragliding competition, hingga camping adventure.
Selain memperluas segmen wisatawan, konsep ini juga mendorong ekonomi lokal seperti penginapan, kuliner, maupun produk UMKM untuk ikut bergerak. Lebih dari itu, sport tourism juga memperkuat citra Batu sebagai kota wisata sehat. Bukan hanya tempat untuk bersantai akan tetapi juga tempat berprestasi dan berkompetisi secara positif.
Pembangunan di Kota Batu memang diperlukan pendekatan yang holistik, yaitu dengan memperkuat identitas dan memberdayakan masyarakat. Batu harus kembali pada akar keunggulannya, harmoni antara alam, budaya, dan kreativitas. Pemerintah perlu mendorong partisipasi masyarakat dalam setiap kebijakan pembangunan pariwisata.
Karena pada akhirnya keberhasilan Batu sebagai kota wisata tidak hanya diukur dari banyaknya hotel atau wahana baru yang berdiri, tetapi dari sejauh mana masyarakatnya bahagia, lingkungannya lestari, dan wisatawan pulang dengan ketenangan, kesenangan, dan kenangan.
Di usia ke-24 tahun, Batu punya kesempatan yang baik untuk menata ulang arah masa depannya. Apakah terus menjadi kota wisata yang serba cepat dan kehilangan jati diri atau menjadi kota yang tumbuh dengan bijak, menjaga keseimbangan antara ekonomi dan ekologi?. Sebab sepuluh atau dua puluh tahun ke depan, Batu yang kita bicarakan hari ini akan menjadi warisan bagi generasi mendatang. Semoga Batu tidak hanya indah di mata wisatawan, akan tetapi juga nyaman dan berkelanjutan bagi warganya sendiri.(*)